Widget HTML #1

Cerpen: Ikhlas Menerima Takdir Allah

Apakah Sobat sudah belajar untuk senantiasa menerima takdir Allah?

Bahasa singkatnya ialah rida, rida terhadap kehendak dan ketentuan Allah. Cuma empat huruf, mudah terucap oleh lisan, tapi amat sulit bagi kebanyakan orang untuk melaksanakannya.

Semisal usaha yang dibangga-banggakan dibangkrutkan oleh Allah, rasanya hati seperti tersayat sembilu.

Semisal cita-cita dan harapan yang sudah diperjuangkan, direncanakan sedetail mungkin tapi kemudian kandas, rasanya seperti hancur lebur hati ini.

Begitu beratnya menerima takdir Allah yang tidak disukai, sampai-sampai dalam hadis Rasulullah dikatakan bahwa barangsiapa yang tidak rida dengan ketentuan-Nya, maka carilah saja Tuhan lain selain Allah.

Cerpen Ikhlas Menerima Takdir Allah
Cerpen Ikhlas Menerima Takdir Allah. Dok. GuruPenyemangat.com

Apa artinya semua itu, Sobat? Dari sana kita bisa memahami bahwa rida terhadap takdir Allah bakal diganjar dengan pahala yang besar.

Berikut disajikan cerpen tentang pentingnya perilaku ikhlas dan tawakal dalam menerima takdir, ketetapan dan kehendak Allah.

Cerpen: Ikhlas Menerima Takdir Allah

Oleh Sri Rohmatiah Djalil

Sudah satu pekan setiap harinya Darso datang ke pantai. Tidak banyak yang ia lakukan, hanya duduk di tepi laut menyaksikan kesibukan ombak yang memecah hening. 

Pagi itu ombak memang sedikit tinggi kurang lebih 2,5 meter, akibatnya aktivitas para nelayan pun sedikit berkurang.

Ya ... pantai Sendangbiru berada di pesisir selatan yang terletak di tepi Samudera Indonesia dan cenderung ombaknya tinggi. 

Walau demikian, tidak menghalangi sebagian nelayan untuk mencari ikan. Mereka melaut dengan mengurangi jarak radius penangkapan.

Bukan melawan instruksi Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) untuk tidak melaut, kebutuhan perutlah yang memaksa mereka.

Petang pergi ke laut, malam hari menangkap ikan, pagi-pagi angin laut membawa mereka pulang kembali. Demikianlah kehidupan nelayan di Desa Tambakrejo, Malang.

Berdiri Darso, ombak memecah hanya beberapa langkah darinya. Ia meninggalkan pasir tempat kakinya berpijak yang mulai basah.

Sebuah warung kecil menjadi tujuannya. Sepi, para nelayan masih sibuk menurunkan ikan, belum ada yang menikmati secangkir kopi panas.

Pemilik warung kopi yang sudang tidak asing terhadap Darso segera menyapa, “Kopi tanpa gula, Mas Darso.”  

“Enggih, Pakde,” jawab Darso sambil menggeser bangku kayu yang panjanganya 2 meter.

Di hadapannya tersaji gorengan hangat. Satu tempe mendoan dilahapnya, satu lagi dan lagi. Dia tidak tahu berapa yang telah habis dimakan. Pemilik warung yang dipanggil Pakde melirik sambil senyum-senyum.

Pakde itu sapaan untuk kakak laki-laki dari bapak atau ibu. Kependekan dari bapak gede. Jika perempuan dipanggil Bude yaitu ibu gede.

“Mas Darso kalau mau ke pantai itu sarapan dulu agar mendoan Bude tidak kau lahap semuanya,” ujar Bude. 

“Biarkan saja toh, Bu, mungkin anak ini lapar belum sarapan,” timpal Pakde sambil menaruh secangkir kopi panas.

Untuk beberapa saat mereka terdiam, suasana warung hening, hanya deburan ombak yang saling bersahutan.

Darso sibuk dengan lamunannya, sementara Bude menyelesaikan menggoreng tempe mendoan, Pakde sendiri menggiling kopi yang telah disangrai istrinya tadi malam.

Aroma kopi makin menggugah selera Darso untuk menempelkan bibirnya ke cangkir.

Laki-laki itu melayangkan pandangannya ke arah para nelayan yang sedang menimbang hasil tangkapannya semalam. Tampak matanya mulai berkaca.

Pakde menangkap perubahan pada mata anak itu, segera dia menghampiri dan duduk di sebelahnya. Dia tahu apa penyebab Darso berkaca-kaca. 

Satu pekan yang lalu bapaknya Darso terbawa ombak pasang. Ketika ditemukan warga sudah dalam keadaan meninggal.

Sejak itulah Darso yang baru lulus sekolah menengah atas merasa dunianya hancur. Setiap hari dari pagi hingga siang hanya memandang ombak. Beruntung dia masih memiliki ibu yang sangat mencintainya. 

“Sudah satu pekan, Nak, ikhlaskan bapakmu agar dia tenang di sana. Sudah saatnya kamu melangkah untuk ibu dan masa depanmu. Sampai kapan memandang ombak dan nyeruput kopi?” ujar Pakde pemilik warung.

Tangan kokoh pemuda kepalang itu mengusap mata, tak ingin ia tampak cengeng di hadapan orang lain. 

Darso masih terdiam, matanya memandang ke arah awan. Hanya awan di sana, awan di sini, putih. Bergerak, bergeser, menghilang, tampak langit biru. 

Pakde mengikuti ke mana arah mata Darso dan seperti tahu apa yang dipikirkan anak muda itu.

“Lihatlah awan di sana, mereka tidak berada satu tempat, bergerak, bergerak dan bisa membuat langit begitu indah,” seru Pakde.

“Jika kau masih meratapi apa yang terjadi, itu artinya telah mengingkari kehendak Allah Subhanahu Wa Taala. Ingatlah akan Qada dan Qadar. Semua yang terjadi pada semua makhluk sudah ditetapkan Allah Swt., termasuk jodoh, kematian. Kematian bapakmu sudah menjadi bagian dari Qada, takdir Allah. Namun, ada takdir yang bisa diubah jika kamu mau,” jelas Pakde panjang.

Darso terperanjat, “Maksudnya Bapak bisa kembali, Pakde?” 

“Bukan itu maksudnya, Nak. Takdir yang bisa diubah oleh ikhtiar manusia adalah takdir muallaq, contohnya, orang yang sakit dengan berobat, dia bisa sembuh karena pertolongan Allah. Orang yang miskin bisa kaya dengan bekerja keras. Orang yang mendapat nilainya jelek, setelah belajar menjadi bagus. Jika kematian termasuk takdir mubram yang tidak bisa diubah oleh manusia,” jelasnya lagi.

Berdiri Darso dan memandang Pakde, “Matur suwun Pakde wejangannya, saya harus ikhtiar untuk mengubah keadaan.”

Darso berlalu setelah memberi salam. Dalam waktu singkat, ia insaf, kematian bapaknya sudah takdir, ombak dan laut hanya cara Allah mengambil hamba-Nya.

Jika semua orang seperti dirinya, hingga saat ini tidak ada lagi nelayan karena takut akan kematian.

Darah lautnya mulai bergejolak, ada dorongan dari dalam untuk menjelajah Negeri seperti bapaknya. 

***

Lanjut Baca: Cerpen Tetap Memberi di Waktu Lapang Maupun Sempit

Guru Penyemangat
Guru Penyemangat Guru Profesional, Guru Penggerak, Blogger, Public Speaker, Motivator & Juragan Emas.

Posting Komentar untuk "Cerpen: Ikhlas Menerima Takdir Allah"