Mengulik Sejarah dan Ajaran Pokok Aliran Muktazilah
Mengulik Sejarah dan Ajaran Pokok Aliran Muktazilah. Dok. Gurupenyemangat.com |
Sebagaimana yang kita ketahui, banyak aliran dan mazhab yang timbul sepanjang sejarah umat Islam.
Berawal dari dari timbulnya aliran berlatar belakang politik, yang kemudian aliran tersebut berevolusi dan memicu kemunculan aliran bercorak akidah (teologi), hingga bermacam mazhab Fikih, Ushul Fikih dan ilmu-ilmu keislaman lainnya.
Termasuklah di dalamnya aliran Muktazilah yang berlatar belakang politik beserta teologi Islam.
Pemikiran-pemikirannya lebih berdasarkan akal dari pada ajaran dan wahyu dari Allah sehingga banyak ajaran Islam yang tidak mereka akui karena menyelisihi akal menurut prasangka mereka.
Berbicara perpecahan umat Islam tidak ada habis-habisnya, karena terus menerus terjadi perpecahan dan perselisihan mulai dengan munculnya Khawarij dan Syi’ah.
Kemudian muncullah satu kelompok lain yang berkedok dan berlindung di bawah syiar akal dan kebebasan berfikir, satu syiar yang menipu dan mengelabuhi orang-orang yang tidak mengerti bagaimana Islam telah menempatkan akal pada porsi yang benar.
Asal-usul Kemunculan Muktazilah
Secara harfiah, kata Muktazilah berasal dari kata i’tazala yang berarti berpisah, atau memisahkan diri, dan bisa juga menjauh atau menjauhkan. Secara teknis, istilah Muktazilah menunjuk pada dua golongan.
Golongan pertama yang disebut Muktazilah I muncul sebagai respon politik murni.
Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Mu’awiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair.
Golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Muktazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah.
Adapun golongan kedua yang disebut Muktazilah II muncul sebagai respons persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Murji’ah.
Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Murji’ah tentang pemberian status kafir kepada orang yang berbuat dosa besar.
Golongan Muktazilah muncul pada masa pemerintahan Bani Umayyah, tetapi baru menghebohkan pemikiran keislaman pada masa pemerintahan Bani ‘Abbas dalam masa yang cukup panjang.
Sebagian ulama berpendapat golongan ini mulai timbul sebagai satu kelompok di pengikut ‘Ali.
Mereka mengasingkan diri dari masalah-masalah politik dan beralih ke masalah aqidah ketika Hasan turun dari jabatan khalifah untuk digantikan oleh Mu’awiyah ibn Abi Sufyan.
Mengenai hal ini, Abu al-Hasan al-Thara’ifi dalam bukunya Ahl al-Ahwa’ wa al-Bida’ menyatakan “Mereka menanamkan diri dengan Muktazilah ketika Hasan Ibn ‘Ali membai’at Mu’awiyah dan menyerahkan jabatan khalifah kepadanya.
Mereka mengasingkan diri dari Hasan, Mu’awiyah dan semua orang lain, kemudian mereka menetap dirumah-rumah dan masjid.
Pada umumnya ulama berpendapat bahwa tokoh utama Muktazilah adalah Washil ibn ‘Atha’. Ia adalah salah seorang peserta (murid) dalam forum ilmiah Hasan al-Bashri.
Di forum ini muncul masalah yang hangat pada waktu itu, yaitu masalah pelaku dosa besar. Washil berkata dalam menentang pendapat Hasan:
“Menurut saya pelaku dosa besar sama sekali bukan mu’min, bukan pula kafir, melainkan ia berada di antara dua posisi itu.”
Setelah Washil mengungkapkan pendapatnya yang berbeda dengan gurunya itu, kemudian ia dikeluarkan dari majelis gurunya dan ia membentuk majelis sendiri dimasjid yang sama yaitu masjid Basrah.
Oleh karena itu majelisnya dinamakan kaum Muktazilah sebab memisahkan diri dari jamaah gurunya, yaitu Imam Hasan Al-Basri.
Muktazilah dikenal sebagai aliran teologi Islam yang rasional dan liberal, karena pandangan teologisnya lebih banyak berdasarkan akal dan lebih bersifat filosofis.
Dengan kata lain, paham Muktazilah berpangkal dari pola pikir bahwa akal sebagai anugerah Tuhan memiliki kekuatan untuk mengetahui hal-hal yang dianggap baik atau buruk.
Nama lain dari aliran ini adalah Ahlul Adli wat Tauhid (golongan keadilan dan ketauhidan). Aliran ini mengalami perkembangan pesat setelah memperoleh dukungan resmi dari Khalifah Abbasiyah Al Makmun yang menjadikannya sebagai madzhab resmi Negara.
Ada beberapa versi terkait dengan penamaan Muktazilah, di antaranya:
- Asy-Syahrastani menyebut kaum Muktazilah karena ada kelompok yang menjauhkan diri.
Peristiwa ini terjadi ketika Wasil bin Ata mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al-Basri di masjid Basrah, datanglah seseorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al-Basri tentang orang yang berdosa besar.
Ketika Hasan Al-Basri sedang berpikir, Wasil mengemukakan pendapatnya bahwa “orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada di antara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir”.
Kemudian Wasil menjauhkan diri dari Hasan dan pergi ke tempat lain dan mengulangi pendapatnya dihadapan pengikutnya. Lalu Hasan Al-Basri berkata “wasil menjauhkan diri dari kita”. Peristiwa inilah yang disebut kaum Muktazilah.
Al-Baghdadi menamakan golongan Muktazilah karena Wasil dan temannya Amr bin Ubaid bin Bab diusir oleh Hasan Al-Basri dari majelisnya karena ada pertikaian tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar.
- Teori baru, yang diungkapkan oleh Ahmad Amin menerangkan bahwa nama Muktazilah sudah terdapat sebelum adanya peristiwa Wasil dan Hasan Al-Basri.
- Nama Muktazilah diberikan pada golongan orang yang tidak mau berintervensi dalam pertikaian politik yang terjadi pada zaman Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Ia menjumpai pertikaian di sana:
Satu golongan mengikuti pertikaian itu, sedangkan golongan lain menjauhkan diri ke Kharbita (i’tazalat ila kharbita).
Oleh karena itu, dalam surat yang dikirimnya kepada Ali bin Abi Thalib, Qais menamai golongan yang menjauhkan diri dengan Mu’tazilin, sedangkan Abu Al-Fida menamainya dengan Muktazilah.
Dengan demikian, kata i’talaza dan Muktazilah telah dipakai kira-kira seratus tahun sebelum peristiwa Wasil dan Hasan Al-Basri, yang mengandung arti golongan yang tidak mau ikut campur dalam pertikaian politik yang terjadi pada zamannya.
Sejarah dan Perkembangan Aliran Muktazilah
Aliran Muktazilah merupakan aliran Teologi Islam yang terbesar dan tertua, yang telah memainkan peranan penting dalam sejarah pemikiran dunia Islam.
Aliran Muktazilah lahir kurang lebih pada abad pertama hijriyah dikota Basrah (Irak), pusat ilmu dan peradaban Islam dikala itu, tempat peraduan aneka kebudayaan asing dan pertemuan bermacam-macam agama.
Pada waktu itu banyaklah orang-orang yang hendak menghancurkan Islam dari segi akidah, baik merka yang menamakan dirinya Islam ataupun tidak.
Sebagaimana diketahui, sejak Islam meluas banyaklah bangsa-bangsa yang masuk Islam dan hidup di bawah naungannya.
Baca juga:
Akan tetapi tidak semuanya memeluk agama ini dengan segala keikhlasannya, ketidak ikhlasan ini terutama dimulai sejak permulaan masa pemerintahan khilafat Ummawi, disebabkan karena khalifah-khalifah
Ummawi memonopoli segala kekuasaan negara kepada orang-orang Islam dan bangsa Arab sendiri.
Tindakkan mereka menimbulkan terhadap bangsa Arab dan menyebabkan ada keinginan untuk menghancurkan Islam itu sendiri dari dalam, karena Islam menjadi sumber kejayaan dan kekuatan mereka, baik pesikis maupun mental.
Di antara lawan-lawan Islam dari dalam ialah golongan rafidah yaitu golongan syi’ah ekstrim yang banyak kemasukan unsure-unsur kepercayaan yang jauh sama sekali dari ajaran Islam.
Sebut saja seperti kepercayaan Manu, aliran agenostik yang pada waktu itu tersebar luas di Kuffah dan Basrah.
Termasuk lawan Islam juga ialah golongan tasawuf-hulul (ingkarnasi) yang mempercayai bertempatnya Tuhan pada manusia.
Aliran Muktazilah, bahwa Tuhan tidak mungkin mengambil tempat apapun juga.
Dalam keadaan demikian muncullah aliran Muktazilah yang kemudian berkembang dengan pesat, serta mempunyai metode dan paham sendiri.
Lima Ajaran Pokok Aliran Muktazilah
Muktazilah mempunyai lima ajaran pokok yang populer dengan istilah Al Ushul Al Khamsah, yaitu lima prinsip doktrin ajaran yang dikembangkan oleh Muktazilah, yang meliputi:
Tauhid
Bagi kaum Muktazilah tauhid mempunyai arti spesifik, Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti ke Maha Esaan-Nya.
Oleh karena itu hanya Dia-lah yang qadim. Bila ada yang qadim lebih dari satu, maka telah terjadi ta’addud al qudama (terbilangnya zat yang bermulaan).
Atas dasar prinsip tauhid golongan Muktazilah menetapkan bahwa Allah mustahil dapat dilihat pada hari kiamat, karena hal itu berarti bahwa Allah berjasad dan berarah.
Mereka juga menetapkan bahwa sifat-sifat Allah bukanlah sesuatu yang lain dari dzat-Nya sendiri.
Jika tidak demikian, maka menurut pendapat mereka akan terjadi ta’addud al-qudama (yang qadim menjadi berbilang).
Dengan dasar tauhid itu mereka juga menetapkan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk atau diciptakan Allah.
Penetapan ini dimaksudkan untuk mencegah berbilangnya yang qadim dan menafikkan sifat al-kalam (berkata-kata) dari Allah yang diyakini banyak penganut paham Muktazilah.
Mengenai mukjizat, Harun Nasution berpendapat bahwa Al-Qur’an dalam gaya dan bahasa tidak merupakan mukjizat, Al-Qur’an merupakan mukjizat hanya dalam isi.
Jika sekiranya Tuhan tidak mengatakan bahwa tidak ada manusia yang akan sanggup membuat karangan seperti Al-Qur’an, mungkin akan ada manusia yang akan dapat membuat Al-Qur’an.
Berbicara tentang iman, aliran Muktazilah sepakat bahwasannya amal perbuatan merupakan salah satu unsur terpenting dalam konsep iman, bahkan hampir meng-identikkannya dengan iman.
Konsep mereka tentang amal dijadikan bagian penting keimanan dan memiliki keterkaitan langsung dengan masalah al-wa’d wa al wa’id (janji dan ancaman).
Aspek penting lainnya dalam konsep Muktazilah tentang iman adalah tentang ma’rifah (pengetahuan dan akal).
Karena pandangan Muktazilah yang bercorak rasional maka aliran ini menekankan pentingnya pemikiran logis atau penggunaan akal bagi keimanan.
Ma’rifah sebagai unsur pokok yang rasional dari iman berimplikasi pada setiap penolakan keimanan berdasarkan otoritas orang lain (al-iman bi a-taqlid).
Mengenai sifat atau keberadaan Tuhan, aliran Muktazilah yang memberikan daya yang besar kepada akal berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat dikatakan memiliki sifat-sifat jasmani.
Bila Tuhan mempunyai sifat yang jasmani, tentu Tuhan memiliki ukuran panjang, lebar dan dalam. Maka dari itu, aliran Muktazilah menafsirkan ayat-ayat yang memberikan kesan bahwa Tuhan bersifat jasmani secara metaforis.
Adil
Keadilan berarti meletakkan tanggung jawab atas perbuatan-perbuatannya.
Manusia bisa mengerjakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya karena kekuasaan Tuhan yang dijadikan Tuhan pada diri manusia. lebih jauhnya tentang keadilan ini mereka berpendapat sebagai berikut:
- Tuhan menguasai tentang kebaikan serta tidak menghendaki keburukan.
- Manusia bebas berbuat dan kebebasan ini karena qudrat (kekuasaan) yang dijadikan Tuhan pada diri manusia.
- Makhluk diciptakan atas dasar hikmah kebijaksanaan.
- Tuhan tidak melarang atas sesuatu, kecuali terhadap yang dilarang dan tidak menyuruh kecuali sesuai kemampuan.
- Kaum Muktazilah tidak mengakui bahwa manusia itu memiliki qudrat dan iradat, tetapi hal itu hanya pinjaman belaka.
- Manusia dapat dilarang atau dicegah untuk melakukan qudrat dan iradat.
Janji dan ancaman
Prinsip dan ancaman yang dipegang oleh kaum Muktazilah adalah untuk membuktikan keadilan tuhan sehingga manusia bisa merasakan balasan Tuhan atas segala perbuatannya.
Di sinilah peran janji dan ancaman bagi manusia agar manusia bertanggung jawab atas perbuatannya. Adapun ajarannya yaitu:
Orang mukmin yang berdosa besar lalu mati sebelum bertobat, ia tidak akan mendapat ampunan Tuhan.
Di akhirat tidak ada syafaat, sebab syafaat berlawanan dengan al-wa’du wal wa’id (janji dan ancaman).
Tuhan akan membalas kebaikan manusia yang telah berbuat baik dan akan menjatuhkan siksa terhadap manusia yang melakukan kejahatan.
Tempat di antara dua tempat
Yang dimaksud tempat di antara dua tempat yang dikemukakan oleh kaum Muktazilah yaitu tempat bagi orang fasik.
Orang-orang yang melakukan dosa besar tetapi tidak musyrik mereka dinamai fasik dan nantinya ditempatkan di suatu tempat yang berada di antara surga dan neraka.
Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan sebagai dosa besar, aliran Muktazilah merumuskan secara lebih konseptual ketimbang aliran Khawarij.
Yang dimaksud dengan dosa besar menurut pandangan Muktazilah adalah segala perbuatan yang ancamannya disebutkan secara tegas dalam nash, sedangkan dosa kecil adalah sebaliknya, yaitu segala ketidakpatuhan yang ancamannya tidak tegas dalam nash.
Jadi, Muktazilah menjadikan ancaman sebagai kriteria dasar bagi dosa besar maupun kecil.
Menyuruh kebaikan dan melarang kejelekan
Dasar ini pada kenyataannya hanya sekedar berhubungan dengan amalan lahir. Tuhan menyuruh kebaikan kepada manusia dan pelaksanaannya sesuai dengan kemampuannya. Dia melarang keburukan adalah mutlak harus ditinggalkan.
Menurut mereka orang yang menyalahi pendirian mereka dianggap sesat dan harus dibenarkan serta diluruskan. Kewajiban ini harus dilaksanakan oelh setiap muslim untuk menegakkan agama serta memberi petunjuk kepada orang yang sesat.
Seorang Shi’ah-Muktazilah yang sangat terkenal, yaitu al-Sharif al-Murtada mengungkapkan bahwa walupun Muktazilah memberikan penekannan yang sangat besar makna penting “melakukan perbuatan”.
Namun, mereka tidak percaya bahwa ”melakukan perbuatan” mempunyai kekuasaaan yang mutlak atas nassib manusia.
Kita tidak dapat menjadi seorang yang percaya jika tidak “melakukan perbuatan”, tetapi “melakukan perbuatan” saja tidak dapat membuat seseorang masuk surga.
Filsafat Aliran Muktazilah
Kelima prinsip di atas merupakan dasar utama yang harus dipegangi oleh setiap orang yang mengaku dirinya sebagai orang Muktazilah dan sudah menjadi kesepakatan mereka semua.
Akan tetapi mereka berselisihan pendapat tentang soal-soal kecil lainnya, yaitu ketika memperdalam pembahasan kelima prinsip tersebut dan menganalisisnya yang didasarkan atas pikiran-pikiran filsafat Yunani dan lainnya.
Karena itu sebenarnya tidak terdapat kesatuan aliran yang disebut aliran Muktazilah, tetapi yang ada ialah bermacam-macam aliran yang timbul dan berkembang sekitar orang-orang tertentu.
Sebagaimana halnya dengan bermacam aliran filsafat, seperti: Stoa, Epicurus, Phytagoras, dan lain-lain yang kesemuanya dinamakan filsafat Yunani.
Ada beberapa bidang filsafat aliran Muktazilah, yang meliputi:
Politik
Golongan Muktazilah mengemukakan pendapatnya dalambeberapa soal politik dan peristiwa yang terjadi dalam sejarah Islam.
Pendapat-pendapat tersebut menunjukkan corak kebebasan dan keberanian mereka dalam berpikir, menganalisa dan mengkritik.
Tentang keharusan adanya imamah (pimpinan negara Islam) pendapat golongan Muktazilah sama dengan golongan-golongan lainnya yaitu unutk melaksanakan dan memelihara ketertiban hukum di antara kaum muslimin dan mengirimkan penganjur-penganjur agama polosok dunia.
Akan tetapi haruskah seorang imam itu dari suku Quraisy tidak sama pendapat golongan Muktazilah. Ada yang mengharuskan dan ada yang tidak mengharuskan.
Mereka yang tidak mengharuskan mengatakan bahwa hadis yang berbunyi: “imam-imam harus dari orang Quraisy” buka hadis mutawattir yang didengar oleh orang banyak, karena kalau mutawattir tentulah sahabat-sahabat Ansar tidak perlu menuntut khilafah.
Tentang Abu Bakar, Umar dan Ali dikatakan bahwa kekhilafatan mereka sah, meskipun kemudian tidak sama pendapatnya tentang urutan-urutan keutamaan.
Ada yang mengatakan bahwa Abu Bakar lebih utama daripada Ali dan urutan-urutan keutamaan empat orang khalifah ialah seperti urutan-urutan terjadinya jabatan khalifat.
Golongan Muktazilah lain lebih mengutamakan Ali daripada Abu Bakar, sedang golongan lainnya lagi tidak mau mengeluarkan pendapatnya.
Dasar sahnya kekhilafatan Abu Bakar ialah Ali sendiri menyatakan bhaiyat (pernyataan setia kepadanya tanpa paksaan).
Selanjutnya tentang Usman, golongan Muktazilah tidak mau mengeluarkan pendapatnya, baik benar atau salah.
Meskipun selama enam tahun berakhir dari hidupnya membuat kesalahan-kesalahan karena mengutamakan golongan sukunya.
Sebut saja Bani Umayyah, namun ia adalah orang yang berjasa terhadap Islam, karena pengorbanan hartanya dan penyebaran-penyebaran Islam pada masa kekhilafatannya.
Karena itu Abu Muzail Al- Allaq menyatakan tidak tahu, apakah Usman terbunuh karena berbuat kesalahan (kedzaliman), ataukah sebagai orang yang teraniaya.
Demikian pula halnya orang yang terlibat dalam pertempuran Al jamal, yaitu Ali satu pihak dan talhah, Zubair dan Aisyah dilain pihak.
Menurut golongan Muktazilah boleh jadi salah satu pihak benar, dan pihak lainnya salah, akan tetapi kita tidak dapat menentukannya.
Tuhanlah yang mengetahui keadaan mereka sebelm terjadinya pertempuran tersebut, yaitu bahwa semua mereka itu adalah orang yang baik dan adil.
Tentang pertempuran antara Ali di satu pihak dan Muawiyah di lain pihak, golongan Muktazilah pembela Ali dan menyalahkan Muawiyah bersama-sama pengikutnya.
Karena itu kekhilafatannya dan kekhilafatan keturunannya tidak sah. Dala keadaan itu sahabat-sahabat yang menghalangi peristiwa tersebut dan orang-orang yang mengalami khalifat-khalifat Amawi dapat dimaafkan, karena mereka tidak berdaya menghadapinya.
Filsafat Fisika
Pembicaraan di sini terbagi tiga, yaitu:
Materi alam
Filsafat Muktazilah dalam soal fisika didasarkan atas dua prinsip utama, yaitu kesesaan dan keadilan Tuhan. Mereka mempercayai bahwa alam ini dijadikan Tuhan dan bahwa Tuhan selalu ada dan lebih dahulu adanya daripada makhluk-makhluk yang dijadikannya.
Bagian-bagian alam
Menurut Arisoteles benda terdiri dari dua bagian yaitu hule (matter) dan form (bentuk). Menurut orang-orang Muktazilah, benda terdiri dari bagian-bagian kecil yang tidak dapat dibagi-bagi (Zauhardfard) atau atom.
Gerak
Menciptakan atau menjadikan adalah perbuatan Tuhan, yang berarti memindahkan sesuatu dari “tiada” menjadi “ada” (muncul).
Meskipun golongan Muktazilah mengakui bahwa seseuatu sebelum mencapat wujudnya mempunyai sifat-sifat yang ada pada waktu sesudah mencapai wujudnya, namun mereka tidak mengakui adanya gerak. Pada sesuatu yang masih tiada.
Tokoh Aliran Muktazilah dan Pemikirannya
Washil bin Atha’
Washil bin Atha’ dilahirkan di Madinah tahun 70 H, ia adalah seorang murid yang pandai, cerdas, dan tekun belajar dari seorang ulama masyhur didaerah Basrah yaitu Hasan Al-Basri.
Washi bin Atha’ berani mengeluarkan pendapatnya yang berbeda dengan gurunya, sehingga ia bersama pengikutnya dinamakan golongan Muktazilah.
Adapun pemikirannya di antaranya bahwa seorang muslimyang berbuat dosa besar dihukumi tidak mukmin dan tidak pula kafir, tapi fasik dan keberadaan orang tersebut di antara mukmi dan kafir.
Washil bin Atha’ untuk menguatkan pendapatnya bahwa iman itu adalah ungkapan bagi sifat-sifat orang yang baik, yang apabila sifat-sifat tersebut terkumpul pada diri seseorang maka ia disebut mukmin.
Dengan demikian, kata mukmin tersebut merupakan nama pujian. Orang yang melakukan dosa besar berarti memiliki sifat-sifat yang tidak baik, maka ia tidak berhak untuk mendapatkan nama pujian.
Abu Huzail Al-Allaf
Abu Huzail dilahirkan tahun 135 H/751 M. Ia berguru kepada Usman At-Tawil (Murid Washil bin Atha’) dan hidup dizaman di mana ilmu pengetahuan seperti filsafat dan ilmu-ilmu lain dari Yunani telah berkembang pesat di dunia Arab.
Ia wafat pada tahun 235 H/849 M, Abu Huzail merupakan generasi kedua Muktazilah yang kemudian mengintroduksi dan menyusun dasar-dasar paham Muktazilah dan disebut Ushulul Khamsah.
Beliau menjelaskan bahwa Allah mengetahui dengan ilmu, dan ilmu-Nya itu adalah Dzat-Nya, yang berkuasa dengan kodrat dan kodrat-Nya itu adalah Dzat-Nya, dan yang berkehendak dengan iradat dan iradat-Nya adalah Dzat-Nya.
Karena itu, jika dikatakan bahwa Allah mempunyai sifat, sifat itu adalah Dzat-Nya sendiri, baik itu ‘ayn zat maupun keadaan Dzat.
Al-Jubai
Ia mempunyai nama Abu Ali Muhamad bin Abdul Wahab yang lahir tahun 25 H / 849 M di Jubai. Al- jubai mempunyai guru yang bernama Asy-Syahham, salah seorang murid Abu Huzail.
Ia mempunyai pola piker yang tidak jauh berbeda dengan tokoh-tokoh Muktazilah lainnya, yakni mereka mengutamakan akal dalam memahami dan memecahkan persoalan teologi.
Az-Zamakhasyari
Lahir pada tahun 467 H dan belajar dibeberapa negara. Ia pernah bemukim di tanah suci Mekah dalam rangka belajar agama.
Selain itu juga, banyak menggunakan waktunya untuk menyusun kitab Tafsir Al-Kasysyaf yang berorientasi paham Muktazilah.
Kitab tafsir beliau tidak hanya digunakan oleh kalangan Muktazilah saja. Beliau juga banyak menyusun buku tentang balaghah dan lainnya dan ia wafat tahun 538 H.
Kemunduran Aliran Muktazilah
Setelah beberapa tahun lamanya golongan Muktazilah mengalami kepesatan dan kemegahan, akhirnya golongan ini mengalami kemunduran.
Kemunduran ini terjadi karena perbuatan mereka sendiri, mereka hendak membela dan memperjuangkan kebebasan berpikir.
Akan tetapi mereka sendiri memusuhi orang-orang yang tidak mengikuti pendapat-pendapat mereka.
Adapun puncak tindakan mereka ialah ketika Al-Makmun menjadi khalifah, di mana mereka dapat memaksakan pendapat dan keyakinan mereka kepada golongan-golongan lain dengan menggunakan kekuasaan Al-Makmun.
Akibatnya, timbul “Peristiwa Qur’an” yang memecah kaum Muslimin menjadi dua blok, yaitu blok yang menuju kekuatan akal pikiran dan menundukkan agama kepada ketentuannya dan blok lain yang berpegang teguh kepada nash-nash Al-Qur’an dan Hadis semata-mata, serta menganggap tiap-tiap yang baru dianggap sebagai bid’ah dan kafir.
Akan tetapi persengketaan tersebut dapat dibatasi, dengan tindakan al-mutawakil lawan dari golongan muktazilah untuk mengembalikan kekuasaan golongan yang mempercayai keazalian al-Qur’an.
Sejak saat itu golongan muktazilah mengalami tekanan berat, sedangkan sebelumnya menjadi pihak yang menekan.
Kitab-kitab mereka dibakar dan kekuatannya diceraiberaikan sehingga kemudian tidak lagi ada aliran muktazilah sebagai suatu golongan terutama sesudah al-asy’ari dapat mengalahkan mereka dalam bidang pemikiran.
Akan tetapi mundurnya golongan muktazilah sebagai golongan yang teratur, tidak menghalang-halangi lahirnya simpatisan dan pengikut –pengikut yang setia menyiarkan ajaran-ajarannya.
Pada akhir abad III hijriah muncul al-Khayyat yang dianggap sumber yang asli untuk mengetahui pikiran-pikiran muktazillah.
Pada permulaan abad ke-4 muncullah Abu Bakar Al-Ikhsyidi (wafat 320 H/ 930 M) dengan aliran yang sangat berpengaruh selama abad ke-4.
Ulama muktazilah angkatan baru yang terkenal ialah Az-Zamakhsyari (467-538 H/1075-1144 M) yang menafsirkan al-Qur’an atas dasar ajaran-ajaran muktazilah dengan nama al-Kasysyaf.
Tafsir ini sangat berpengaruh, dan lama sekali menjadi pegangan oleh ahli sunah, sampai lahirnya Tafsir Baidawi. Kegiatn kaum muktazilah baru hilang sama sekali setelah adanya serangan-serangan orang Mongolia.
Meskipun demikian, pikiran-pikiran dan ajaran-ajarannya yang penting masih hidup sampai sekarang pada golongan Syi’ah Zaidiyah.
Pemikiran Islam pada golongan muktazilah bercorak rasionalis murni, maka pada masa sesudahnya berubah coraknya sedemikian rupa.
Alhasil, bisa diterima sebagai alat untuk memperkuat ajaran-ajaran agama dan tali penghubung taklif buta yang memegangi teguh teks-teks atau nash dengan penakwilan nash sebagai jalan untuk menundukkan agama kepada akal pikiran semata.
Tali penghubung tersebut diadakan oleh seorang yang mula-mula terdidik atas paham kemuktazilahan dan memeluk ajaran-ajarannya, akan tetapi ia meninggalkan ajaran-ajaran tersebut dan dijelaskannya ajaran yang berdiri sendiri terkenal kemudian dengan nama aliran Ahli Sunnah Wal jama’ah ahli piker tersebut ialah Abul Hasan Al-asy’ari.
Syahdan, bagaimana sesungguhnya kesalahan aliran Muktazilah?
- Metode dalam aliran Muktazilah menyimpang dari metode yang diterapkan oleh para ulama salaf.
Ulama salaf menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber utama dan semua orang yang hendak memahami sifat-sifat Allah merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Sedangkan aliran Muktazilah menjadikan akal sebagai sumber utama memahami ajaran.
- Aliran Muktazilah menjadikan akal sebagai tolok ukur segala-galanya dan landasan pembahasan bagi mereka.
- Akibatnya, hal ini akan mempengaruhi pemikiran mereka tentang hakikat suatu masalah. Hal ini tidak disenangi atau bertentangan dengan para fuqaha dan muhaddisin.
- Aliran ini menafikan/meniadakan sifat-sifat Allah sebab bila Allah bersifat dan sifatnya itu bermacam-macam, pasti Allah itu berbilang.
Padahal sifat yang banyak tidak berarti Allah berbilang-bilang. Allah tetap Esa dengan segala sifat-sifatnya.
- Mengenai ajaran tentang tempat di antara dua tempat, tempat bagi orang Fasik, yaitu orang-orang Muktazilah yang melakukan dosa besar tetapi tidak Musyrik, nanti akan ditempatkan di suatu tempat yang berada di antara surga dan neraka.
- Ajaran ini sangat membingungkan, karena Muktazilah sendiri tidak menggambarkan bagaimana keadaan tempat tersebut.
Bisa tempat yang setengah surga dan setengah neraka, atau mungkin bisa juga tempat yang setengah panas dan setengah indah. Kalau dipikir secara logika sangat tidak rasional.
Semoga Bermanfaat.
Taman Baca:
Hanafi, A. (2001). Pengantar Theology Islam. Jakarta: Al-Huzna Zikra
Hanafi, Ahmad. (2010). Teologi Islam, Jakarta: Bulan Bintang
Izutsu, Toshihiko. (1994). Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana
Nasution, Harun. (1986). Teologi Islam. Jakarta: Ui Press
Rida’, Rasyid. (2006). Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al-Manar. Jakarta: Erlangga
Rida, Safni.(2010). Ilmu Kalam. Curup: LP2 STAIN Curup
Thoha, As’ad. (2006). Pendidikan Aswaja & Ke-Nu-an. Surabaya: Myskat
Rozak, Abdul dan Rosihon Anwar. (2001). Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia
Zahra, Imam Muhammad Abu.(1996). Aliran Politik dan Akidah Dalam Islam. Jakarta: Logos
Posting Komentar untuk "Mengulik Sejarah dan Ajaran Pokok Aliran Muktazilah"
Posting Komentar
Berkomentarlah sesuai dengan postingan artikel. Mohon maaf, link aktif di kolom komentar tidak akan disetujui.
Diperbolehkan mengutip tulisan di blog Guru Penyemangat tidak lebih dari 30% dari keseluruhan isi (1) artikel dengan syarat menyertakan sumber. Mari bersama-sama kita belajar menghargai karya orang lain :-)