Widget HTML #1

Cerpen Hari Anak Nasional: Bocah Penjual Kerupuk di Persimpangan Jalan

Cerpen Hari Anak Nasional: Bocah Penjual Kerupuk di Persimpangan Jalan

Oleh Sri Rohmatiah Djalil

Cerita Hari Anak Nasional Bocah Penjual Kerupuk
Cerita Hari Anak Nasional Bocah Penjual Kerupuk. Dok. Kitabisa.com

“Kerupuk, Bu, hanya sepuluh ribu rupiah satu bungkus,” tawar seorang anak laki-laki dari balik kaca mobil di sebuah persimpangan jalan.

Si ibu yang berada di dalam kendaraan membuka kaca mobil separuh dan menyodorkan satu lembar uang lima puluh ribu rupiah.

“Satu saja, Nak,” ujarnya.

“Tidak ada kembaliannya, uang kecil saja, Bu,” lanjut si bocah sembari memberikan satu kantong krupuk bawang dan mengembalikan uang satu lembar itu.

Belum juga si ibu mengambil uang kecil, klakson kendaraan dari arah belakang berbunyi keras. Tanda menyuruh kendaraan di depannya untuk jalan. 

“Dasar orang gak sabaran,” gerutu si ibu cemberut.

“Ambil saja kembaliannya, Nak,” teriak si ibu, karena seorang laki-laki separuh baya yang ada di sebelahnya menancap gas.

Sang putri yang memakai seragam putih biru duduk di belakang si ibu tertawa lebar. 

“Udah lah Bu, ikhlaskan saja uangnya, lima puluh ribu doang.” 

“Bukan masalah uang, tapi suara klakson mobil di belakang, tidak tahu sopan santun. Selama ibu di Singapura tidak ada suara klakson yang super bising,” gerutu si ibu lagi.

“Ibu, bukan Singapura, tetapi Singaparna, itu kan desa tempat ibu dilahirkan, mana ada klakson waktu ibu kecil,” sela si bapak yang sejak tadi khusyuk memegang kendali kendaraannya.

“Jangan salah Pah, klakson itu telah ada sejak tahun 1908, ditemukan oleh Miller Reese Hutchison. Jadi sejak ibu lahir klakson sudah ada,” jelas si ibu muda kepada laki-laki tadi. 

“Sudahlah, klakson saja diributkan, salah ibu sendiri beli kerupuk di jalan, coba kalau di pasar, dengan uang lima puluh ribu rupiah, mungkin dapat kerupuk satu karung, iya kan Najla?” Si bapak malah bertanya pada putrinya yang senyum-senyum menyaksikan kedua orang tuanya.

“Papah gak bakalan menang kalau bicara sama ibu, setuju saja, Pah,” ujar anak yang dipanggil Najla.

Tidak ada yang salah dari keduanya. Ibunya hanya ingin membantu penjual kerupuk bawang. Kalau tiba-tiba tidak ada uang kembalian, wajar juga, bocah penjual itu tidak akan membawa uang kecil untuk kembalian. 

 “Bu, ngomong-ngomong kasihan ya penjual kerupuk bawang itu, pagi-pagi sudah jualan di persimpangan. Apa orang tuanya tidak menyekolahkan dia? Sepertinya usia dia tidak jauh berbeda dengan aku.” Najla membuka obrolan yang beberapa menit sebelumnya hening.

“Mungkin keadaan orang tuanya yang tidak mampu,” jawab sang ibu singkat.

“Kan sekarang sekolah gratis, Bu. Untuk anak yang orang tuanya tidak mampu ada KIP,” ujar Najla.

“Itulah situasi pendidikan sekarang, walaupun pemerintah telah mewajibkan anak sekolah hingga 12 tahun, jika orang tua tidak sadar akan pendidikan, masih ada anak yang disuruh bekerja,” jelas sang ibu.

“Belum tentu juga orang tuanya enggan menyekolahkan, bisa jadi anaknya yang malas, dia lebih memilih bekerja. Kalau anak sudah memilih berhenti sekolah, orang tua bisa berbuat apa?” ujar sang bapak,  seperti membela dirinya sendiri sebagai orang tua.

“Tidak seperti itu, Pah. Anak pada hakikatnya seorang pembelajar. Sesuatu yang ada di dunia bagi anak itu baru dan ingin terus dipelajari. Orang tuanya saja yang merasa anak milik sendiri yang bebas dibengkokkan ke kanan ke kiri, disuruh kerja. Tak adil itu, Pah,” ungkap sang ibu membela posisi seorang anak di dunia.

“Ah ibu, bicara apa, aku gak ngerti,” ucap Najla keheranan dengan perkataan ibunya.

“Tahu tuh, ibumu kebanyakan ngezoom, serius amat,” jawab sang bapak sembari menepi karena sekolah Najla sudah di depan mata.

“Ayo turun, sudah sampai, jangan lupa siang tunggu di sini lagi,” perintah sang bapak.

Mereka pun berpisah dengan anaknya di depan sekolah.Pasangan suami istri itu melanjutkan perjalanan menuju tempat kerjanya.

Boleh Baca: Cerpen Sarung Ayah

*** 

Sementara bocah penjual kerupuk bawang, setiap paginya menjajakan hasil olahan ibunya di persimpangan jalan. Menjelang tengah hari dia akan kembali ke rumahnya dan menyetorkan uang hasil jualan kepada ibunya. 

Setelah melahap sepiring nasi dan sayur, bocah 14 tahun itu akan kembali ke persimpangan jalan dengan membawa sisa kerupuk bawang yang tadi pagi belum habis terjual.

Bukan enggan bersekolah, dia sempat duduk di kelas 8, tetapi berhenti setelah bapaknya meninggal karena sakit. Tulang punggung keluarga? ya, bukan sengaja ibunya menaruh beban di punggung bocah yang masih haus akan ilmu. 

Lihatlah celana biru seragam sekolah menengah sering ia pakai dan di sakunya terselip buku lusuh dan pulpen. Itu tandanya bocah penjual kerupuk bawang memiliki jiwa pembelajar.

Memang benar anak pada hakekatnya adalah pembelajar. Tidak ada anak yang ingin berhenti sekolah atau memendam rasa ingin tahu akan dunia.

Jika ada anak yang terpaksa mandeg menuntut ilmu, orang tua lah yang harus bertanggung jawab. Dia tidak memberi kesempatan pada anak untuk memuaskan dan mengembangkan pikirannya.

Di Hari Anak Nasional, mari sama-sama membantu anak untuk belajar. 

Untuk anak si penjual kerupuk di persimpangan jalan. *

Lanjut Baca: Cerpen Jujur Itu Sangat Mulia

Guru Penyemangat
Guru Penyemangat Guru Profesional, Guru Penggerak, Blogger, Public Speaker, Motivator & Juragan Emas.

5 komentar untuk "Cerpen Hari Anak Nasional: Bocah Penjual Kerupuk di Persimpangan Jalan"

Berkomentarlah sesuai dengan postingan artikel. Mohon maaf, link aktif di kolom komentar tidak akan disetujui.

Diperbolehkan mengutip tulisan di blog Guru Penyemangat tidak lebih dari 30% dari keseluruhan isi (1) artikel dengan syarat menyertakan sumber. Mari bersama-sama kita belajar menghargai karya orang lain :-)