Widget HTML #1

Puisi Tentang Sendu Malam Jelang Musim Semi

Sebagaimana seuntai rindu, sendu sesekali ingin menyapa agar membuatmu tersenyum di sebalik masa tunggu.

Jelang musim semi, barangkali harapan dan impianku bakal bertaburan di sana. 

Laksana daun-daun yang jatuh syahdan berguguran, engkau mungkin lelah dengan penantian.

Puisi Tentang Sendu Malam Jelang Musim Semi
Tentang Sendu Malam Jelang Musim Semi. Gambar oleh Giorgi Modzmana dari Pixabay

Sabar. Mungkin rintik-rintik hatimu tidak akan berlabu menjadi hujan. Aku yakin. Makanya aku berani menghadirkan puisi tentang sendu malam jelang musim semi.

Puisi: Sendu dan Rindu

Ia adalah khayalan yang nyata. Lalu berkembang hingga disebutlah ia nestapa. Bersama do'a, kuucapkan untaian kata tentang dia.

Rupa tak pernah kujumpa. Suara tak tahu bagaimana. Kenanganlah yang bisa menceritakan semua. Tapi nyatanya, itu tak berarti apa-apa.

Teruntuk angin, tolong sampaikan padanya!

Tak peduli seberapa panjang jarak agar doa yang kupanjatkan sampai. Setidaknya, akan kutunggu kabar dari angin tentang jawabnya.

Hingga rindu ini kan terobati.

Mungkin nanti, tapi tak tahu pasti. 

Beritahukan kepada ku kabar darinya, walau “ baik-baik saja “. Benar kata mereka, bahwa hadirnya sangat berharga, jika ia telah pergi untuk selamanya.

Izinkan aku untuk terus mendoakan, mendoakan sesuatu yang berkesan. Entah terbalaskan. Setidaknya, itu tersampaikan. 

Ini tentang sendu dan rindu.

Rinduku, padamu.

Karya: Aulia AN


Puisi: Rintik Hati

Ah, rintik ini. Saat tenggelam di pikiranku. Rintik hujan mengguyur lamunanku. Hujan yang begitu dingin, menggigil di dalam hening.

Hujan yang tiada hentinya menerpa. Bau tanah yang bersentuh air itu sangat khas dan menyerbak. Tak mau itu! Kuusap kasar air mata yang tercampur air Tuhan.

"Aku punya banyak kenangan bahagia!" Relungku memberontak.

Hujan yang mengalir akan terganti dengan air mata yang hangat. Tak masalah. Itu hanyalah hujan deras yang lewat dan akan pergi.

Akan ada tawa lagi bukan? Akan ada kehangatan kembali. Hahaha.

Apa duniaku berhenti sekarang?

Apa air Tuhan akan selalu menjadi teman?

Apa sedihnya langit akan selalu menatap?

Apa redupnya awan yang akan selalu menjadi saksi?

Dan lagi, batinku hanya bisa menjadi pendengar rahasia. Relungku hanya bisa berteriak dalam sepi. Jiwaku hanya bisa menjadi kaku di terpa angin. Dan ragaku hanya bisa menjadi pendamping teman gundah.

Pada akhirnya, semua hanya menjadi harapan. Karena kenyataannya, yang setia hanyalah sang hujan. Yang peduli hanyalah sang awan.

Yang mengerti hanyalah langit sepi. Dan selamanya rintihan ini hanya menjadi penyemangat hati tatkala sendiri.

Karya:  Khairia Nurlita.


Puisi: Bulan Merah

Saat jeritan malam telah tiba
Malam yang begitu sunyi berubah seketika
Berubah menjadi teriakan dan tangisan tak berdosa

Merahnya malam itu
Hingga padu pada bulan purnama
Bulan merah memanggilku dengan jeritan sedunya
Terpanggillah diriku untuk bunga cintaku

Saatku berpijak, melangkah menelusuri kota
Saat diriku pulang, bunga cintaku telah layu
Dirimu yang menantikan cintaku kembali
Memeluk diriku erat, meski kau tlah jadi mawar merah

Kubawa kau pergi kembali
Tak peduli lagi, diriku telah membendung lautan
Jeritanku pun tak tersampaikan
Hingga malam tak berujung, sunyi kembali

Kembali menelusuri kota bersama bunga cintaku
Segalanya terhenti di tengah perjalanan
Tepat di tengah, sejenak timah panas merasuki, waktu terasa lambat
Menjadikan sepasang bunga mawar berdekap mesra

Hingga akhir, ku beri cinta kasihku pada bunga tercintaku
Hingga akhir kau menunggu, hanya untuk diriku seorang

Hanya untuk diriku seorang
Hanya untuk dirimu seorang
Sayangku yang terkasih
Kasihku yang tercinta
Cintaku kan sampai akhirnya tiba

Wahai bulan merah, apakah ini benar adanya?

Karya: Dinda Nurfatihah Jannah


Puisi: Musim Semi

Musim semi. Katakan bahwa saat ini aku merindukanmu. Waktu begitu kejam. Semestinya engkau tak begitu.

Akankah bisa dipertemukan?

Jika aku adalah salju di udara, maka kau harus menunggu aku turun dan memisahkan. Hingga akhirnya musim semi menjemput untuk mempertemukan.

Salju turun di musim dingin, dan berangsur hilang sedikit demi sedikit. Benci? Aku sangat benci saat ini. Kesal pada waktu yang lambat berjalan. Kecewa pada musim yang lama memudar.

Hei, kapan ini berakhir!

Melewati musim yang sangat dingin. Menunggu hingga sakura bermekaran. Menanti hingga hari berganti menjadi semi.

Banyak malam yang kulewati. Diiringi mimpi tentang kebersamaan. Berselimutkan rindu yang tak terhapuskan. Terbangun menatap sendu langit.

Akhirnya, aku bertanya kepada batin yang menyendiri.

"Akankah kerinduan ini berakhir ketika musim semi menerpa salju yang berserakan?"

Karya: Khairia Nurlita.

Lanjut Baca: Segenap Puisi Tentang Harapan dan Impian untuk Sukses Bersama Swastamita

Guru Penyemangat
Guru Penyemangat Guru Profesional, Guru Penggerak, Blogger, Public Speaker, Motivator & Juragan Emas.

Posting Komentar untuk "Puisi Tentang Sendu Malam Jelang Musim Semi"