Widget HTML #1

Cerita Pendek Tentang Zakat Fitrah: Menghitung Pemberian Terbaik

Sobat Guru Penyemangat, sudah bayar zakat fitrah?

Pada minggu terakhir Ramadan, mayoritas umat muslim sudah mulai menunaikan kewajibannya untuk membayar zakat fitrah.

Ada sebagian dari mereka yang membayar zakat fitrah dengan beras, ada pula yang membayar zakat fitrah dengan uang.

Sebagai salah satu ibadah pensucian diri dan jiwa untuk kembali merengkuh fitrah, hukum bayar zakat fitrah adalah wajib, baik bagi anak kecil maupun orang dewasa.

Dalam satu keluarga, seorang anak yang mampu pun boleh membayar zakat fitrah menggunakan beras dari hasil kerja kerasnya. Tapi jika belum mampu, maka tanggung jawab zakat fitrah dibebankan kepada kepala keluarga.

Berikut Gurupenyemangat.com sajikan cerpen bertema zakat fitrah yang penuh hikmah.

Cerita pendek tentang zakat fitrah berikut berjudul “Menghitung Pemberian Terbaik” yang insya Allah bisa menginspirasi.

Mari disimak ya:

Cerpen Tentang Zakat: Menghitung Pemberian Terbaik

Cerita Pendek Tentang Zakat Fitrah Menghitung Pemberian Terbaik
Cerita Pendek Tentang Zakat Fitrah: Menghitung Pemberian Terbaik. Dok. Gurupenyemangat.com

“Mat, sudah bayar zakat fitrah?”

“Belum, Ndi. Nanti aja lah. Toh waktu wajib bayar zakat kan masih lama.”

Menilik almanak, penghabisan Ramadan memang masih cukup lama. Setidaknya ada 3-4 hari lagi sebelum diadakannya sidang isbat oleh pemerintah.

Meski begitu, edaran tentang zakat fitrah sudah disosialisasikan sejak seminggu terakhir, tepatnya ketika jamaah masjid mulai maju safnya, dan yang tersisa hanya pasukan barisan pengejar malam Lailatul Qadar.

Pengumuman tetaplah pengumuman. Pengurus masjid memang cekatan. Demi menyelamatkan desa dari bala dan bencana, ketuntasan pembayaran zakat fitrah dengan persentase 100% haruslah diupayakan.

Tapi dengan catatan yang bayar adalah orang-orang yang mampu. Jikalau tidak mampu, ya tidak perlu dipaksakan. Artinya mereka termasuk fakir, miskin, riqab, mualaf, fisabilillah, atau orang yang kekurangan bekal saat di perjalanan.

Tidak ada alasan untuk enggan membayar zakat fitrah hanya karena dirinya merupakan amil atau pasukan pengumpul dan pendistribusi zakat.

Terang saja, 70% zakat fitrah diperuntukkan untuk fakir dan miskin. Hak amil zakat mungkin ada, tapi itu nomor sekian.

Dan, yang barangkali merupakan argumen yang tepat ialah; amil berhak mendapat bagian zakat ketika zakat itu adalah zakat mal atau zakat harta.

Soalnya zakat fitrah itu lebih kepada pembersihan jiwa untuk kembali menjadi fitrah. Jadi ukuran 1 sha’ beras atau makanan pokok yang semisalnya sebisa mungkin harus disampaikan kepada asnaf.

Sebagai seorang warga biasa yang masih awam terhadap ilmu agama, Mamat tetaplah seorang muslim yang takut dosa.

Meskipun Tarawih masih bolong-bolong, namun ia tidak akan pernah meninggalkan ibadah puasa. Kecuali memang sakit parah yang menimpanya.

Andi adalah orang yang banyak tahu tentang Mamat, soalnya Andi merupakan sahabat kecilnya yang sampai sekarang masih hidup bertetangga.

Keduanya berasal dari keluarga sederhana yang menjemput rezeki dengan cara bekerja sebagai buruh tani.

“Santai aja, Ndi. Kita bayar zakatnya nanti saja. Waktu wajib kan dimulai sejak terbenamnya matahari di akhir bulan Ramadan. Jadi mendingan kita tunggu hasil sidang isbat dulu.”

“Lho, memangnya kamu sedang berencana meninggal dalam waktu dekat ya, Mat?”

“Wuidih, kok kamu ngomongnya gitu, Ndi?”

“Biar nanti tidak wajib bayar zakat. Wkwk”

Andi tertawa kecil seraya melempar celetukan manis kepada Mamat. Dia yakin Mamat tidak akan merajuk atau marah. Toh ini juga adalah bulan puasa, bulan di mana pahala sabar akan dilipatgandakan oleh Allah SWT.

Tapi memang benar. Secara fiqih, waktu wajib bayar zakat fitrah dimulai dari terbenamnya matahari pada penghabisan bulan Ramadan.

Sedangkan waktu yang lebih baik alias sunnah yaitu dibayar sesudah Shalat Subuh sebelum pergi Shalat Idulfitri.

Adapun waktu haram bayar zakat fitrah ialah ketika matahari terbenam sesudah hari raya. Tapi ini dengan catatan orang tersebut dengan sengaja menunda bayar zakat tanpa ada uzur.

Meski demikian, agaknya khusus di waktu sunnah tersebut agak sedikit kurang relevan di zaman sekarang.

Jujur saja, pada masa Rasul, penyaluran zakat fitrah relatif lebih mudah. Bahkan jangankan harus ke pihak amil, umat muslim pun bisa langsung membayar zakat fitrah berupa gandum maupun kurma kepada tetangga atau mustahiq zakat yang tidak jauh dari rumah mereka.

Boleh Baca: Cerpen Kemenangan Ramadan dalam Keterbatasan

Sekarang kisahnya cukup berbeda. Kalau tidak ada badan atau amil zakat, mudharatnya bakal lebih besar.

Anggap saja semisal dalam satu desa ada 100 mustahiq zakat. Jika umat muslim yang wajib bayar zakat di desa tersebut memberikan penunaian kewajibannya secara mandiri, maka bisa jadi ada 1 mustahiq zakat yang dapat banyak, 1 mustahiq zakat yang dapatnya sedikit, dan sisanya ada pula yang tidak dapat.

Beda cerita jikalau pembayaran zakat fitrah lebih terkoordinasi. Para penerima zakat bisa didata sehingga pembagiannya lebih adil.

Pun demikian dengan pendistribusian zakat fitrah. Di era kekinian, agaknya akan lebih bermaslahat jika zakat fitrah dibagikan sebelum Shalat Id.

Dengan cara tersebut, para penerima zakat akan bergembira dan bisa saling bersapa ria pada saat pelaksanaan Shalat Idulfitri.

*

“Ndi, kamu rencananya mau bayar zakat fitrah menggunakan beras atau uang?”

“Beras, Mat. Memangnya kamu mau bayar pake uang, kah?”

“Sama sih, Ndi. Aku pake beras saja. Nanti kalo pake uang, eh nanti uangnya malah dibelikan petasan, rokok, dan kembang api.”

“Yee, gak gitu juga sih, Mat. Pake uang juga boleh kok, asalkan memang maslahatnya lebih besar. Bukan aku lho yang bilang, tapi Syeikh Ibnu Taimiyyah.”

“Iya, Ndi. Aku paham, aku paham. Eh, betewe harga beras 10 canting sekarang berapa ya, Ndi?”

“Ada yang Rp30.000, Rp35.000, dan ada pula yang Rp40.000, Mat.”

“Oalah, mahal juga ya, Ndi. Aku kira cuma minyak goreng dan Pertamax yang naik, eh ternyata beras juga naik. Yaudah deh, nanti aku bayar zakat fitrahnya pake beras yang Rp30.000 aja deh.”

“Lha, lha, tumben kamu perhitungan banget sekarang, Mat. Perasaan minggu kemarin kalau kita buka bersama, kamu yang traktir aku dan teman-teman. Ratusan ribu lho. Pun demikian dengan dua hari yang lalu. Kopi, gorengan, bahkan cemilan ketika kita kumpul-kumpul, kamu juga yang bayarin. Eh kok sekarang giliran zakat fitrah, kamu malah pilih yang minimalis?”

“Lho, memangnya kenapa, Ndi. Gak salah, kan? Toh zakat fitrah menggunakan beras yang kualitasnya sama dengan yang kita makan, kan?”

Boleh Baca: Cerpen Tentang Sedekah di Bulan Ramadan

“Gak salah sih, Mat. Tapi ya, kalau menurutku, sayang aja sih. Giliran urusan dunia, kamu rela traktir teman yang statusnya mampu, tapi giliran urusan akhirat seperti zakat fitrah yang bayarnya setahun sekali, kamu malah jadi orang yang perhitungan soal kualitas.”

Mamat pun termenung. Selama ini ia memang merupakan orang yang royal terhadap teman-teman. Ya, walaupun hanya bekerja sebagai buruh tani, namun kalau sekadar untuk traktir makan sebatas ratusan ribu ia masihlah mampu.

Setelah dipikir-pikir lagi, wajah Mamat pun lekas mendung. Ia pun merasa malu karena sepertinya setan kikir telah merasukinya. Padahal setan dan iblis sedang dibelenggu pada bulan Ramadan. Tapi mungkin nafsu dunianya yang masih sulit dikontrol.

“Iya. Kamu benar sekali, Ndi. Kayaknya aku terlalu banyak begadang nih. Ya udah deh, mumpung sekarang sedang ada rezeki, aku mau belikan beras dengan kualitas terbaik deh.”

“Nah, gitu dong, Mat.”

Andi pun lega. Ini baru namanya Mamat, teman hebat yang tidak hitung-hitungan dalam memberi untuk bekal akhirat.*

Tamat

***

Demikianlah tadi sajian Guru Penyemangat berupa cerita pendek tentang zakat fitrah dengan judul “Menghitung Pemberian Terbaik”. Semoga menginspirasi, ya.

Salam.

Guru Penyemangat
Guru Penyemangat Guru Profesional, Guru Penggerak, Blogger, Public Speaker, Motivator & Juragan Emas.

Posting Komentar untuk "Cerita Pendek Tentang Zakat Fitrah: Menghitung Pemberian Terbaik"