Widget HTML #1

Begini Kurikulum Pendidikan Islam pada Masa Daulah Umayyah

Begini Kurikulum Pendidikan Islam pada Masa Daulah Umayyah
Begini Kurikulum Pendidikan Islam pada Masa Daulah Umayyah. Dok. Gurupenyemangat.com

Runtuhnya kerajaan Romawi pada abad ke-5 M merupakan awal dari “zaman pertengahan yang gelap”, yaitu ketika Eropa mengalami kemunduran peradaban. 

Sementara di timur (negeri-negeri Islam) peradaban mengalami kemajuan yang sangat pesat. Sehingga Islam selama kurang lebih 5 abad menjadi mercusuar dunia dalam segala aspek.

Di antara penyebab kemajuan tersebut adalah adanya asimilasi budaya antar bangsa. Fanatisme ke-arab-an yang melekat pada zaman sebelum 

Daulah Umayyah mulai ditinggalkan dan diganti dengan prinsip egaliterisme dalam segala aspek dengan diperkuat dasar-dasar agama sebagai sendi Negara.

Pada masa dinasti Umayyah pola pendidikan bersifat desentralisasi. Kajian ilmu yang ada pada periode ini berpusat di Damaskus, Kufah, Mekkah, Madinah, Mesir, Cordova dan beberapa kota lainnya, seperti: Basrah dan Kuffah (Irak), Damsyik dan Palestina (Syam), Fistat (Mesir). 

Terkait dengan kurikulum, pakar pendidikan Islam menggunakan kata Al-Maddah untuk pengertian kurikulum. Karena pada masa Daulah Umayyah kurikulum lebih identik dengan serangkaian mata pelajaran yang harus diberikan pada murid dalam tingkat tertentu.

Sejalan dengan perjalanan waktu pengertian kurikulum mulai berkembang dan cakupannya lebih luas, yaitu mencakup segala aspek yang mempengaruhi pribadi siswa. 

Kurikulum dalam pengertian yang modern ini mencakup tujuan, mata pelajaran, proses belajar dan mengajar serta evaluasi. Berikut ini adalah macam-macam kurikulum yang berkembang pada masa Daulah Umayyah:

Kurikulum Pendidikan Islam pada Masa Daulah Umayyah

Kurikulum Pendidikan Rendah

Terdapat kesukaran ketika ingin membatasi mata pelajaran-mata pelajaran yang membentuk kurikulum untuk semua tingkat pendidikan yang bermacam-macam. 

Pertama, karena tidak adanya kurikulum yang terbatas, baik untuk tingkat rendah maupun untuk tingkat penghabisan, kecuali Alquran yang terdapat pada kurikulum. 

Kedua, kesukaran diantara membedakan fase-fase pendidikan dan lamanya belajar karena tidak ada masa tertentu yang mengikat murid-murid untuk belajar pada setiap lembaga pendidikan.

Sebelum berdirinya madrasah, tidak ada tingkatan dalam pendidikan Islam, tetapi tidak hanya satu tingkat yang bermula di kuttab dan berakhir di diskusi halaqah. 

Tidak ada kurikulum khusus yang diikuti oleh seluruh umat Islam. Dilembaga kuttab biasanya diajarkan membaca dan menulis disamping Alquran. Kadang diajarkan bahasa, nahwu, dan arudh.

Umumnya pelajaran diberikan guru kepada murid-murid seorang demi seorang. Baik di Kuttab atau di Masjid pada tingkat menengah. Pada tingkat tinggi pelajaran diberikan oleh guru dalam satu halaqah yang dihadiri oleh pelajar bersama-sama. 

Ilmu-ilmu yang diajarkan pada Kuttab pada mula-mulanya adalah dalam keadaan sederhana, yaitu: belajar membaca dan menulis, membaca Al-Qur’an dan menghafalnya, belajar pokok-pokok agama Islam, seperti cara wudhu, shalat, puasa dan sebagainya. 

Ilmu-ilmu yang diajarkan pada tingkat menengah dan tinggi terdiri dari: Al-Qur’an dan tafsirannya, hadis dan mengumpulkannya, serta  fiqih (tasri’).

Kurikulum Pendidikan Tinggi

Kurikulum pendidikan tinggi (halaqah) bervariasi tergantung pada syaikh yang mau mengajar. Para mahasiswa tidak terikat untuk mempelajari mata pelajaran tertentu, demikian juga guru tidak mewajibkan kepada mahasiswa untuk mengikuti kurikulum tertentu. 

Mahasiswa bebas untuk mengikuti pelajaran di sebuah halaqah dan berpindah dari sebuah halaqah ke halaqah yang lain, bahkan dari satu kota ke kota lain. 

Menurut Rahman, pendidikan jenis ini disebut pendidikan orang dewasa karena diberikan kepada orang banyak yang tujuan utamanya adalah untuk mengajarkan mereka mengenai Alquran dan agama. 

Kurikulum pendidikan tingkat ini dibagi kepada dua jurusan, jurusan ilmu-ilmu agama (al-ulum al-naqliyah) dan jurusan ilmu pengetahuan (al-ulum al-aqliyah).

Kedua macam kurikulum ini sejalan dengan dua masa transisi penting dalam perkembangan pemikiran Islam. Kurikulum pertama adalah sejalan dengan fase di mana dunia Islam mempersiapkan diri untuk mendalami agama, menyiarkan dan mempertahankannya. 

Namun perhatian pada agama ini tidaklah terbatas pada ilmu agama saja, tetapi dilengkapi juga dengan ilmu-ilmu bahasa, ilmu sejarah, hadits dan tafsir. 

Menurut Mahmud Yunus, kurikulum jurusan ini adalah tafsir Alquran, hadits, fiqih dan ushul fiqih, nahwu saraf, balaghah, bahasa dan sastranya.

Kurikulum kedua, yaitu kurikulum ilmu pengetahuan. Ia merupakan cirri khas fase kedua perkembangan pemikiran umat Islam, yaitu ketika umat Islam mulai bersentuhan dengan pemikiran Yunani, Persia dan India. 

Menurut Mahmud Yunus, kurikulum untuk pendidikan jenis ini mantiq, ilmu alam dan kimia, music, ilmu-ilmu pasti, ilmu-ilmu ukur, ilmu-ilmu falak, ketuhanan, ilmu hewan, ilmu tumbuh-tumbuhan dan kedokteran.

Pendidik (guru) 

Dalam pendidikan Islam, guru mempunyai tugas dan tanggung jawab yang berat sekaligus mulia. 

Keberhasilan seorang guru dalam mengemban tugasnya, baik sebai murabbi maupun sebagai agen perubahan dalam masyarakat sangat dipengaruhi oleh kualifikasi dan kompetensi yang mereka miliki.

Kompetensi Mengajar 

Menurut Mas’ud Khasan Abdul Qohar kompetensi adalah kekuasaan, wewenang atau hak yang didasarkan pada peraturan tertentu. 

Sedangkan kompetensi mengajar menurut Uzer Utsman (1992) adalah wewenang guru untuk melaksanakan tugas mengajar berdasarkan persyaratan-persyaratan tertentu, diantaranya adalah syarat yang berkaitan dengan fisik dan nonfisik.

Menurut Al-Qosqosamdi (dalam Nur Uhbiyati, 1997; 83) bahwa syarat untuk bisa menjadi seorang guru pada masa kekhalifahan Daulah Umayyah secara umum dapat digolongkan ke dalam 2 syarat:  

Syarat Fisik: bentuk badannya bagus, manis muka (selalu berseri-seri), lebar dahinya dan bermuka bersih. 

Sedangkan syarat psikis terdiri dari: berakal sehat, hatinya beradab, tajam pemahamannya, adil terhadap siswa, bersifat perwira, sabar dan tidak mudah marah, bila berbicara menggambarkan keluasan ilmunya, perkataannya jelas dan mudah dipahami, dapat memilih perkataan yang baik dan mulia, serta menjauhi perbuatan yang tidak terpuji.

Pranata Sosial Guru

Menurut Al-Jahiz (dalam Ziauddin Alavi, 1988: 69) guru dapat dklasifikasikan kedalam 3 golongan. 

Pertama, Guru-guru yang mengajar sekolah kanak-kanak (mu’allim al-kuttab), para mu’allim kuttab (guru sekolah anak-anak) mempunyai status sosial yang rendah. 

Hal ini disebabkan oleh kualitas keilmuan mereka yang dangkal dan kurang berbobot. Namun tidak semua demikian, ada sebagian diantara mereka yang ahli di bidang sastra, ahli khat dan fuqaha. 

Mereka inilah golongan guru muallim al-kuttab yang dihormati dan dihargai seperti: Al-Hajaja, Al-Kumait, Abdil hamid Al-Katib, Atha bin Rabah dan lain-lain.

Kedua, Para guru yang mengajar para putra mahkota (Muaddib), berbeda dengan muallim al-kuttab, para muaddib mempunyai status sosial yang tinggi, bahkan tidak sedikit para ulama yang mendapat kesempatan untuk menjadi muaddib. 

Hal ini disebabkan karena untuk menjadi muaddib diperlukan beberapa syarat, di antaranya adalah alim, berakhlak mulia, dan dikenal masyarakat.

Ketiga, Para guru yang memberikan pelajaran di masjid-masjid dan sekolah-sekolah, guru-guru dari golongan ini telah beruntung mendapat kehormatan dan penghargaan yang tinggi di hadapan masyarakat.

Hal ini disebabkan penguasa mereka terhadap ilmu pengetahuan yang begit mendalam (rasikh) dan berbobot. Di antara mereka adalah guru ilmu syariat, ilmu bahasa, ilmu pasti dan sebagainya. 

Terdapat beberapa guru dari golongan ini yang terkenal di kalangan masyarakat, diantaranya adalah Abul Aswad Ad-Duali, Hasan Al-Basri, Abu Wadaah, Syuraik Al-Qadhi, Muhamad ibn Al-Hasan, Ahmad ibnu Abi Dawud, dan lain sebagainya.

Guru-guru pada masa ini selalu dikelilingi oleh para siswa yang datang dari berbagai pelosok wilayah dunia yang bertujuan mendengarkan langsung kajian yang dibawakan gurunya. 

Sudah menjadi tradisi Islam pada masa klasik (Umayyah-Abbasiyah) bahwa guru tidak pernah kapan murid harus selesai belajar kepadanya, kecuali ia telah menyelesaikan kitab yang dikajinya (khatam). 

Murid diberi kebebasan untuk belajar kepada siapa saja dan kapan saja, bahkan guru tidak pernah menawarkan pelajaran secara khusus yang harus diselesaikan oleh murid pada waktu tertentu.

Guru pada masa Daulah Umayyah memegang peranan yang penting dalam proses pendidikan anak, mulai dari menentukan perencanaan sampai melaksanakannya. 

Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila pada masa ini disebut dengan teacher oriented. Selain itu, guru pada masa ini secara teratur sudah melaksanakan tugas dan memberikan secara sungguh-sungguh dan memperlakukan murid secara adil tanpa ada diskriminasi.

Peserta Didik (Murid) 

Anak didik merupakan salah satu dari komponen pendidikan yang berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pendidikan. 

Tanpa anak didik, pengajaran tidak akan terjadi. Istilah yang sering digunakan untuk menunjukkan term student (siswa); yaitu tilmidh, (jamak talamidh, talamidha) yang berarti murid, dan talib (seeker of knowledge), (jamak talaba, tullab) yang berarti orang yang menuntut ilmu-ilmu (agama), pelajar atau mahasiswa. 

Pengertian dan Batasan Murid

Murid adalah anak yang sedang berguru, yang memperoleh pendidikn dasar dari satu lembaga pendidikan.

Di awal perkembangan Islam, para penuntut ilmu tidak ada perbedaan. Ketika Rasulullah masih hidup, semua sahabat diberi kesempatan yang sama untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman tentang ajaran Islam dari Rasulullah SAW. 

Dalam perkembangan selanjutnya, kaum Muslim memerlukan tempat khusus untuk kegiatan belajar anak-anak mereka. Mereka menjadikan kuttab sebagai tempat pendidikan dasar.

Di kuttab para murid mendapatkan pengajaran berupa keterampilan dasar, seperti membaca dan menulis Alquran dan dasar-dasar agama. 

Menurut Hudgson, pendidikan tingkat dasar adalah tempat bagi murid untuk belajar membaca dan menulis. 

Sementara menurut Stanton, pada abad pertama hijriyah, pelajaran di sekolah tingkat rendah difokuskan pada menulis dan membaca. Kemudian pada abad berikutnya, pelajaran berkembang dengan diajarkan ilmu keagamaan, aritmatika, tata bahasa, syair dan sejarah.

Pada masa Daulah Umayyah, tidak ada ketentuan pasti tentang batasan umur bagi seseorang yang mau belajar di kuttab. 

Para murid yang masuk kedalam pendidikan dasar ini bervariasi. Ada murid yang memasuki kuttab berumur lima tahun, ada yang berumur tujuh tahun, bahkan ada yang berumur sepuluh tahun. 

Bervariasinya umur murid yang memasuki kuttab, tampaknya terkait dengan kesiapan mereka. Kesiapan itu bukan saja dari segi fisik dan mental, tetapi juga dari segi ekonomi.

Biaya dan Lama Belajar

Biaya selama di kuttab pada dasarnya dibebankan kepada keluarga murid. Orang tua murid membayar dengan sejumlah uang yang dibayar pada setiap minggu dan setiap bulan. 

Terkadang pembayaran itu dilakukan dengan sejumlah bahan makanan sebagai pengganti uang. Bagi murid yang berasal dari keluarga miskin, diberi kesempatan belajar secara cuma-cuma. 

Selain itu ada juga orang tua murid yang menitipkan anaknya kepada seorang guru, dan untuk biaya selama anaknya belajar, dia memberikan kepada guru tersebut sejumlah harta/biaya.

Lama belajar di kuttab tergantung pada kemampuan anak didik. Murid yang cerdas dan rajin dapat menyelesaikan belajarnya dalam waktu relative singkat. 

Sebaliknya, anak yang kurang cerdas dan malas memakan waktu agak lama untuk menyelesaikan pelajaran. Meskipn demikian umumnya masa belajar di kuttab kurang lebih lima tahun. Ukuran yang dijadikan dasar untuk kelulusan adalah murid menghafal Alquran.

Keadaan Murid

Menurut Mahmud Yunus, para murid di kuttab belajar enam hari dalam seminggu. Belajar dimulai pada hari sabtu dan berakhir pada hari kamis, waktu belajar dimulai pagi hari dan berakhir setelah selesai shalat Ashar. 

Biasanya setelah selesai shalat zuhur para murid pulang ke rumah untuk makan.

Dari uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa para murid pada siang hari lebih banyak bergaul dengan guru dan para murid lainnya di kuttab. 

Adapun murid yang berada dalam pemeliharaan seorang guru, pergaulannya dengan seorang guru lebih lama dan murid-murid lain harus pulang ke rumah setelah pelajaran selesai. 

Karena itu dapat diasumsikan bahwa guru yang mengajar di kuttab adalah orang yang terdekat selain orang tua.

Pendanaan Pendidikan Islam Pada Masa Daulah Umayyah

Kelangsungan kegiatan suatu lembaga pendidikan terkait dengan bermacam faktor. Dana adalah salah satunya dan dianggap persoalan penting bagi keberlangsungan suatu lembaga pendidikan agar berbagai aktivitas dapat dialkukan dengan semangat yang tinggi dan lebih beragam, sehingga diharapkan dapat menghasilkan output yang berbobot.

Sumber biaya pendidikan pada masa Daulah Umayyah

Subsidi Pemerintah/Negara

Para penguasa dan pemimpin Muslim memiliki perhatian yang besar terhadap ilmu pengetahuan sejak masa khulafaur Rasyidin. Mereka mendirikan dan menghidupi berbagai sarana penunjang ilmu pengetahuan dan pendidikan, termasuk lembaga-lembaganya. 

As-Suffah yang menjadi model pendidikan Islam ketika nabi berada di Madinah tersebar keluar Madinah tersebar luas keluar Madinah sejalan dengan persebaran masjid.

Di daerah-daerah baru pada masa Daulah Umayyah dimana bahasa Arab bukan bahasa pertama dan Alquran belm dikenal, pembangunan lembaga pendidikan Islam, seperti kuttab dan masjid menjadi tujuan utama para khalifah dan gubernur, sehingga biaya pembangunan ditanggung pemerintah. 

Banyak sekali dana yang dialokasikan untuk mendirikan dan memelihara sekolah-sekolah ini dengan cara memberikan beasiswa yang besar kepada murid yang berhak menerimanya.

Wakaf

Wakaf merupakan bagian dari ibadah dan hukum Islam yang berkaitan dengan barang benda. Sebagai bagian dari sistem pendanaan pendidikan, wakaf menjadi semacam lembaga yang terorganisir dengan baik dan menjadi mode pada masa keemasan peradaban Islam (pada masa Daulah Abbasiyah).

Pemberian wakaf tampaknya memiliki kekuasaan yang luas dan otoritas yang kuat dalam menentukan segala sesuatu berdasarkan dokumen wakaf yang di buat secara formal. 

Dokumen ini menggambarkan materi kekayaan yang menjadi wakaf dan mencantumkan cara penggunaan uang yang dihasilkan dari investasi penyewaan atau penjualan aset tersebut. 

Di dalamnya pemberi wakaf dapat menetapkan criteria syaikh dan pengajar yang harus dipenuhi, kurikulum yang digunakan bahkan madhab yang dianut. 

Di samping itu pemberi wakap menentukan satu atau beberapa orang yang bertanggung jawab untuk mengelola wakaf tersebut. 

Walau demikian, dokumen wakaf dibuat sangat hati-hati karena tidak boleh diubah setelah ditanda tangani. Pemberi wakaf pun tidak boleh mengambil sedikit juga aset atau penghasilan wakaf tersebut. 

Karena wakaf ini kebanyakan merupakan aset ekonomi yang berjalan, seperti tanah pertanian, rumah, toko, kebun, kantor dagang, pabrik, pasar, dan sebagainya, dana yang dihasilkan akan bervariasi sesuai dengan kondisi pada waktu itu. 

Oleh karenanya, tingkat kehidupan para pelajar dan pengajar yang di biayai oleh hasil wakaf berubah-ubah dari waktu ke waktu. Walau begitu peran wakaf sangat membantu pelaksanaan pendidikan. 

Dengan wakaf, umat Islam mendapatkan kemudahan dalam menuntut ilmu. Para pelajar dan orang tua tidak terbebani dengan berbagai macam biaya yang diambil untuk kegiatan pendidikan.

Contoh lembaga-lembaga pendidikan yang dihidupi oleh sistem wakaf ini sangat banyak sekali ketika masa Islam klasik. Badr ibn Hasanawaih Al-Kurdi, seorang bangsawan kaya yang menjadi gubernur, mendirikan 3000 masjid dengan akademi didalamnya. 

Masing-masing masjid memiliki asrama (Masjid khan), pembiayaannya berasal dari wakaf. Wakaf Abdul Latief Al-Mansyur berupa pondok dan toko untuk lima orang anak yatim serta pengajarnya, mereka belajar membaca dan menghafal Alquran.

Orang Tua

Biaya pendidikan yang bersumber dari orang tua ini bervariasi dan sangat fleksibel tergantung pada kondisi orang tua murid. 

Biaya ini juga mereflesikan kemajuan siswa. Sebab, disamping biaya pendaftaran, biaya tambahan akan diambil ketika siswa telah menyelesaikan suatu paket tertentu dari pelajaran, ditambah sumbangan-sumbangan nonfinansial, seperti bahan pangan dan sandang sesuai dengan keadaan keluarga siswa tersebut.

Biaya pendidikan agama tidak pernah diadakan, kecuali sedikit jika materi pelajaran ditambah dengan pendidikan nonkeagamaan, seperti tata bahasa dan menulis. Hal ini didasarkan pada anggapan penyebaran misi ilahi dilakukan dengan ikhlas. 

Biaya pendidikan nonagama berbeda-beda, berkisar antara 500 sampai 1000 dirham pertahun. Kadang-kadang pembayaran dilakukan dengan sejumlah bahan makanan sebagai pengganti uang yang dibayar setiap minggu atau setiap bulan.

Orang tua yang berasal dari kalangan elit bangsawan atau hartawan, tentu akan mengeluarkan harta yang lebih banyak, ditambah dengan berbagai fasilitas lain, seperti tambahan buku-buku dan perlengkapan lainnya.

Siswa

Seorang ilmuan yang mengajar di masjid atau lembaga pendidikan lain diperbolehkan memungut uang dari siswanya. Biasanya jumlahnya disepakati antara guru dan siswa tersebut serta dibayar pada masa awal belajar. 

Ibrahim Al-Zadjdjadi misalnya, memperoleh uang dari pekerjaannya sebanyak 1,5 dirham tiap hari. 

Kemudian ia pergi kepada Al-Mubarrid dan membayar honornya sejumlah dua pertiga dari penghasilannya tersebut, ditambah syarat lain, yaitu 1 dirham setiap hari sampai maut memisahkan mereka.

Para penuntut ilmu yang berasal dari keluarga tidak mampu atau belajar atas inisiatif sendiri sering bekerja ditengah-tengah masyarakat untuk membiayai pendidikannya. 

Pekerjaan yang mereka lakukan bervariasi tergantung kesempatan dan kebutuhan mereka. Ada juga pelajar tidak tetap yang terdiri dari pekerja. Orang-orang ini sendiri menaggung biaya pendidikan yang diperlukan.

Sumber Lain/Perorangan

Pandangan ilmu agama, terutama Alquran harus diajarkan kepada orang lain sebagai bentuk ibadah mendorong para pengajarnya tidak meminta dan menerima bantuan financial dari siapa pun. 

Mereka berusaha untuk membiayai kegiatan pendidikan dan kehidupannya hanya dari hasil keringat sendiri diluar pekerjaan mengajar. 

Abu Al-Abbas Al-Asham, salah seorang ulama besar dan ahli hadis di Khurasan tidak mau menerima upah ketika mengajarkan hadits. Beliau memenuhi kebutuhan hidupnya dari hasil usaha sendiri.

Literatur Arab menceritakan banyak sekali cerita-cerita yang menggambarkan bahwa para pengajar dan pendidik yang miskin sekalipun duduk memberikan pelajaran kepada masyarakat tanpa mengharapkan bayaran sedikit pun. 

Kamaluddin Abu Al-Barakat Al-Anbary, seorang ahli fiqih dan nahwu, misalnya senantiasa membukakan pintu rumahnya bagi para penuntut ilmu, semata-mata karena Allah. 

Bahkan guru-guru yang mengajar kanak-kanak pun tidak menerima bayaran apa-apa seperti Al-Dhahak ibn Muzahim dan Abdullah ibn Harits, bahkan mereka bersedia membiayai sendiri kegiatan pendidikan tersebut.

Di samping para pengajar yang mempunyai keinginan dan kesadaran diatas, banyak para hartawan dan dermawan yang mengeluarkan sejumlah dana untuk membiayai berbagai lembaga pendidikan dan kegiatannya.

Semoga bermanfaat.

Taman Baca:

Al- Jumbuluti, Ali. (1994). Perbandingan Pendidik Islam. Jakarta: Rineka Cipta.
Langgulung, Hasan. (tt). Asas-asas Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Al-Hasan.
Rahman, Fazlur. (1994). Islam. Bandung: Pustaka.

Guru Penyemangat
Guru Penyemangat Guru Profesional, Guru Penggerak, Blogger, Public Speaker, Motivator & Juragan Emas.

Posting Komentar untuk "Begini Kurikulum Pendidikan Islam pada Masa Daulah Umayyah"