Widget HTML #1

Shalat Sebagai Ibadah Penghapus Dosa dan Kesalahan (Tafsir Al-Quran Surah Hud Ayat 114)

"Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat." QS Hud Ayat 114

Shalat Penghapus Dosa Dan Kesalahan
Shalat Penghapus Dosa Dan Kesalahan. Foto: Rawpixel via Freepik

Sebagaimana penegas yang tertuang pada terjemahan ayat di atas, bahwasannya perbuatan-perbuatan baik itu dapat menghapus dosa-dosa dari perbuatan-perbuatan yang buruk. 

Terutama shalat, sebagai kewajian untuk meneguhkan pendirian secara istiqamah dan tidak mau condong kepada orang yang zalim, shalat juga harus dilaksanakan secara disiplin. 

Seperti halnya siswa yang bersekolah, mereka diberi kebebasan untuk mencari ilmu pengetahuan yang seluas-luasnya, mereka diberikan kewajiban untuk masuk kelas sesuai jadwalnya. 

Namun, mereka dituntut untuk tepat waktu dan disiplin dalam menjalani proses pembelajaran, demi tercapainya cita-cita untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.

Kisahnya seirama dengan shalat, secara umum shalat terbagi menjadi lima waktu sesuai dengan waktu pelaksanaannya, dan semua itu ada batas-batas tersendiri serta harus dikerjakan secara sistematis, tidak bisa dahulu-mendahului. 

Sebagai contoh, kita ingin shalat Magrib pada dini hari, atau di saat ada waktu santai saja. Tidak bisa! Shalat Magrib harus dikerjakan pada waktunya. 

Sebagai umat muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, kita dituntut dan dianjurkan untuk mengerjakan shalat tepat waktu, displin, dan sistematis, serta dengan ikhlas dan mengharapkan ridha Allah tentunya. 

Jika kita sudah terbiasa menjalankan shalat lima waktu secara sempurna, dalam artian cukup kelima-limanya, maka berlakulah shalat sebagai penghapus dosa dan kesalahan. Jadi, untuk memberlakukan “shalat sebagai penghapus dosa dan kesalahan” kita harus menyadari bahwa disiplin dalam shalat itu penting, dari mulai memahami waktu-waktu shalat, rakaat, rukun shalat,  hingga tata cara pelaksanaannya. 

Pada tulisan yang sederhana ini akan dibahas penafsiran yang berhubungan dengan displin dalam shalat dan kegunaan shalat dalam QS. Hud ayat 114, yang menjadi salah salah satu dasar ditegakkannya shalat lima waktu.

Tafsir Mufradat QS. Hud ayat 114 Tentang Shalat Penghapus Dosa Dan Kesalahan

Tafsir Mufradat Qur’an Surah Hud Ayat 114
Qur’an Surah Hud Ayat 114

Kata zulafan merupakan bentuk jamak dari kata zulfah yaitu waktu-waktu yang saling berdekatan. Ada pula yang memahami kata ini dalam arti awal waktu setelah terbenamnya matahari. 

Bersandar pada pemahaman tersebut, banyak ulama memahami bahwa shalat di waktu itu adalah shalat yang dilaksanakan pada waktu gelap, yakni Magrib dan Isya. 

Kata Al-hasanat ada yang memahaminya dalam pengertian khusus, yakni shalat atau istighfar. Tetapi pendapat yang lebih baik ialah memahaminya dalam pengertian umum, yaitu sebagai amal baik menghapus dosa kedurkahaan.

Tsa’labi mengatakan bahwa arti zulafan adalah permulaan malam. Al-Ankfasy mengatakan arti zulafan itu adalah seluruh saat-saat malam, tetapi beliau mengakui asal makna kata dari zulafan ialah dekat. Memang Magrib dan Isya’ itu masih permulaan dari malam. 

Di sisi lain, ulama tafsir mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan lafal ”tharafai al-nahr” (dua tepi siang) adalah waktu pagi dan waktu sore. 

Rentangan waktu dari pagi hingga sore itu mencakup tiga shalat: Shubuh, Zhuhur, dan Ashar. Pada tepi waktu yang pertama pagi hari, didirikan shalat Shubuh. 

Selepas pagi, matahari terus bergerak naik sampai melewati pertengahan siang, saat itu masuklah shalat Zuhur. Selanjutnya ia terus bergerak ke tepi siang yang kedua, sore hari, saat itu masuklah waktu Ashar.

Selain tertuang dalam Surat Hud ayat 114, di dalam Surat Al-Isra ayat 78 ada pula ayat yang senada:

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh.”

Tergelincir matahari ialah waktu Zuhur, dengan kata illa, yang berarti sampai termasuklah waktu Ashar, dan disambut oleh Magrib, karena dengan terbenamnya matahari, malam sudah mulai tiba, dan dengan cahaya merah disebelah barat (syafaq), mulailah malam dan dengan menyebut Quran fajar, tercakuplah waktu Subuh.

Asbabun Nuzul Ayat

Dalam kitab tafsir Al-Kasyfuwal Bayan karya Imam Abu Ishaq Ahmad Ats-Tsa`labi (V/193) dijelaskan bahwa ayat tersebut diturunkan pada sahabat Abu Al-Yusr ‘Amr bin Ghozyah Al-Anshaari, seorang penjual buah kurma. 

Beliau bertanya kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat Anda tentang seorang laki-laki yang hendak menodai seorang perempuan?”

Rasulullah tidak menjawab dan kemudian shalat Ashar berjamaah bersama Abu Al-Yurs. Setelah shalat Rasulullah menerima wahyu dari malaikat jibril, yaitu Surat Hud ayat 114.

Syahdan, Rasul memanggil Abu Al-Yurs dan berkata: “Pergilah… Sesungguhnya shalat Asharmu sebagai penebus atas apa yang engkau kerjakan,”

Jadi, turunnya ayat ini menegaskan bahwa shalat itu adalah sebagai penebus dosa, pelebur dosa yang pernah dilakukan, dan hal itu berlaku kepada semua orang, bukan hanya Abu Al-Yurs saja. 

Karena Rasulullah juga mengatakan kepada Abu Al-Yurs bahwa kegunaan shalat ini berlaku untuk tiap orang. 

Tafsir QS. Hud ayat 114 Tentang Shalat Sebagai Ibadah Penghapus Dosa dan Kesalahan

Shalat Penghapus Dosa Dan Kesalahan (Tafsir Qur’an Surah Hud Ayat 114)-2
Shalat Penghapus Dosa Dan Kesalahan. Foto: sikap muslim yang positif by Pexels

Waktu dan Pembagian Shalat Fardu

Secara ijmali dan tersurat, ayat di atas menerangkan kita untuk melaksanakan shalat dengan teratur dan benar sesuai dengan ketentuan, rukun, syarat, dan sunnah-sunnahnya pada kedua tepi siang, yakni pagi dan petang, atau Subuh, Zuhur, dan Ashar dan pada bagian permulaan dari malam, yaitu Magrib dan Isya, serta juga bisa termasuk witir dan tahajud. 

Rangkaian ibadah tersebut dapat mensucikan jiwa dan mengalahkan kecenderungan nafsu untuk berbuat kejahatan.

Tertuang dalam buku yang dirangkai oleh Buya Hamka, ada seorang ulama di Parepare Sulawesi Selatan, mengeluarkan fatwa bahwa di dalam Al-Qur’an tidaklah ada tersebut waktu yang lima: Subuh, Zuhur, Ashar, Magrib, dan Isya. 

Selain itu dia mengeluarkan fatwa buatannya sendiri bahwa orang hanya diwajibkan shalat dua rakaat. Tidak ada yang empat rakaat. 

Rupanya orang ini baru membaca salinan-salinan Al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia dan tidak menyelidiki tafsir dari Hadis-hadis, sehingga disesatkannya murid-muridnya dengan fatwanya itu. 

Padahal kalau dia benar-benar menyelidiki agama dari sumber aslinya, tidaklah dia akan membuat agama sendiri seperti yang telah dilakukannya itu. Sejalan dengan ayat di atas, Allah berfirman dalam Surat Ar-Rum ayat 17, yaitu: 

“Maka bertasbihlah kepada Allah di waktu kamu berada di petang hari dan waktu kamu berada di waktu subuh.

Arti tasbih dalam ayat 117 surat Ar-Rum ini mencakup ibadah shalat. Shalat yang didirikan dengan sempurna, lengkap dengan rukun-rukun dan syarat-syaratnya penuh khusyuk dan keikhlasan adalah puncak ibadah, penghubung antara hamba dengan Allah, pembersih tubuh dan penyuci jiwa, penyebab tercapainya ridha Allah SWT.

Secara tersirat, potongan ayat 114 dari Surat Hud mengandung makna bahwa sebelum melaksanakan shalat lima waktu kita dituntut untuk terlebih dahulu berwudhu atau bersuci. 

Seperti sabda Nabi Muhammad SAW:

“Seorang Muslim yang berwudhu dengan sempurna dan melaksanakan shalat lima fardu, akan rontoklah dosa-dosanya sebagaimana daun-daun ini rontok dari rantingnya ”. Kita sebagai umat muslim dituntut untuk terlebih dahulu menyempurnakan wudhu.

Mengenai kesempurnaan wudhu, ada beberapa syarat yang mendukung sempurnanya wudhu seseorang, yaitu:

  • Beragama Islam.
  • Tamyiz, yaitu dapat membedakan antara pekerjaan yang baik dan pekerjaan yang buruk.
  • Tidak mempunyai hadats besar.
  • Berwudhu menggunakan air yang suci dan mensucikan (air mutlak).
  • Tidak ada benda yang dapat menghalangi sampainya air ke kulit, misalnya getah, sisik ikan, cat, dan sejenisnya. Kotoran yang ada dibawah kuku jika diyakini dapat menghalangi sampainya air wajib dihilangkan terlebih dahulu.

Lebih jauh, dasar kewajiban berwudhu terdapat di dalam Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 6.

Selain menuntut kesempurnaan berwudhu, potongan ayat di atas juga mengumpamakan seseorang yang menjalankan shalat lima waktu secara sadar, dengan dzikir dan khusyu’. 

Pengibaratannya ialah serupa dengan orang yang tinggal di tepi sungai, lima kali sehari semalam mereka membersihkan dirinya di sungai itu, sehingga dia pun menjadi orang yang bersih.

Dengan demikian, jelaslah kiranya bahwa shalat lima waktu itu mempunyai pengaruh yang hebat bagi diri seseorang, terutama masalah kebersihan. 

Secara praktis, orang yang berwudhu lima kali sehari tentulah bersih secara jasmani dan setelah menjalankan shalat, rohaninya pun ikut bersih.

Shalat Sebagai Penghapus Dosa dan Kesalahan

Shalat Penghapus Dosa Dan Kesalahan (Tafsir Qur’an Surah Hud Ayat 114)
Shalat Penghapus Dosa Dan Kesalahan (Tafsir Qur’an Surah Hud Ayat 114). Foto: Hebert Santos by Pexels

Surat Hud ini, sesuai dengan surat sebelumnya dalam pembukaan dan penutupnya, serta rincian dakwah yang terdapat di tengahnya. 

Maksudnya, Surat Hud dan Surat Yunus sama-sama dimulai dengan menyebutkan Al-Qur’an sesudah kata-kata Alim Lam Ra, dan dengan menyebutkan kerasulan Muhammad SAW sebagai penyampai wahyu dari Tuhannya.

Juga dengan keterangan, bahwa Rasul Allah hanyalah pemberi kabar gembira dan peringatan sehingga berhubungan dengan turunnya ayat 114 Surat Hud yang berisikan kabar gembira bahwa shalat berguna sebagai penghapus dosa dan kesalahan. 

Inna al-hasanat/sesungguhnya kebajikan-kebajikan yakni perbuatan-perbuatan baik yang didasari oleh keimanan dan ketulusan. Yudzhibna as-sayyi at/menghapus keburukan-keburukan yakni perbuatan-perbuatan buruk. 

Artinya, Allah SWT menghapus dosa-dosa kecil apabila seseorang telah mengerjakan amal-amal saleh.

Pada ayat ini Allah SWT  menerangkan juga bahwa perbuatan-perbuatan yang baik yang intinya mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangannya akan menghapuskan dosa-dosa kecil dan perbuatan-perbuatan buruk. 

Ketika kita dekatkan dengan Kalam Allah, terutama dalam Surat An-Nisa’ ayat 31, ada penguat tentang perbuatan baik sebagai penghapus kesalahan.

“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).”

Juga sejalan dengan sabda Nabi Muhammad SAW

“Iringilah perbuatan buruk itu dengan perbuatan yang baik, maka perbuatan baik itu akan menghapuskan (dosa) perbuatan buruk itu”. (HR. At-Tirmidzi dari Abu Zar Al-Gifhari).

Menghapus dosa adalah inti dari dikerjakannya shalat yang bersyaratkan sempurnanya wudhu dan dikerjakan dalam keadaan sadar seperti yang dijelaskan pada bagian awal tulisan ini.

Dalam tafsir Al Jalalain juga dikatakan bahwa yang dimaksudkan adalah dosa-dosa kecil dan dosa tersebut dihapus dengan ketaatan. Di antaranya adalah shalat wajib. 

Antara shalat Shubuh dan Zhuhur, Ashar dan Maghrib, Maghrib dan Isya, Isya dan Shubuh, di dalamnya terdapat pengampunan dosa dengan sebab melaksanakan shalat lima waktu. 

Namun perlu diketahui bahwa dosa-dosa kecil ini bisa terhapus dengan amalan wajib apabila seseorang menjauhi dosa-dosa besar. Pendapat inilah yang dianut mayoritas ulama salaf. 

Artinya, menjauhi dosa besar merupakan syarat agar dosa kecil itu bisa dihapus dengan amalan-amalan wajib. Jika dosa besar tidak dijauhi, maka dosa kecil tidak bisa terhapus dengan sekedar melakukan amalan wajib.

Berkisah tentang dosa, dosa itu ada dua macam, yaitu dosa kecil dan dosa besar. 

Dosa kecil adalah pelanggaran hukum atas perbuatan yang tidak dirinci bahwa pelanggarannya tidak seperti dosa besar, seperti berbohong dan melihat sesuatu yang dilarang. 

Dosa kecil dapat dihapus dengan cara berwudhu, melakukan dan menjalankan perbuatan yang baik, shalat, dan ibadah lainnya.

Sedangkan dosa besar adalah pelanggaran hukum atas perbuatan yang telah ditentukan oleh Allah.

Sebut saja seperti syirik, menyakiti orang tua, saksi palsu, bunuh diri, membunuh orang lain, zina, bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa dosa-dosa kecil yang dilakukan secara terus menerus dapat menjadi dosa besar.

Dosa besar dapat dihapus dengan taubat nasuha, sedangkan syirik adalah dosa yang tidak terampuni. Pada dasarnya dosa akan kembali kepada dirinya sendiri. Hukuman atau balasan dosa dapat terjadi di dunia maupun di akhirat. 

Tetapi Allah SWT memberikan kesempatan untuk bertaubat dan mohon ampunan. Sembari bertaubat, kita juga wajib mencegah datangnya dosa dari 7 anggota tubuh sebagaimana yang diterangkan oleh Imam Al-Ghazali.

Amal-amal baik itu menghapuskan keburukan-keburukan dan menghilangkan cela yang ditinggalkannya, karena amal yang baik itu merupakan pensucian dan perbaikan jiwa, yang kemudian dapat menghapuskan pengaruh dari amal buruk yang melekat dalam jiwa atau perusakan amal-amal buruk terhadapnya. 

Terdapat hadis riwayat Muslim sebagai penguat:

“Dan lakukanlah kebaikan setelah melakukan keburukan, niscaya kebaikan itu akan menghapus keburukan”. “shalat lima waktu itu penghapus dosa-dosa yang dilakukan antara shalat-shalat tersebut, selagi dihindari dosa-dosa besar, sesungguhnya dalam nsihat-nasihat tersebut, yaitu tentang istiqamah, larangan durhaka cenderung kepada orang-orang zalim dan mendirikan shalat-shalat pada waktu tersebut terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mau mengambilnya. Yaitu orang-orang yang takut kepada Allah dan tidak melupakan-Nya”.

Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa secara tersurat penghapus dosa dan kesalahan utamanya adalah shalat. Shalat lima waktu adalah amal kebaikan atau perbuatan baik yang dapat menghapus dosa-dosa kecil. 

Untuk dosa-dosa besar, cara menghapusnya adalah dengan taubat yang sebenar-benarnya dan berniat untuk tidak mengulanginya lagi. 

Selagi kita masih bernafas, berarti Allah masih memberikan kita kesempatan untuk bertaubat dan mendekatkan diri kepada Allah SWT serta senantiasa menjauhi dosa-dosa besar. 

Menjauhi dosa-dosa besar bukan berarti kita masih sering melakukan dosa-dosa kecil, karena dosa-dosa kecil jika sering dilakukan maka itu akan menjadi dosa yang besar.

Mengenai makna tersirat, Quraish Shihab menerangkan, ayat di atas mengandung makna bahwa amal-amal saleh yang dilakukan seseorang secara tulus dan konsisten akan dapat membentengi dirinya sehingga dengan mudah ia dapat terhindar dari keburukan-keburukan.

Makna ini sejalan juga dengan firman Allah, “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar”. 

Dapat dikatakan bahwa shalat itu adalah sebuah amar ma’ruf. Menurut Al-Maraghi al-ma’ruf  adalah ma istahsanabu al-syar’ wa al-‘aql (sesuatu yang dipandang baik menurut agama dan akal). 

Abu ‘Ala al-Maududi berpendapat bahwa kata ma’ruf adalah nama untuk segala kebajikannatau sifat-sifa baik yang sepanjang masa telah diterima dengan baik oleh hati nurani manusia. 

Jadi, dapat dismpulkan bahwa al-ma’ruf adalah segala sesuatu dalam bentuk ucapan, perbuatan, pemikiran, dan sebagainya yang dipandang baik menurut syari’at (agama) dan akal pikiran, atau yang dianggap baik menurut akal namun sejalan atau tidak bertentangan dengan syari’at. 

Alhasil, kebebasan akal dalam menentukan dan menilai suatu kebajikan dibatasi oleh ketentuan agama. Oleh karena itu, boleh jadi ada yang menurut akal baik tetapi menurut syari’at buruk.

Misalnya hidup bersama sebelum menikah (samenleven) atau kumpul kebo yang didasarkan atas suka sama suka menurut akal adalah baik, sedangkan menurut agama  tidak baik.

Lain halnya seperti shalat, mau dipandang dari segi apapun, tidak akan bertentangan dengan ketentuan dan syari’at agama.

Kita dituntut untuk tulus, ikhlas, dan konsisten dalam melakukan amalan baik, yaitu hanya untuk mengharapkan ridha Allah semata. 

Selain mengandung makna tersirat berupa ketulusan dan konsistensi dalam beramal, ayat diatas mengandung makna tentang taubat. 

Melalui ayat di atas Allah SWT menyuruh kita bertaubat dan meminimalisir dosa-dosa besar, karena dosa besar hanya bisa dihapus melalui taubat.

Mengenai taubat, ada dua hal sebab diwajibkannya taubat. 

Pertama, agar kita taat. Sebab, perbuatan dosa menghalangi taat yang akan menghilangkan ketahuidan, menghalangi berkhidmat kepada Allah, dan menghalangi kita untuk berbuat kebaikan. 

Kedua, agar ibadah kita diterima oleh Alah SWT. Karena taubat merupakan initi dan dasar diterimanya ibadah.

Al-Ghazali menerangkan bahwa syarat taubat ada empat, yaitu: 

  • Meninggalkan dosa dengan sekuat hati dan niat. Berarti tidak mengulangi sama sekali perbuatan-perbuatan dosa yang pernah dilakukan.
  • Menghentikan atau meninggalkan perbuatan dosa yang pernah dikerjakannya.
  • Perbuatan dosa yang pernah dilakukannya harus setimpal atau seimbang dengan dosa yang ditinggalkan sekarang. 
  • Meninggalkannya semata-mata untuk mengagungkan Allah SWT, bukan karena yang lain, tetapi takut mendapat murka Allah, serta takut akan hukuman-Nya yang pedih. Tidak ada maksud keduniaan, tidak takut kepada orang lain, juga bukan takut dipenjarakan. Jika taubat karena hanya takut dipenjara, berarti ia bertaubat kepada penjara, bukan kepada Allah.

Jadi, taubat adalah semata-mata takut akan murka Allah.

Kesimpulan

QS. Hud ayat 114 Allah menyuruh kita untuk menjalankan shalat fardu lima waktu, terlepas dibagi-bagi waktunya menjadi kedua tepi siang. Allah menyuruh kita menjalankan shalat lima waktu agar dosa-dosa kecil yang pernah kita lakukan bisa terhapus.

Dalam menjalankan shalat fardu, kita dituntut untuk berwudhu secara sempurna dan melakukan shalat dengan keadaan yang sadar, kemudian ditambah dengan dzikir serta khusyu’ dalam mengerjakannya.

Perbuatan-perbuatan baik yang dapat menghapus dosa dan kesalahan adalah perbuatan atau amalan baik yang dilaksanakan dengan ketulusan dan konsistensi dalam setiap perbuatan tersebut. 

Seperti halnya shalat, shalat yang konsisten adalah shalat yang dijalankan sesuai dengan aturan waktu, ketentuan, dan tata cara pelaksanaannya.

Melalui QS. Hud ayat 114, sebenarnya Allah menyuruh kita untuk bertaubat, dan menjauhi perbuatan-perbuatan yang nantinya dapat menimbulkan dosa-dosa besar. 

Bertaubat yang semata-mata takut akan murka Allah. Bukan takut kepada orang lain, takut akan dipenjara, maupun takut-takut yang lainnya yang bukan kepada Allah SWT.

Terakhir, dosa yang bisa dihapus adalah dosa-dosa kecil, sedangkan untuk dosa besar, seseorang harus bertaubat kepada Allah. 

Soal dihapus atau tidak, hanya Allah-lah yang mengetahuinya, serta tergantung pula dengan sungguh-sungguh atau tidaknya taubat yang kita lakukan.                                                                                                                                                                               

Sumber:

_____. Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir 4. (2005). Surabaya: Bina Ilmu.
Al-Ghazaly. (1993). Minhajul Abidin, Wasiat Imam Al Ghazaly. Jakarta: Darul Ulum Press.
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. (1993). Tafsir Al-Maraghi. Semarang: Toha Putra, Cetakan kedua, Juz XII.
_____. (1987). Tafsir Al-Maraghi. Semarang: Toha Putra, Cetakan pertama, Juz XI.
Ats-Tsa’labi, Abu Ishaq Ahmad. (tt). Asbabun Nuzul Surat Hud ayat 114. [online].
Hakim, Ihsan Nul. (2009). Tafsir Ayat-ayat Pilihan. Curup: LP2 Stain Curup.
Hamka. (1982). Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, Juz XII.
_____. (1985). Hamka Membahas Soal-soal Islam. Jakarta: Dharma Caraka.
Mas’ud, Ibnu. (2010). Tafsir Al-Jalalain. [online]. Tersedia: http://rumaysho.com/
Nata, Abuddin. (2002). Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Shihab, M. Quraish. (2002). Tafsir Al-Mishbah: pesan, kesan, dan keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, Cetakan pertama, Vol 6.
______. (2009). Tafsir Al-Mishbah: pesan, kesan, dan keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, Cetakan pertama, Vol 5.
Sumarmi et al. (2010). Pendidikan Agama Islam. Klaten: Sekawan.

Semoga Bermanfaat. Salam.
Ditulis oleh Ozy V. Alandika

Baca juga:

Guru Penyemangat
Guru Penyemangat Guru Profesional, Guru Penggerak, Blogger, Public Speaker, Motivator & Juragan Emas.

Posting Komentar untuk "Shalat Sebagai Ibadah Penghapus Dosa dan Kesalahan (Tafsir Al-Quran Surah Hud Ayat 114)"