Widget HTML #1

Cerpen: Lestarikan Budaya dalam Balutan Busana

Cerpen: Lestarikan Budaya dalam Balutan Busana

Oleh Devani Imario Putri

Lestarikan Budaya dalam Balutan Busana
Lestarikan Budaya dalam Balutan Busana. Dok. MutiaraArt

Perempuan berbalut kemeja putih berlengan panjang yang dipadu-padankan dengan kerudung hitam dan rok batik Jawa mencerminkan kesan formal dan sederhana tampak menghembuskan nafas lega setelah terbebas dari kemacetan.

Selama satu jam terjebak macet alih-alih bisa berkelit gesit dengan motor mungilnya namun berjubel kendaraan malah mengungkung motor matic yang ia tumpangi.

Kombinasi warna hitam dan putih dilengkapi aksesori bros telah tersemat rapi di kerudungnya, keringat yang bersarang di area dahi terserap ke serat-serat kain namun setetes keringat lolos dan meluncur dari pelipis.

Hawa sejuk menerpa kulitnya ketika memasuki sebuah gedung dengan dekorasi khas Bali yang menghias tiap sudut.

Matanya mengamati setiap detail ornamen dan beraneka model busana adat yang didominasi dari daerah Bali terpampang dalam deretan replika tubuh wanita berupa kloningan patung berwarna putih porselen yang tertata rapi. 

Ia rela merantau dan berpenampilan formal bukan berencana untuk melamar pekerjaan melainkan karena hari ini adalah hari penting di mana ia dapat menumpahkan semua ide dan imajinasi seni merancang busana yang digelutinya.

Sekitar dua tahun, ia bahkan hampir mengenyam pendidikan. Ia pula merantau ke luar negeri walaupun tak genap satu tahun.

Berbekal ilmu yang sudah dipelajari semasa berjibaku dengan rumitnya praktik walau hanya dalam jangka waktu singkat tetapi ia tetap berusaha mewujudkan impian yakni berprofesi sebagai seorang desainer.

Maka dari itu ia terus mengasah kemampuannya dengan mencoba mengikuti kompetisi yang diselenggarakan oleh label busana ternama.

“Kak, formulir pendaftarannya sudah diisi ya, Kak? permisi, Kak?” Pikiran Ratih pun buyar.

“Ah, iya, Bu, maaf, ini sudah terisi lengkap.” Sahutnya gelagapan sembari menyodorkan selembar formulir.

“Oke, Kak Ratih ini nomor pendaftarannya.” Ratih menerima selembar kartu kecil lalu menyisipkannya dalam dompet.

“Oh, iya, Bu Susi” Timpal Ratih sambil mencermati nama yang tertera pada dada yang terhalang untaian rambut.

“Besok akan diumumkan pembagian tim dan ketentuan lomba untuk informasinya silakan datang lagi ke tempat ini” Ucap Bu Susi ramah.

“Tiap tim berapa anggota, Bu?” Tanya Ratih bingung akan pelaksaan kompetisi yang diikutinya.

“Pihak penyelenggara akan memilih secara acak kontestan dan membentuknya menjadi satu tim yang beranggotakan tiga peserta.”jelas Bu Susi gamblang. 

“Oh, seperti itu, terima kasih informasinya, Bu” Ratih menyisih dari antrean yang berjejalan karena hari ini adalah hari terakhir pendaftaran.

Ratih melangkahkan kakinya menuju area parkir hendak mengendarai motor matic tiba-tiba seseorang menepuk dari belakang hingga ia reflek menepis tangannya dan spontan mengucap lafal istigfar.

“Maaf, saya tidak bermaksud mengagetkan kamu” Ujar seseorang bersuara khas laki-laki yang tertangkap di gendang telinga Ratih.

Namun ketika berbalik ia menemukan fakta mengejutkan bahwa seseorang yang ia sangka lelaki justru seorang perempuan berambut pendek sebahu.

“Ah, iya, saya juga minta maaf saya kira siapa” Reaksi keterkejutan belum pudar dari raut wajahnya.

“Sekali lagi saya minta maaf, mukamu sampai pucat gitu padahal saya niatnya tadi mau mengajak kenalan” 

“Oh...gitu,” Ratih malah dibuat canggung atas perlakuan cewek yang ada dihadapannya.

“Jadi, apa boleh saya tahu nama orang yang sedang saya ajak bicara ini?” Tanyanya sembari menatap Ratih yang kepalanya terus menunduk.

 “Ah...boleh, perkenalkan nama saya Ratih asli Jawa.” Jawab Ratih singkat dengan menangkup kedua telapak tangan.

“Saya Evelyna asal Jakarta, panggil saja saya Ivi” Ujarnya riang.

“Tadi kamu ikut kompetisi perancangan busana, ya? saya juga ikutloh! kalau boleh tahu sudah berapa lama belajar desain baju?” Cerocos Ivi memulai perbincangan.

“Em...ma-maaf Ivi,saya tidak bisa berlama-lama di sini, ada urusan yang harus saya selesaikan, jadi em...sa-saya pamit pulang dulu” kilah Ratih tergagap dicecar berbagai pertanyaan dengan orang asing yang baru dikenalnya tiga menit yang lalu.

“Ah, iya, maaf sudah mengganggu waktunya, mungkin kita bisa sambung lagi besok setelah lomba selesai” mata Ivi tak lepas memandang Ratih yang sudah menjauh, ia tersenyum masam lalu melenggang pergi.

Suasana kasak-kusuk menyelubungi ruangan yang sedang berlangsung sebuah kompetisi perancangan busana.

Masing-masing tim yang terdiri atas tiga peserta sibuk berdiskusi tentang konsep busana yang akan mereka usung namun ada salah satu tim yang justru berdebat sengit masalah desain busana yang mereka rancang .

Adalah Ivi dan Ratih yang kebetulan dipertemukan kembali dalam kerja sama satu tim yang tampaknya menimbulkan perselisihan pendapat.

“Kita akan desain baju dengan bagian lengan berwarna putih polos lalu diselaraskan dengan kerudung yang tepi kainnya kita jahit dengan benang warna emas dan coklat sebagai coraknya, bagaimana?” Usul Ratih.

“Ratih, konsep kita itu harus mengandung unsur budaya jadi motif batik yang perlu kita tonjolkan!” Protes Ivi menampik pendapat yang dikemukakan Ratih dengan kening berkerut.

Ivi lantas merampas kertas yang dipegang Ratih dan mencoret sketsa yang merupakan luapan dari ide Ratih selama ini yang ingin ia tuangkan dalam busana.

“Ivi, kita harus bisa menampilkan unsur budaya dalam baju muslimah juga, dong!” Sanggah Ratih menentang pendapat yang bertolak belakang dengannya.

“Tapi, Ratih bagaimana dengan budaya pada pakaian adat bangsa yang harus kita jaga kelestariannya?” Ivi tetap mempertahankan pendapatnya.

Semua tim harus menyesuaikan dengan tema budaya dengan waktu pengerjaan dua jam. Namun Ivi dan Ratih membuat waktu mereka terbuang percuma karena terlibat cekcok panjang dalam hal memilih konsep yang mereka rancang.

“Kak Ratih dan Kak Ivi jika kalian berdebat terus bagaimana kita bisa menyelesaikan kompetisi ini? ini tuh rancang busana bukan gedung, waktunya semakin mepet, nih!” Ida sebagai pihak penengah semakin pusing.

“Jika kita tidak bisa bekerja sama, kita desain saja busana kita masing-masing.”

Ratih dan Ivi menyambar selembar kertas kosong yang disediakan oleh pihak penyelenggara lalu mulai memoles gambar busana sesuai ide dan pandangan idenya masing-masing.

“Menurut peraturan lomba, karya yang harus dikumpulkan hanya satu, oke solusinya dengan memadukan konsep kalian berdua biar kalian bisa rukun dan saling apresiasi ide masing-masing” Saran Ida sembari menatap Ivi dan Ratih bergantian.

Tanpa menunggu persetujuan dari keduanya Ida lantas meraih selembar kertas dan pensil lalu mulai mendesain sambil mengamati lembar kertas hasil karya kedua anggota timnya sebagai referensi. 

Tangannya lihai merangkai garis dan lengkung hingga waktu perlombaan pun telah usai.

Karya disetorkan ke panitia untuk diseleksi dan dikurasi selagi pengumuman pemenang akan dilakukan pada pukul empat sore.

Tim beranggotakan tiga orang tersebut memutuskan ke cafe yang tak jauh dari gedung perlombaan untuk istirahat sekaligus menunggu hasil penilaian.  

Percakapan menggelitik pun terjadi di antara mereka yang tetap membahas topik tentang dilema desain busana mereka tadi.

Tampak dari gelagat Ratih dan Ivi masih bersitegang ketika mereka mengobrol lantas Ida berusaha untuk mencairkan suasana.

“Syukurlah, kita tidak didiskualifikasi karena keributan tadi, akhirnya selesai juga desain kita menurutku unik kok! gimana menurut kalian?” Ucap Ida memulai pembicaraan dengan tatapan antusias.

“Ya, kita lihat saja nanti hasilnya saat pengumuman, semoga memuaskan” Balas Ratih sambil bertopang dagu.

“Kak Ivi, bagaimana?” Tanya Ida hati-hati.

“Iya, aku percaya kemampuan kalian semua, kok! tapi semua keputusan ada di juri!” Sahut Ivi lalu mengaduk es kopinya.

Mereka berdua tampak tidak tertarik membahas itu dan mulai asyik dengan memainkan gawai masing-masing.

Sangat berbeda dari kesan pertama bertemu ketika mulai lomba yang penuh aura kegairahan yang menguar padahal pengumuman juara sebentar lagi akan keluar.

“Oh, ayolah! kalian berdua jangan gara-gara lomba rancang busana ini jadi musuhan! serius amat! jadi tim harus solid, dong! kalah menang wajar” hibur Ida dengan cekikikan.

Ucapan Ida justru ditanggapi dengan mata tajam mengintimidasi dari kedua belah pihak hingga mulut Ida yang tadi tertawa kecil pun menciut dan terbungkam. Mereka berdua seolah tidak optimis akan pencapaiannya.

Bunyi loudspeaker akhirnya mendengung dan menyebutkan daftar tim yang menduduki peringkat lima besar.

Tak sesuai ekspektasi, deretan nama mereka mencuat di urutan peringkat pertama. Saking terkejut dan gembiranya Ivi dan Ratih spontan berpelukan erat sementara Ida sedari tadi menyaksikan selebrasi mereka tak bisa menahan senyum haru.

Tema yang diangkat adalah budaya yang ternyata telah mempersatukan mereka dengan keunikan dari perbedaan ide masing-masing hingga kemenangan pun mampu diraih bersama.

“Nah, gini baru rukun kalian, ya! kalian ternyata bisa rukun asalkan memenangkan lomba rancang busana, ya!” Sindir Ida menatap Ivi dan Ratih yang masih larut dalam euforia kemenangan.

“Eh, kamu kenapa, sih?! Kita berdua pasti rukunlah, karena bisa membuktikan karya kita bisa mewakili keunikan budaya! kamu nggak bangga apa?” Ivi menyenggol Ida yang terus menggeleng-gelengkan kepala dan menahan tawa.

“Lah ya, wong kamu yang terus mendukung kita biar solid, kan? dari perbedaan ide akhirnya kita bisa bersatu dan menang berkat ide cemerlang kamu juga loh!” Tutur Ratih berlogat jawa sambil mencubit pipi Ida gemas.

“Aduh, iya jelas dong, Kak, memang aku kan punya ide besar agar bisa bikin semua orang rukun! nah, kalian berdua salah satu buktinya” Jawab Ida lantang sambil menyilangkan dada setelah mengusap pipinya yang berdenyut nyeri hingga dibalas enteng oleh Ivi dan Ratih yang lebih tua darinya.

“Iya, ya, siap, Bu Presiden, Insya Allah kamu pasti bisa!” Ratih menepuk pundak Ida diikuti gelak tawa Ivi yang nyaring.

“Aamiin, doakan, ya, kak biar aku bisa meniru jejak almarhum Buyutku!” Celetuk Ida yang membuat mereka hening seketika.

Tiba-tiba seorang pria dengan setelan jas rapi dan rambut hitam klimis dari kejauhan tampak sangat elegan juga berkharisma menyerukan nama Ida sambil melambaikan tangan.

Ivi dan Ratih hanya bisa melongo sementara Ida justru mengedipkan mata genit dengan senyuman yang menyeringai menemui sosok pria yang menjemputnya dengan mobil mewah.

Andai menciptakan kerukunan segampang menciptakan rancangan busanamu, Ida. Batin Ivi dan Ratih dengan pikiran dan perasaan yang semakin melayang ke mana-mana seakan mengikuti kepergian Ida.

Tamat

Lanjut Baca: Cerpen Tentang Pendidikan Karakter

Guru Penyemangat
Guru Penyemangat Guru Profesional, Guru Penggerak, Blogger, Public Speaker, Motivator & Juragan Emas.

Posting Komentar untuk "Cerpen: Lestarikan Budaya dalam Balutan Busana"