Widget HTML #1

Ragam Kekurangan dan Kendala Belajar Online di Rumah Selama Pandemi [Data dan Fakta di Lapangan]

Kendala Belajar Online di Rumah Selama Pandemi
Kekurangan dan Kendala Belajar Online di Rumah Selama Pandemi. Dok. Gurupenyemangat.com

Apakah belajar online di rumah selama pandemi corona itu membahagiakan dan mendulang segunung kelebihan?

Ehem. Setelah semalam mengulas tentang kelebihan belajar daring--baca di sini--tidak lengkap rasanya jika Guru Penyemangat belum mengelupas kekurangan pembelajaran online.

Uh! Serem banget bahasanya, kok pakai dikupas segala? Hahaha. Maafkanlah. Sebagai sebuah sistem, pembelajaran daring yang dilaksanakan hingga tahun 2021 ini benar-benar penuh tantangan.

Salah satu tantangan terbesar adalah tentang luasnya negeriku Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke, tidak akan terpandang oleh mata. Pun demikian dengan sekolah yang berada di sudut-sudut Bumi Pertiwi.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa selama ini yang tersorot oleh pemerintah hanyalah sekolah-sekolah kota saja, sedangkan sekolah dusun, sekolah ujung nyaris tidak tersentuh.

Mungkin jauh, ya. Ehem.

Dari sanalah sebenarnya akan permasalahan kesenjangan pendidikan kita yang semakin akut tahun demi tahun.

Tambah lagi sekarang kita terpaksa harus menerapkan sistem belajar online di rumah. Maka bermuncullah banyak masalah yang terkait dengan KBM daring ini.

Mulai dari segi kesulitan akses layanan, disiplin, tantangan kompetensi, hingga infrastruktur.

Baiklah. Di sini Gurupenyemangat.com bakal mengulas tentang ragam kekurangan belajar di rumah secara online baik untuk guru maupun siswa yang didukung dengan data riset, survei, serta fenomena miris di lapangan.

Mengapa harus bersandar pada data?

Biar kita yang membaca ini bisa melek, juga bisa memberikan/menghasilkan solusi yang tepat sasaran. Pun demikian dengan pemerintah.

Oke, kita kuliti satu demi satu, ya. Mari disimak:

5 Kendala Utama Guru dalam Menggelar Pembelajaran Online di Rumah Selama Pandemi

Kendala Utama Guru dalam Menggelar Pembelajaran Online
Kendala Utama Guru dalam Menggelar Pembelajaran Online. Dok. Gurupenyemangat.com

Sekarang kita bahas kekurangan belajar daring dari sisi guru terlebih dahulu, ya.

Sebagaimana yang kita ketahui, pendidikan adalah investasi masa depan, dan gurulah yang punya tanggung jawab mengajarkannya.

Maka dari itu, guru yang lebih dulu harus paham, mengerti, dan memahami serangkaian proses kegiatan belajar online dari rumah berikut dengan komponen-komponen pendukungnya.

Dan yang menarik, bersandar dari Jurnal Elementary School Vol. 7 No. 2 Juli 2020 karya Henry Aditia Rigianti, direngkuhkan 5 kendala utama bagi guru dalam menggelar KBM online.

1. Guru Belum Memiliki Kesiapan dalam Memanfaatkan Aplikasi Belajar Daring

Bagi guru SD terutama, berdasarkan survei yang tertuang dalam jurnal tersebut, direngkuh data bahwa para pengajar 100% menggunakan aplikasi Whatsapp dalam mendukung kegiatan mengajar dari rumah.

Penelitian yang melibatkan sampel sebanyak 100 guru di Banjarnegara tersebut menegaskan bahwa guru sebenarnya mendapat kendala berupa kesiapan belajar online dari segi variasi mengajar.

Padahal ada platform lain seperti Google Classroom, YouTube, Zoom, Google Meet, hingga Sosial Media lainnya. Tapi berdasarkan data, semua sampel pengajar hanya menggunakan WA.

Apakah hal ini adalah salah guru?

Tidak. Malahan, yang patut disalahkan adalah Dinas Dikbud setempat atas kurangnya kegiatan pelatihan kompetensi mengajar guru secara daring.

Alhasil, cara mengatasi hambatan mengajar online yang dialami guru salah satunya adalah mengadakan pelatihan yang tetap sasaran, langsung praktik, dan langsung diterapkan dalam PJJ.

2. Koneksi Internet yang Lambat dan Spesifikasi Gawai yang “Seadanya”

Masih bersandar dari Jurnal Elementary School tadi, ternyata sampel guru yang diteliti mayoritas bertempat tinggal di daerah dataran tinggi. Alhasil, hambatan belajar online yang juga paling terasa adalah dari sisi sinyal.

Nyaris 40% responden mengeluhkan sukarnya akses jaringan internet. Kesukaran ini tampaknya seirama dengan tingginya persentasi penggunaan aplikasi Whatsapp saat belajar di rumah.

Terang saja, penggunaan WA sendiri lebih ringan bila dibandingkan dengan Zoom maupun Google Meet.

Terkadang inilah fenomena miris yang menjadikan kegiatan pelatihan, webinar, hingga training guru seakan-akan tak berguna.

Bagaimana mau berguna jika guru sendiri yang tadinya sudah lulus pelatihan digital, tapi ilmunya tidak bisa diterapkan. Bukannya guru yang tidak mau, tapi keadaan yang tidak memungkinkan.

Belum lagi, cukup banyak pula para guru yang hanya memiliki gadget dengan spesifikasi seadanya. Memori HP sedikit. Tidak bisa menginstal banyak aplikasi.

Solusi alias cara mengatasinya?

Sinyal internet merupakan masalah yang cukup kompleks. Solusinya bergantung kepada kebijakan para pemangku kepentingan dan perjuangannya juga perlu lintas kementerian.

Alhasil, kolaborasi Kemendikbudristek dengan Kominfo perlu dijalin lebih erat dan lebih serius dalam mengurusi sinyal internet

3. Guru Cenderung Kelabakan dalam Menyusun dan Mengelola Materi Pembelajaran Daring

Lho, kan sudah ada panduan Kurikulum 2013?

Lho, kan juga sudah tersedia Kurikulum Darurat yang diracik dalam Kondisi Khusus (Pandemi)?

Benar. Tapi susunan itu semuanya hanyalah teori yang belum tentu bisa diterapkan dengan apik ketika berjumpa dengan fenomena di lapangan.

Selama pembelajaran tatap muka, biasanya opsi mastery learning alias belajar tuntas selalu diterapkan. Terkadang, banyak pula guru yang berambisi untuk menuntaskan kurikulum.

Satu tahun pelajaran, ada 10-14 bab materi ajar, Bro! Banyak. Dan, hambatan yang muncul saat belajar online dari rumah adalah; guru menjadi kesulitan dalam menyusun dan mengolah materi.

Pertemuan daring lebih singkat, sedangkan materinya banyak. Alhasil, untuk mengatasi kendala yang satu ini guru perlu mengaitkan materi ajar, menautkan hubungan dan esensi, serta tidak perlu mengejar ketuntasan kurikulum.

Jika tetap berpatok pada ketuntasan kurikulum? Bisa gawat. Para siswa di rumah bakal menangis tersedu-sedu karena PR yang menggunung.

4. Kekurangan Belajar di Rumah, Guru Tidak Dapat Memenuhi Prinsip Penilaian Pembelajaran

Diterangkan oleh Anderson bahwa penilaian pembelajaran yang lengkap itu didasarkan atas 3 prinsip yang meliputi kebermaknaan, transparansi, dan keadilan.

Nah, ketika pembelajaran daring berlangsung, kelengkapan proses penilaian ini belum bisa tercapai karena kurangnya jalinan psikologis dan pendekatan individual antara guru dan siswa.

Jika pembelajaran online hanya berlangsung dengan cara memindahkan tugas dari buku siswa menggunakan media digital, kebermaknaan belajar akan sulit didapat.

Jika pembelajaran online hanya berlangsung satu arah, maka transparansi penilaian juga sukar direngkuh.

Dan, jika pembelajaran daring hanya berlangsung di dunia maya tanpa ada pertemuan kelas nyata, maka akan sulit memberikan nilai secara adil kepada tiap-tiap siswa.

O ya, jangan-jangan ada pula sebagian siswa yang tidak mendapat kesempatan belajar yang sama saat belajar online di rumah? Tidak adil juga kan namanya.

Juga ketika semua siswa mendapat nilai tinggi saat latihan atau uji kompetensi. Guru malah bingung bahwa ini nilai asli atau nilai dari Mbah Google?

Menghadapi fenomena semacam ini, Guru Penyemangat menghadirkan beberapa solusi alias cara mengatasi hambatan guru dalam proses penilaian belajar daring.

Jika ingin menggelar pembelajaran yang adil, maka sandarkan penggunaan media mengajar dengan kebutuhan dan kesanggupan siswa.

Sedangkan jikalau guru ingin mendapat nilai yang transparan alias benar-benar menunjukkan kompetensi siswa, maka hadirkanlah tugas yang mengajak siswa menganalisis, berpikir kritis, dan sintesis.

5. Kurangnya Pengawasan Guru dan Orang Tua Selama Pembelajaran Daring

Susah. Sedangkan ketika pembelajaran tatap muka saja tidak semua siswa bisa diawasi dengan cermat, apalagi belajar online di rumah.

Ketika orang tua siswa mau mendampingi anaknya belajar kemudian merupakan sosok wali murid yang “teredukasi”, maka kolaborasi pendampingan antara guru dan orang tua bisa dikatakan mantap dan berhasil.

Tapi jikalau sebaliknya?

Ketika orang tua belum teredukasi dan memahami betapa pentingnya pendampingan belajar selama pandemi, maka ketika itu pula guru seakan-akan berjuang sendiri.

Sedangkan siswa bukanlah sosok manusia sempurna yang bisa dengan entengnya belajar secara mandiri. Mereka belum siap, bahkan sering pula orang tuanya yang mengerjakan tugas. Hemm

Lebih dari itu, fenomena kurangnya pengawasan dan pendampingan ini Guru Penyemangat rasakan betul ketika mengajar di SD yang cukup terpencil.

Di sini, tingkat penduduknya memang tidak padat, tapi keinginan siswa untuk bersekolah juga tidak terlalu tinggi.

Sebagian orang tua yang menyuruh anaknya sekolah di sini terkesan menyerahkan seutuhnya tanggung jawab belajar anak kepada sekolah.

Bukan tanpa alasan, karena memang tidak semua orang tua punya track record pendidikan yang tinggi. Mereka malah tidak sempat mendampingi karena harus bekerja menjemput rupiah.

Solusi terbaik?

Pendek saja. Laksanakan Pembelajaran Tatap Muka dengan menerapkan perilaku disiplin menaati protokol kesehatan. Dari sana, siswa akan mendapatkan kesempatan belajar yang sama.

5 Kendala Utama Siswa Saat Belajar Online di Rumah Selama Pandemi

Hambatan Siswa Saat Belajar Online di Rumah
Kendala Utama Siswa Saat Belajar Online di Rumah. Dok. Gurupenyemangat.com

Cukup panjang ya ulasan tentang kendala guru saat mengajar online? Tiada mengapa, ya. Sekarang mari kita berbicara inten tentang kendala yang dialami para siswa saat belajar online.

Ada 5 kendala utama yang menghambat siswa untuk menggapai kesuksesan belajar daring. Hambatan ini bisa kita cermati dari penelitian yang ditulis oleh Asrul selaku Dosen FKIP UM Kendari. Mari kita kupas lebih dalam.

1. Siswa Tidak Memiliki Handphone

Kebutuhan utama belajar daring adalah sinyal dan kuota internet. Tapi, jikalau siswanya tidak punya gadget, maka selesai sudah. Belajar daring jadi batal.

Memangnya ada berapa banyak siswa yang tidak memiliki handphone selama BDR di tengah pandemi corona?

Waduh. Jangan ditanya. Guru Penyemangat yakin bahwa ada banyak siswa yang belum punya ponsel pintar.

Sebagai sampel, kita tilik saja daerah Jakarta. Lho, itu kan kota metropolitan? Benar. Sekarang begini; jika daerah sekelas Jakarta saja masih banyak siswanya yang belum punya HP, apalagi di kota-kota yang sedang merangkak untuk berkembang, kan?

Datanya sebagaimana yang dikutip dari Kompas, sepanjang bulan September-Oktober 2020 pihak Dikbud Provinsi DKI Jakarta merilis data bahwa ada sebanyak 171.998 siswa yang belum punya gawai.

Gurunya bagaimana? Ternyata juga ada sebanyak 12.649 pendidik yang tidak memiliki gadget. Padahal mereka harus membuat bahan ajar PJJ. 

Hemm. Miris, bukan. Apalagi di sekolah desa, sekolah dusun dan sekolah 3T. Dijamin lebih parah.

Solusi alias cara mengatasi kendala utama belajar online ini bagaimana? Gampang. Pertama, pemerintah yang berikan mereka semua gadget. Dan kedua, jangan paksa siswa untuk belajar daring.

Terapkan saja kegiatan belajar ala guru kunjung atau PTM dengan kondisi terbatas.

2. Siswa Memiliki Handphone dengan Spesifikasi “Seadanya”

Nah, hambatan belajar di rumah yang satu ini juga sebelas dua belas dengan poin pertama. Tidak ada HP atau ada HP dengan spesifikasi “seadanya” juga sama-sama bermasalah.

Jika pembelajaran daring menerapkan metode belajar menggunakan aplikasi yang memerlukan ruang penyimpanan yang besar, maka siswa yang punya HP dengan spesifikasi “kentang” tidak bakal mendapat kesempatan belajar.

Belum lagi jika di dalam sebuah keluarga ada lebih dari satu anak dan anak tersebut harus bergantian menggunakan satu gadget.

Kisah ini lebih pelik lagi. Makin susahlah mereka untuk mendapatkan layanan belajar yang maksimal.

Cara mengentaskan masalah yang seperti ini, bagaimana? Seyogyanya kebijaksanaan dan kepekaan guru di sini sangat penting.

Guru tidak perlu memaksakan media pembelajaran online yang siswa sendiri tidak mampu untuk menggunakannya.

Dengan demikian, gunakanlah media pembelajaran “terbaik” yang bisa menjadikan siswa mendapatkan kesempatan belajar yang sama.

3. Siswa Memiliki Handphone Namun Tidak Punya Kuota

Ketika belajar online di rumah, kebutuhan kuota internet rasa-rasanya hampir seimbang dengan sembako.

Nyaris tiap hari siswa butuh kuota internet, dan ketika pembelajaran online berlangsung, banyak pula dari mereka yang mengaku kehabisan kuota. Fenomena ini sering menjadi keluh kesah siswa.

Barangkali, anggapan pertama yang berlarian di pikiran guru adalah:

“Wah, siswa A kebanyakan nonton YouTube!”

“Wah, siswa B keseringan buka Instagram!”

“Wah, siswa C kerajinan buka TikTok sehinga kuota gratis dari pemerintah cepat habis!”

Okelah, anggapan di atas sebenarnya sah-sah saja. Tapi perlu diingat bahwa, tidak semua siswa berperilaku demikian.

Sesekali, guru pula perlu berkaca. Maksudnya begini; dalam satu bulan mengajar daring, aplikasi pembelajaran apa saja yang guru gunakan.

Apakah selama ini hanya berfokus pada penggunaan Google Meet, Zoom, YouTube serta platform video conference lainnya?

Jika iya, maka wajar saja bila kemudian kita temukan ada sebagian siswa yang tidak punya kuota internet.

Lagi-lagi, saran terbaik untuk mengatasi hal ini adalah kebijaksanaan guru dalam memilih dan memilah metode pembelajaran.

Jangan melulu gunakan aplikasi digital yang bisa mengeruk kuota internet siswa dalam waktu singkat. Soalnya, tidak semua siswa berasal dari keluarga yang mampu.

4. Jaringan Internet “Cenat-Cenut”

Pernah dengar berita siswa yang naik bukit demi cari sinyal internet? Pernah dengar berita bahwa ada siswa yang panjat pohon demi bisa belajar online?

Pasti kalian pernah, kan. Dan, berita tersebut semestinya membuat guru dan pemerintah malu.

Guru perlu malu karena gara-gara tingkahnya yang kurang bijaksana, siswa harus menempuh upaya yang sangat berbahaya hanya untuk mendapat layanan pendidikan.

Pemerintah? Harus lebih malu lagi. Percuma terus-terusan menggaungkan digitalisasi pendidikan jika urusan sinyal internet saja tidak menjadi pembahasan utam di meja rapat.

Terus terang saja, saya merinding menulis artikel ini. Bagaimana mungkin fenomena pelik tersebut diberitakan dengan seentengnya tanpa ada tindakan yang “wow” dari pemerintah.

Tapi ya, jika tidak diberitakan, mungkin Mas Nadiem tidak akan pernah tahu betapa susahnya siswa di daerah susah sinyal dalam menempuh kegiatan belajar online.

Adakah solusi?

Lagi-lagi, untuk kasus seperti ini, tolonglah agar guru tidak memaksakan kegiatan belajar daring jikalau sinyal internetnya tidak memungkinkan.

Kasihan siswa, berikanlah mereka layanan belajar melalui sistem guru kunjung, PTM terbatas, atau kelompok belajar. Hal itu lebih aman dan juga lebih efektif.

Kepada pemerintah? Ya jangan menonton berita dan sibuk mengoceh tentang digitalisasi pendidikan dan merdeka belajar saja dong. Take Action-nya mana?

5. Aliran Listrik Sering Padam

Tampaknya fenomena aliran listrik yang sering padam ini bukanlah kendala utama kali, ya? Iya bagi daerah perkotaan. 

Tapi bagi daerah-daerah terpencil?

Jangan salah dan jangan pula tutup mata. Ada banyak daerah di Bumi Pertiwi yang masih sering mengalami listrik padam, dan ketika listrik padam sinyal internet juga ikut-ikutan lenyap.

Dengan demikian, bisa dibayangkan bahwa nilai kegunaan dari gadget dengan kuota internet banyak malah jadi sia-sia ketika listrik padam.

Untuk poin kendala kelima ini, rasanya pihak Pemda yang perlu lebih perhatian dengan melakukan koordinasi intensif bersama sekolah, desa, dan dinas pendidikan setempat.

***

Nah, selain dari ulasan di atas, sebenarnya masih ada banyak lagi kekurangan belajar online yang selama ini sudah/sedang kita rasakan bersama.

Sebut saja seperti tugas siswa yang menumpuk, kurangnya sosialisasi, hingga terganggunya tumbuh kembang siswa dari aspek psikososial.

Maka dari itulah, bukanlah suatu pendapat yang salah jikalau ada beberapa orang yang beranggapan bahwa Pembelajaran Jarak Jauh sebenarnya telah menurunkan kualitas pendidikan karakter bagi generasi muda. Untuk ulasan detailnya, silakan baca di:

👉PJJ Menurunkan Kualitas Pendidikan Karakter Para Generasi Muda, Benarkah?

Setelah mencermati berbagai kendala, hambatan, hingga masalah belajar online di rumah, sebenarnya apa saja hal yang perlu dihadirkan oleh pemerintah untuk menyukseskannya?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita bisa melirik diagram kebutuhan yang telah disusun oleh Kemendikbud saat melakukan Survei BDR Tahun Pelajaran 2020/2021.

Survei BDR Tahun Pelajaran 2020 2021
Hal yang Dibutuhkan untuk Menyukseskan Pembelajaran Selama Pandemi. Dok. Kemdikbud.go.id

Bercermin dari diagram di atas, hal yang paling dibutuhkan oleh siswa SD, SMP, SMA dan SMK untuk belajar online adalah pulsa, paket data dan gagdet.

Sedangkan untuk kebutuhan pelajar di daerah tertinggal, ternyata bukan akses internet yang menjadi prioritas melainkan ketersediaan buku ajar.

Sebagai penutup, harapan kita bersama adalah; beragam gagasan, data, fakta, hingga fenomena di atas jangan hanya dibaca atau didengar saja oleh pemerintah pusat maupun daerah.

Jujur saja, sebagus apa pun kesimpulan dan seminim apa pun margin error dari hasil survei, kesemua itu tiada akan berguna jikalau tidak ada tindak lanjut dan aksi nyata.

Salam.

Lanjut Baca: Begini Kelebihan Komunikasi Daring Bila Dibandingkan dengan Komunikasi Konvensional

Guru Penyemangat
Guru Penyemangat Guru Profesional, Guru Penggerak, Blogger, Public Speaker, Motivator & Juragan Emas.

Posting Komentar untuk "Ragam Kekurangan dan Kendala Belajar Online di Rumah Selama Pandemi [Data dan Fakta di Lapangan]"