Widget HTML #1

Ibnu Shayyad, Fenomena Ganjil Tentang Dajjal yang Terjadi Pada Zaman Rasulullah

Bersandar pada berbagai hadis shahih, kedatangan Dajjal adalah salah satu perkara pasti yang akan terjadi di akhir zaman.

Ada begitu banyak tanda-tanda, dan beberapa tandanya sempat disampaikan oleh Dajjal itu sendiri sebagaimana yang tertuang dalam hadis panjang tentang kisah Tamim bin Aus.

Meski begitu, dahulu di zaman Rasulullah sempat ada fenomena aneh kemunculan Ibnu Shayyad. Bahkan, anak muda ini disumpahi Dajjal oleh sahabat Nabi karena kemiripan perawakannya.

Kisah Ibnu Shayyad Sosok Anak Muda yang Dianggap Dajjal Pada Zaman Rasulullah
Kisah Ibnu Shayyad Sosok Anak Muda yang Dianggap Dajjal Pada Zaman Rasulullah. Diolah dari Boombastis.com

Tapi, sebelum mendalami fenomena ganjil kemunculan Ibnu Shayyad yang disumpahi Dajjal oleh beberapa sahabat pada zaman Nabi, terlebih dahulu penulis ingin mengajak para pembaca untuk menggunakan takwilan yang tidak menyimpang dari nash-nash shahih tentang Dajjal.

Terang saja, untuk mengkaji tentang Dajjal serta fitnahnya selain butuh ilmu filsafat seseorang juga mesti sabar dalam mengulik dalil secara leksikal.

Lebih dari itu, berpegang teguh atas nash-nash shahih lebih diutamakan agar tidak muncul takwil-takwil yang prematur.

Saat ini cukup sering kita jumpai beberapa pandangan tentang Dajjal yang disandarkan dari pengertian metafora.

Karenanya, banyak orang makin tertarik menelaah konsep-konsep illuminati dan mencocoklogikannya dengan simbol/lambang tanda kedatangan Dajjal.

Selama takwil itu dapat dicerna oleh kebenaran ilmiah, maka tidaklah mengapa.

Terlebih lagi jika mampu dibuktikan menurut sains dengan sandaran nash yang shahih, maka itu lebih baik karena bisa menguatkan keyakinan dan keimanan kita terhadap datangnya hari akhir.

Misalnya pemahaman tanda kiamat besar “Matahari akan terbit dari arah tenggelamnya” yang tertuang dalam Al-Qur’an dan hadis. Ragam pandangan pun muncul.

Ilustrasi matahari terbit dari tempat tenggelamnya
Gambar oleh OpenClipart-Vectors dari Pixabay

Ada yang memahami maksud “matahari terbit dari arah tenggelamnya” adalah fenomena terang sesuai ungkapannya, bahwa matahari akan benar-benar terbit dari barat. Bahkan, pakar astronomi pun sejalan dengan pemahaman ini.

Matahari bisa benar-benar terbit dari barat karena nanti ada peluang di suatu masa bahwa rotasi bumi akan terganggu, sehingga bumi akan mengubah arah putarannya.

Tapi, ada pula pandangan lain yang menyebutkan bahwa ungkapan matahari terbit dari arah tenggelamnya hanyalah metafora.

Atas dasar ini, ternilailah bahwa matahari itu palsu. Hakikat matahari itu selalu terbit dari timur, sehingga yang berlawanan disebut palsu.

Gara-garanya, muncullah kaitan matahari palsu ke arah Dewa Matahari alias dewa utama di Eropa pada masa paganisme.

Penobatnya adalah Namrud atau Nemrod bin Kan’an, Kaisar Babilonia. Disebut palsu karena ia juga merupakan fitnah besar dengan mengakui diri sebagai Tuhan.

Karena filsafat semakin berkembang dan tadi sempat terucap kata Eropa, maka muncul lagi takwil baru bahwa matahari yang terbit dari barat seiras dengan era globalisasi.

Barat lebih terang, peradaban Barat dengan gerakan Renaisance-nya mampu menguasai dunia.

Analoginya barangkali cukup masuk akal, tapi tidakkah terlalu jauh  keluar dari nash? Andai kita memilih satu pegangan di antara dua pendapat ini, manakah yang kita pilih?

Agaknya, sebagian besar akan memilih pandangan matahari terbit dari barat secara terang dengan dukungan kemungkinan kebenaran ilmiah dari sains. 

Terbitnya matahari dari barat merupakan pengumuman berakhirnya dunia dan sisa kehidupan, sekaligus menjadi awal kehancuran dunia.

Saat itu, berakhir juga kesempatan taubat dan tiadalah berguna setumpuk kebaikan yang akan dilakukan sesudahnya. (QS. Al-An’am:158)

Jujur saja, pendapat inilah yang akan menambah iman kita. Begitu pula guna filsafat dalam Islam, tidak hanya untuk menyelami dalil secara radikal melainkan juga untuk memperkuat iman atas pemahaman dalil-dalil.

Bila takwil-takwil yang dihasilkan dari dalil “Matahari Terbit Dari Barat” beragam, maka untuk fenomena kemunculan Ibnu Shayyad lebih aneh dan ganjil lagi daripada matahari. 

Disebut ganjil karena dari segi rupa Ibnu Shayyad persis seperti Dajjal, tapi malah muncul di zaman Nabi Muhammad SAW. 

Sekilas, keadaan ini menyilisihi nash shahih tentang perkara kedatangan Dajjal.

Bagaimana mungkin ada hadis shahih yang menentangkan hadis shahih lain. Hal inilah kiranya yang cukup menarik dan semoga bisa menjadi pijakan kita agar tak terjerumus fitnah Dajjal.

Ibnu Shayyad, Fenomena Ganjil Tentang Dajjal yang Terjadi Pada Zaman Rasulullah

Ilustrasi Ibnu Shayyad
Ilustrasi Ibnu Shayyad. Gambar: mocah.org

Pada zaman Nabi, ada beberapa sahabat senior yang pernah bertemu langsung dengan Ibnu Shayyad (Ibnu Shaid).

Dalam hadis riwayat Ahmad no. 21377, sahabat Abu Dzar ra pernah diutus oleh Nabi Muhammad untuk mencari petunjuk tentang kelahiran Ibnu Shayyad.

Sebelumnya, Abu Dzar sempat bersumpah sebanyak 9 kali bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal berdasarkan bukti-bukti lampau yang sudah pernah beliau dapatkan semasa bersama dengan Rasulullah.

Berdasarkan petunjuk yang Abu Dzar dapatkan dari ibunya Ibnu Shayyad, didapatlah pengakuan ganjil bahwa sang ibu mengandung “Dajjal” selama 12 bulan, ketika baru lahir tangisan Ibnu Shayyad seperti tangisan bayi 1 bulan, dan hendak mengucapkan tanda kiamat “dukhan”, tapi tidak sempurna.

Menariknya, Rasulullah sendiri begitu mencermati detail tentang fenomena Ibnu Shayyad.

Selain proses kelahiran yang tidak normal, dalam hadis At-Tirmidzi melalui Abu Bakrah ra dijelaskan bahwa mata Ibnu Shayyad buta sebelah, kedua matanya tidur tapi hatinya tidak tidur.

Sifat ini terindikasi sangat seiras dengan Dajjal, terlebih ada ungkapan “kedua matanya tidur tapi hatinya tidak” yang menandakan bahwa sifat Ibnu Shayyad yang lahir di Madinah ini jauh berbeda dibandingkan manusia normal pada umumnya.

Sebagai penguat sekaligus klimaks fenomena aneh kehadiran Ibnu Shayyad, Nabi bersama Ibnu Umar dalam satu rombongan berangkat ke pemukiman Ibnu Shayyad dan bersua langsung dengan Shaf (panggilan Ibnu Shayyad) yang sudah berusia menjelang baligh (dewasa).

Terjadilah percakapan cukup panjang antara Nabi Muhammad dengan Ibnu Shayyad yang tertuang dalam hadis Al-Bukhari no. 1354. Berikut penulis sajikan pokok pembicaraannya:

Rasulullah bersabda kepada Ibnu Shayyad, “Apakah kamu bersaksi bahwa aku adalah Rasulullah?” 

Ibnu Shayyad memandang kepada beliau lalu ia menjawab, “Aku bersaksi bahwa engkau adalah rasul untuk kaum yang buta huruf (kaum yang tidak bisa membaca dan menulis).” 

Ibnu Shayyad balik bertanya kepada Nabi SAW, “Apakah kamu bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah?”

Rasulullah menyanggahnya dan bersabda, “Aku beriman kepada Allah dan kepada Rasul-Nya.” Rasulullah bertanya kepadanya, “Apa yang kamu lihat?”

Ibnu Shayyad menjawab, “Datang kepadaku orang yang berkata jujur dan orang yang berdusta.” Nabi SAW bersabda, “Tercampur urusan itu padamu.” 

Kemudian Nabi bersabda kepadanya, “Sesungguhnya aku menyembunyikan sesuatu untukmu.” Ibnu Shayyad berkata, “Itu adalah asap (ad-dukh).”

Beliau bersabda, “Diamlah kamu! Kamu takkan dapat melampaui takdirmu.” 

Umar berkata, “Biarkan saya memenggal lehernya, wahai Rasulullah.”

Nabi SAW bersabda, “Jika dia itu Dajjal maka kamu takkan mampu mengalahkannya. Sedangkan jika ia bukan Dajjal maka tidak ada kebaikan bagimu dengan membunuhnya.”

Dari uraian percakapan panjang Rasulullah dengan Ibnu Shayyad ini, terdapat beberapa poin penting yang bisa kita kaji sekaligus renungkan. 

Pertama, soal pernyataan Ibnu Shayyad “tercampurnya jujur dan dusta”.

Di sana terkandung indikasi bahwa ia seakan sudah banyak tahu berita tentang kemunculan orang-orang dusta di antara orang-orang jujur, dan sebaliknya.

Padahal, pertemuan Ibnu Shayyad dengan Rasulullah hanya sekali itu saja, namun ia sudah mampu menjelaskan keadaan khusus, bahkan coba-coba menebak apa yang sedang Rasul sembunyikan.

Tidak menutup kemungkinan bahwa saat itu setan-setan ikut campur karena pada riwayat yang lain Ibnu Shayyad sempat mengungkapkan bahwa ia pernah melihat singgahsana iblis di atas lautan.

Kedua, soal penegasan Nabi “Diamlah kamu! Kamu takkan dapat melampaui takdirmu.”

Munculnya penegasan ini seakan menjadi isyarat bahwa ternyata Ibnu Shayyad bukanlah Dajjal seperti yang disumpahkan oleh beberapa sahabat. 

Ibnu Shayyad tidak lain diumpakan seperti dukun-dukun yang bekerja sama dengan jin dan setan serta tidak mampu mendahului takdir.

Ini adalah cikal-bakal fitnah yang akan melanda dunia zaman kemudian. 

Bukti yang sudah kita lalui adalah munculnya nabi-nabi palsu yang mengambarkan sesuatu hal yang belum diketahui oleh banyak orang.

Misalnya seperti Aswad Al-Unsi dan Harits Ad-Dimasyqi yang dianugerahi kekuatan luar biasa oleh setan.

Ketiga, soal larangan Nabi agar Umar tidak membunuh Ibnu Shayyad.

Yang menjadikannya menarik adalah, Nabi Muhammad tidak mengambil sikap putus atau jelas sebagai ending dari pertemuannya dengan Ibnu Shayyad. 

Nabi merasa sudah mendapat informasi yang cukup tentang Ibnu Shayyad sehingga tiada perlu lagi melakukan hal-hal bermudharat seperti membunuh Ibnu Shayyad.

Dan rasanya lagi, para sahabat sudah cukup puas mendapat kejelasan informasi tentang siapa Ibnu Shayyad.

Andaipun si Dajjal menurut sahabat ini terbunuh, maka bisa jadi tidak selesailah keributan –keributan di kalangan sahabat.

Ilustrasi Dajjal dan Fitnahnya
Ilustrasi Dajjal dan Fitnahnya. Nusadaily

Malah, seantero Madinah akan menjadi heboh dengan ploklamir sumpah yang sudah tersebar di kalangan penduduk.

Selain itu, Nabi memilih untuk tidak membunuh Ibnu Shayyad melalui tangan Umar karena informasi yang didapat tentang si Dajjal ini berdasarkan isyarat wahyu tidaklah lengkap dan tidak mampu menjelaskan seutuhnya bahwa itu adalah Dajjal.

Lebih lagi, jika Rasul membenarkan Ibnu Shayyad adalah Dajjal maka bagaimana dengan hadis kisah Tamim Ad-Dari yang bertemu Jasasah dan Dajjal asli? Sekilas memang dalil ini berasa tabrakan.

Tapi, jika fenomena aneh Ibnu Shayyad ini kita urutkan dengan tanda-tanda kedatangan Dajjal seperti yang tertuang dalam kisah Tamim, maka didapatlah hubungan bahwa Nabi Muhammad sebenarnya sudah menjelaskan fitnah Dajjal secara bertahap.

Fenomena Ibnu Shayyad hanyalah bagian dari fitnah Dajjal dan kehadirannya sudah cukup untuk menjadi penegas alangkah besarnya fitnah yang akan dialami umat akhir zaman. 

Bahkan sahabat Nabi pun sampai bersumpah bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal, padahal belum semua sifat Dajjal Akbar dimiliki olehnya.

Dan terpenting, dalam tuangan nash-nash shahih yang sanggup membunuh Dajjal nantinya adalah Nabi Isa A.S sesuai dengan wahyu Tuhan.

Terakhir, ada teladan penting yang bisa kita petik dari sikap Nabi saat tidak memperbolehkan Umar untuk membunuh Ibnu Shayyad.

Sikap itu adalah tawaqquf alias berdiam dirinya Nabi terhadap masalah apapun selagi belum mendapatkan bukti-bukti kebenaran secara rinci.

Terang saja, sikap ini sangatlah penting agar seseorang tidak terjerumus ke dalam nafsu memandang fenomena asing terlalu jauh dan segera menghakiminya secara prematur.

Respon sahabat-sahabat Nabi yang sampai bersumpah tadi juga semakin memberikan kita ketegasan bahwa sejatinya fitnah Dajjal itu benar-benar maha dahsyat.

Tidak terbayangkan kengeriannya jika kita yang secara langsung mengalami huru-hara akhir zaman ini.

Wallahua’lam bissawab.

Lanjut Baca: Fitnah Dajjal, Tanda-tanda Kedatangan, Serta Fenomena yang Membarenginya

Ruang Baca:

Guru Penyemangat
Guru Penyemangat Guru Profesional, Guru Penggerak, Blogger, Public Speaker, Motivator & Juragan Emas.

4 komentar untuk "Ibnu Shayyad, Fenomena Ganjil Tentang Dajjal yang Terjadi Pada Zaman Rasulullah"

Comment Author Avatar
Numpang nyimak, ananda Ozy.
Comment Author Avatar
Ahsiyyap, Nek. Numpang nyimak gratis. Hehehe
Comment Author Avatar
Wah fenomena Ibnu Shayyad ini pengetahuan baru untuk saya, terima kasih sudah mengulasnya, Guru Penyemangat.✨
Comment Author Avatar
nyimak isinya bagus sekali ulasannya mampir dik

Berkomentarlah sesuai dengan postingan artikel. Mohon maaf, link aktif di kolom komentar tidak akan disetujui.

Diperbolehkan mengutip tulisan di blog Guru Penyemangat tidak lebih dari 30% dari keseluruhan isi (1) artikel dengan syarat menyertakan sumber. Mari bersama-sama kita belajar menghargai karya orang lain :-)