Widget HTML #1

Cerpen Idul Fitri: Kata-kata Maaf yang Terlambat

Hai Sobat Guru Penyemangat. Semoga Allah menerima amal kita semua khususnya pada bulan Ramadan tahun ini, ya.

Bersyukur kita kepada Allah atas segala nikmat, terutama nikmat sehat dan sempat sehingga bisa bertamu ke momentum Idul Fitri di bulan Syawal.

Sebenarnya tulisan yang baku itu adalah Idulfitri, sih. Tapi entah mengapa ucapan hari raya yang satu ini lebih masyhur ditulis dengan cara dipisah. Hehe

Pada kesempatan yang berbahagia ini Gurupenyemangat.com ingin menghadirkan cerpen bertema Idulfitri.

Cerpen tentang Idul Fitri berikut berjudul kata-kata maaf yang terlambat ingin mengajak kita memahami esensi maaf di hari lebaran.

Mari disimak ya:

Cerpen Idulfitri: Kata-kata Maaf yang Terlambat

Oleh Ozy V. Alandika

Cerpen Idul Fitri
Cerpen Idul Fitri: Kata-kata Maaf yang Terlambat. Dok. Gurupenyemangat.com

Hari ini tepat 1 Syawal. Ternyata bulan Ramadan baru saja pamit untuk berpulang. Ia meninggalkan almanak, euforia jajanan takjil, dan menyisakan segepok kurma untuk melanjutkan puasa 6 hari.

Ramadan yang pergi meninggalkan sepi. Sepi dirasa, sepi di hati, tapi tidak dengan ponsel pintarku. Sedari Subuh notifikasi tiada pernah berhenti berdering.

Aih…

Aku sudah tahu apa isinya.

Sebening embun…

Sesejuk senja…

Seputih awan…

Setulus rasa… dan segunung kata-kata mutiara bin puitis lainnya. Itulah hari raya Idulfitri, lebarannya umat Islam di seluruh dunia.

Tapi entah mengapa, aku masih saja mengingat perkataan guruku. Sekitar seminggu yang lalu, beliau pun sempat berkata kepada kami pada momentum pengumuman sekaligus penutupan pesantren kilat Ramadan.

“Anak-anak, pada kesempatan yang berbahagia ini, Bapak mewakili Bapak/Ibu Dewan guru, kepala sekolah, serta segenap karyawan SD mengucapkan mohon maaf lahir dan batin. Jikalau ada hak-hak kalian yang belum sempat kami penuhi, mudah-mudahan hak tersebut kalian relakan sehingga tak menjadi beban tuntutan bagi kami di akhirat nanti. Adapun segala khilaf dan salah kalian sudah kami maafkan. Bapak ucapkan selamat menyambut Hari Raya Idulfitri.”

Para guru di sekolah sudah sejak jauh-jauh hari melantunkan ucapan maaf. Iya, aku tahu. Alasannya sederhana, karena ketika nanti anak-anak bersekolah, suasananya tidak akan seramai hari ini.

Terlebih lagi takbiran Idulfitri menurut ketentuannya memiliki batas akhir yaitu setelah khotib turun dari mimbar. Beda dengan Idul Qurban, takbirannya hingga 3 hari ke depan.

Walau begitu, agaknya esensi dari ucapan guruku tidaklah sesederhana itu. Lebaran Idulfitri memang menjadi momentum yang pas untuk saling bermaaf-maafan.

Hanya saja menurutmu Idulfiri sebagai hari kemenangan adalah kesempatan yang besar bagi kita untuk menguatkan tali silaturahmi.

Mereka yang jauh, pulang ke kampung halaman hanya demi bersua dengan keluarga dan orang tua tercinta setelah sekian lama dipisahkan oleh jarak.

Adapun mereka yang dekat, tidak henti-hentinya singgah ke rumah tetangga, sanak, hingga handai tolan untuk sekadar bersilaturahmi dan saling cicip-mencicip kue lebaran.

Kalau bermaaf-maafan?

Sudah telat, sih. Kapan bermusuhannya, kapan minta maafnya. Kapan berkata syahdan menyakiti hati, tapi kapan pula mengakui kesalahan dan berusaha untuk tidak mengulanginya.

Bukankah jatah bermusuhan sesuai dengan anjuran Rasulullah SAW tidak boleh lebih dari tiga hari?

Kadang aku malah bingung. Tapi aku bukanlah orang sok alim yang langsung ingin menuduh bahwa kegiatan bermaaf-maafan di hari raya Idulfitri itu bid’ah karena tidak ada contoh yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.

Kalaupun nantinya bertemu dengan orang semacam itu, rasa-rasanya gantian aku yang mau berkata, “Memangnya ada dalil bahwa Rasulullah SAW mengharamkan kita untuk meminta maaf di hari raya Idulfitri?”

Aih, sudahlah. Aku bukanlah orang yang suka mendebati hal semacam itu. Intinya, kalau segala sesuatu hanya dipandang dari kebencian, maka segunung dalil pun tidak akan mampu memuaskan mereka. Bukankah untuk melarang atau mengharamkan sesuatu itu butuh dalil?

Tentu saja.

Sudah. Aku tidak mau membahasnya lebih dalam. Aku yakin bahwa selama umat muslim berpikir dengan kepala dingin, tidak meninggikan hawa nafsu, maka semua akan aman, damai, dan saling adem.

Cuma, ya, kalau kemudian banyak orang menunggu momentum Idulfitri sebagai waktu yang tepat untuk bermohon maaf, maka itu yang salah.

Bagaimana tidak salah, kesalahannya dilakukan bulan ini sedangkan lebaran masih beberapa bulan lagi.

Tidak terbayangkan oleh kita seberapa banyak dosa yang dikumpulkan karena kedua belah pihak telah memutuskan tali silaturahmi. Lebih dari tiga hari lho?

Berpuasa di bulan Ramadan memang merupakan jalan menuju takwa, tapi ada banyak gang lain pula yang terbuka untuk kita tempuh agar mencapai takwa. Termasuklah bersegera dalam meminta maaf.

Allah SWT berkalam dalam QS Ali-Imran ayat 133-134:

وَسَارِعُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَةٖ مِّن رَّبِّكُمۡ وَجَنَّةٍ عَرۡضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلۡأَرۡضُ أُعِدَّتۡ لِلۡمُتَّقِينَ.ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَٱلۡكَٰظِمِينَ ٱلۡغَيۡظَ وَٱلۡعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ .[آل عمران:133-134]

Artinya:

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.  (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

Dari ayat tersebut, mukmin yang cerdas pasti bisa memetik hikmah bahwasannya perilaku menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain adalah jalan lain menuju takwa.

Dan bila dicermati lebih lanjut, perilaku saling memaafkan ini pula harus disegerakan sebagaimana perintah Allah pada ayat 133, “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu…”.

Maka dari itulah, marah itu jangan lama-lama. Dendam itu jangan lama-lama. Semisal dendam sudah lama tumbuh dalam hati, sontak saja semua yang dilakukan oleh orang lain itu adalah salah.

Sedangkan ketika orang yang didendam itu sedang mendapat kebaikan, si pendendam malah iri, dengki, dan merasa bahwa Allah itu tidak adil karena telah memberikan kebahagiaan kepada orang lain.

Na’udzubillahi min dzalik!

Makanya itu, kalau saling bermaaf-maafnya harus menunggu hari raya, itu kelamaan. Kata-kata permintaan maaf yang sebening embun, seputih awan dan semisalnya itu adalah ucapan yang terlambat.

Tapi tidak apa-apa juga, sih. Daripada tidak sama sekali, kan. Setidaknya kita sudah menjalin atau bahkan mempererat kembali tali silaturahmi. Toh itu juga adalah jalan menuju takwa.*

***

Boleh Baca: Cerpen Menghitung Pemberian Terbaik

Demikianlah tadi sajian Guru Penyemangat tentang cerpen bertema Idulfitri yang membahas tentang ucapan dan kata-kata maaf yang terlambat.

Semoga bermanfaat dan jadi inspirasi.
Salam.

Guru Penyemangat
Guru Penyemangat Guru Profesional, Guru Penggerak, Blogger, Public Speaker, Motivator & Juragan Emas.

Posting Komentar untuk "Cerpen Idul Fitri: Kata-kata Maaf yang Terlambat"