Widget HTML #1

Menata Mindset Guru untuk Merancang Masa Depan Pendidikan Indonesia

“Apa Kabar Pendidikan Kita Hari Ini?”

“Apakah Kabarnya Sedang Baik-Baik Saja?”

Rasanya tidak, ya. Kabar wajah pendidikan Indonesia hari ini tidak sedang baik-baik saja.

Selain diwarnai dengan sering bergantinya kurikulum dan kebijakan, pendidikan hari ini juga terganjal oleh tantangan berat yang bernama pandemi covid-19.

Mengapa pandemi disebut tantangan berat? Hal yang terang dan tampak oleh kita semua sebagai pelaku pendidikan adalah, sistem dan arah pembelajaran di era pandemi berubah drastis.

Menata Mindset Guru untuk Merancang Masa Depan Pendidikan Indonesia
Merancang Masa Depan Pendidikan Indonesia. Foto: Gambar oleh Aditio Tantra Danang Wisnu Wardhana dari Pixabay

Pembelajaran yang dulunya lebih disandarkan kepada sistem tatap muka, sekarang harus dicoba dan terus dikembangkan melalui sistem virtual.

Alhasil, permasalahan bertajuk Learning Loss dan Learning Poverty mulai menghantui.

Tambah lagi dengan hadirnya Mas Mendikbud Nadiem Makarim, maka arah digitalisasi pendidikan semakin sering digaungkan.

Dengan mempertimbangkan kesehatan dan keselamatan guru maupun siswa, syahdan, diberlakukanlah Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dengan sistem daring (dalam jaringan).

Sontak saja mayoritas guru, siswa, bahkan orang tua terkejut dengan peralihan tren belajar ini.

Syahdan, manakah tantangan beratnya?

Kebetulan saya juga merupakan seorang guru yang mengajar di sebuah sekolah dasar. Setelah diberlakukannya PJJ, sebenarnya saya pribadi cukup gusar dan ambyar.

Terang saja, di SD tempat saya mengajar, akses internet masih berstatus “fatamorgana” alias tidak ada layanan.

Meski demikian, sebagai seorang guru, saya punya tekad bahwasannya anak-anak di sekolah kami tidak boleh tertinggal dari sisi pembelajaran.

Termasuk juga diri saya sendiri, yang harus terus meng-upgrade kompetensi guru agar tidak gagap merancang pembelajaran demi masa depan.

Maka dari itulah saya harus segera membuang rasa gusar dan ambyar serta menjadikan fenomena tersebut sebagai tantangan dalam mengajar.

Kalau rasa ini terus dibiarkan, yang ada, nanti guru malah kebanyakan mengeluh daripada berjuang menghadapi kesulitan di lapangan.

Alhasil, saya dapatilah sebuah pola pikir bahwasannya untuk merancang masa depan, kita sebagai seorang guru perlu lebih akrab dengan teknologi.

Ya, barangkali ini adalah hikmah dari hadirnya pandemi di Bumi Pertiwi.

Di awal-awal, mungkin ada sebagian guru maupun siswa yang berpikiran bahwa, mengapa kita harus repot-repot mengenal aplikasi pembelajaran seperti Google Classroom, Google Form, Kahoot, Powtoon, Zoom, dan lain sebagainya.

Padahal, di era PJJ cukup kasih tugas saja, kan?

Ternyata mindset yang seperti ini “salah besar”.

Kalau kita sebagai guru terus menyimpan pola pikir yang seperti ini, mungkin dalam beberapa tahun ke depan kita akan tertinggal jauh oleh guru-guru lain yang ingin maju. Hari ini adalah era Thinking Skill in The 21th Century, Bro!

Menata Mindset Guru untuk Merancang Masa Depan Pendidikan Indonesia

Saya yakin semua guru pasti ingin maju serentak dan berkontribusi langsung untuk mewujudkan masa depan pendidikan yang cerah.

Tidak ada guru yang enggan untuk maju, selama sang guru itu peduli dengan pendidikan.

Tapi, syarat untuk maju itu cukup berat, ya? Begitulah.

Tiap-tiap guru harus keluar dari zona nyaman serta harus terus belajar untuk memperbaharui kompetensi dan kemahiran mengajarnya. Toh, tugas guru bukan hanya mengajar, kan? 

Tentu saja.

Guru adalah pengajar, pendidik, teladan, fasilitator, penghasil karya inovatif dan kreatif, sekaligus pembelajar yang penuh semangat. 

Barangkali banyak orang menganggap bahwa guru itu sosok yang sederhana. Tapi di sebalik kesederhanaan itu, guru punya peran penting dalam mewujudkan masa depan pendidikan yang cerah. 

Apapun tantangannya entah itu pandemi, entah itu kesulitan dari segi pemenuhan fasilitas bahkan perubahan kebijakan pendidikan, agaknya guru perlu menganggap fenomena yang ada sebagai tantangan untuk berkemajuan.

Anda siap? Pastinya! Kita siap untuk menjadi guru hebat dan bermartabat.

Namun, kalau kita merujuk kepada fakta dan data di lapangan pendidikan hari ini, agaknya harapan untuk kecerahan pendidikan belum cukup seimbang dengan usaha maupun perjuangan.

Hal ini bisa kita lihat dari skor PISA 2018 yang telah rilis di akhir 2019 kemarin.

Berdasarkan data PISA, kemampuan alias kompetensi siswa Indonesia berada di bawah skor rata-rata negara peserta OECD. 

Rinciannya, skor literasi, numerasi, dan sains siswa kita secara berturut-turut adalah 371, 379, 396. Sedangkan skor rata-rata negara peserta OECD adalah 487 untuk kompetensi literasi, 489 untuk kompetensi numerasi, juga 489 untuk kompetensi sains.

Lantas, apakah skor yang di bawah rata-rata ini disebabkan oleh guru?

Tidak, tidak semua. Kita tahu, pendidikan adalah sebuah sistem dan guru merupakan salah satu komponen dari sistem pendidikan.

Secara umum, kita menyadari bahwa negeri ini begitu luas hingga faktor geografis juga ikut memengaruhi ketercapaian kompetensi siswa.

Alasannya? Ada kesenjangan dari sisi fasilitas dan akses pendidikan antara pusat dengan daerah. Di sana banyak sinyal, di sini harus panjat tebing.

Meskipun begitu kenyataannya, secara khusus, cara mengajar guru juga ikut mendukung naik atau turunnya skor PISA.

Hal ini bahkan masuk pembahasan utama dalam Peta Jalan Sistem Pendidikan periode 2020-2035 ala Kemendikbud.

Bisa dibayangkan, bukan?

Secara tidak langsung, Kemendikbud telah menaksir bahwa butuh 15 tahun untuk menghapus kesenjangan dalam keefektifan mengajar.

Mengapa begitu lama, karena mengubah pola pikir alias mindset mengajar itu tidak mudah.

Para guru selain wajib beradaptasi dengan perubahan zaman juga harus terus mencoba serta mencoba segala sesuatu yang telah mereka pelajari. 

Semisal, hari ini guru mengikuti pelatihan pemanfaatan aplikasi Youtube sebagai media pembelajaran. Supaya bisa menghasilkan inovasi, maka setelah guru mengikuti pelatihan tadi dirinya perlu praktik dan memanfaatkan aplikasi Youtube secara kontinu.

Jika tidak?

Ya sudah pasti lupa. Barangkali, yang tersisa di ingatan hanyalah di mana file sertifikat pelatihannya. Ciye...Ciye... Mau menghitung angka kredit, ya? Hehehe.

Tenang saja, tidak mengapa, kok. Sertifikat pelatihan sejatinya adalah rewards. Nah, ini sebuah mindset, kan?

Kemarin, ketika mengikuti kelas/kursus online berjudul “Pengembangan Profesionalisme Guru di Abad 21” yang diselenggarakan oleh Highly Functioning Education Consulting Services (HAFECS), saya sempat merenungkan mindset yang semestinya jadi prinsip mengajar guru.

Disampaikan oleh Zulfikar Alimuddin, setidaknya ada 7 prinsip utama mengajar di era kekinian.

Mulai dari mengajar berdasarkan konteks nyata, fokus kepada kebutuhan siswa, meninggikan empati, menemukan cara cepat belajar, fokus kepada pengembangan diri, menyenangi aksi nyata, hingga menerapkan gaya mengajar yang tidak terikat.

Saya pun mencoba merenung lebih jauh dan lebih dalam.

Ternyata memang iya! Ketujuh prinsip yang dituturkan oleh Direktur Global Islamic Boarding School (GIBS) sekaligus Direktur HAFECS ini memang harus guru tanamkan sebagai mindset mengajar.

Untuk memudahkan penanaman mindset mengajar era kekinian, tentu saja para guru perlu lebih akrab dengan teknologi.

Beragam aplikasi digital yang berseliweran di Google Playstore hari ini adalah perantara untuk meningkatkan mutu serta kualitas mengajar guru.

Di sisi lain, kita mungkin tak bisa mengelak bahwa pembelajaran tatap muka tak bisa tergantikan. Tapi, masa iya kita tak butuh dengan yang namanya teknologi pembelajaran?

Toh, gunanya juga untuk mempermudah alias mempercepat pencapaian tujuan ajar, kan? Certainly.

Dan, satu prinsip lagi yang juga tidak boleh ketinggalan adalah, seorang guru perlu menerapkan teknologi pembelajaran yang “bisa” diterapkan, bukan malah agar ingin terlihat keren. 

Sederhananya seperti ini, karena saking asyiknya ingin menerapkan materi pelatihan tentang LMS (Learning Management System) agar terlihat keren, sang guru malah memaksa kepala sekolah memasang layanan LMS dalam waktu singkat.

Kan kasihan, nanti malah ribut!

Daripada memaksakan sesuatu yang tidak sesuai dengan kondisinya, mendingan guru memanfaatkan teknologi pembelajaran yang paling efektif dan sesuai dengan kemampuan siswa, kan?

Semisal, di SD daerah A sinyal internetnya kurang mendukung untuk menggelar pembelajaran menggunakan aplikasi Zoom maupun Microsoft Teams, tetapi untuk berkomunikasi via Whatsapp masih bisa. Nah, mendingan guru racik bahan ajar dalam bentuk infografis dan story Whatsapp, kan?

Begitulah. Sejatinya, hadirnya teknologi pembelajaran bukan untuk ajang “keren-kerenan” melainkan sebagai sandaran menerbitkan inovasi dan kreasi.

Tujuan akhirnya? Demi mencerahkan masa depan pendidikan.

Maka dari itulah, sebagai seorang guru, kita perlu terus memperbaharui kompetensi ajar dengan cara mengikuti kegiatan pengembangan diri seperti workshop, webinar, lokakarya, pelatihan kepenulisan ilmiah dan PTK, serta program berbasis hard skills maupun soft skills lainnya.

Salam.
Ditulis oleh Ozy V. Alandika

Baca juga:

Guru Penyemangat
Guru Penyemangat Guru Profesional, Guru Penggerak, Blogger, Public Speaker, Motivator & Juragan Emas.

Posting Komentar untuk "Menata Mindset Guru untuk Merancang Masa Depan Pendidikan Indonesia"