Widget HTML #1

Puisi untuk Senja, Awal Tahun, dan Fajar

Apakah senja selalu hadir jelang penutup tahun? Belum tentu. 

Sama halnya dengan fajar yang terkadang tak selalu cerah pada awal tahun. Irama sepi memang tak selalu bermelodi. Dawai-dawai yang kemarin masih sendu, hari ini mungkin masih betah dengan kesendirian.

Entah siapa yang bakal meneduhkan. Entah siapa pula yang bakal menenggelamkan rintik hujan. Ah, semoga fajar baik-baik saja. Syahdan, izinkan aku saji tiga puisi tentang senja, awal tahun, dan fajar.

Senja Awal Tahun Fajar
Senja, Awal Tahun, dan Fajar. Dok. Gurupenyemangat.com

Selamat Tinggal, Senja

Jelang penutup purnama, aku ingin berpamitan kepada senja. Telah lama kita mengarungi samudra sepi. Engkau memintaku duduk di singsing fajar, sedangkan aku memintamu datang di kala senja. Biarpun kedatanganmu tetap entah.

Dua belas purnama, yang hadir di pelupuk mataku ketika senja adalah segenap rintik sendu. Segerombol awan tipis mungkin meneduhkan, tapi tidak seteduh kedatanganmu. Lagi, biarpun kedatanganmu tetap entah.

Sudah sejauh ini kakiku melangkah. Tidak teringat lagi seberapa dalam pasir-pasir asmara yang kutenggelamkan bersama rintik hujan. Biarlah. Aku tak peduli.

“Selamat tinggal, senja!”

Izinkan aku berpamitan kepada segenap kelam yang berdiri di belakang bayangku. Maaf, aku harus meninggalkanku. Karena nyatanya senja tidak akan datang. Sudah. Aku sudah bahagia sedari fajar.

Waktu dhuha selalu hadir dan melegakan. Terang atau mendung suasananya tetap hangat.

Tidak sesejuk senja?

Ah. Engkau membela sepi, sedangkan sepi sudah kutampung sendiri. Sudah penuh. Bahkan mungkin sudah rimpuh.

Senjamu sejuk hanya dalam temaram, itu fatamorgana. Untuk apa aku menanti senja yang penuh dengan seasing entah. Selamat tinggal, senja!

***

Aku Membenci Senja

Benar. Aku membenci senja. Barangkali pagi terasa indah ketika seberkas aurora memancar di bola matamu. Tapi matamu segera terlelap.

Gemercik air mata membuatku harus berucap selamat tinggal kepada senja. Indah di sekujur arunika. Padam sesaat setelah tergelincir bagaskara.

Aku ingin lama berdiam mendampingi senja. Ajunku hanya meninggalkan sepi dalam memori. Aroma senja itu wangi. Wangi setulus tatapmu dari jauh.

Aku membenci senja karena tak mau mendampingiku lama. Padahal senja akan lebih indah ketika ia berdampingan dengan bianglala.

Aroma semerbak cinta kasih dengan sejumput sayang warna-warni, itu impianku. Juga tidak akan ada sendiri di sana. Ramai bola mataku bergegap gempita menatap angan.

Aku membenci senja sebagaimana senja meninggalkanku di tengah keramaian. Senja pergi, lalu sepi mendampingku. Padahal aku ingin bersanding denganmu.

***

Senja Tak Setia

Janji kosong. Bola matamu hitam tak seindah putih. Air matamu kering tak sedingin basah. Pipimu berbedak tak selembut sutra.

Hanya indah dari jauh, ialah ketika rasa bernaung di bawah terik pertemuan. Bersama semilir sayang di awal jumpa, ternyata setelahnya hampa.

Senja tak setia. Bukan karena aku ingin meninggalkannya. Juga bukan karena senja yang lebih dulu meninggalkanku.

Ada irama sesal yang dipetik oleh hujan. Dawainya memesona ketika bersanding dengan rintik. Dari kejauhan tampak indah, seindah sebagaimana aku mencintai senja.

Tidak. Senja tak setia sebagaimana ranting yang tak mau terlepas dari batang pohon. Engkau mudah patah. Bola matamu liar. Dan aku membencimu.

Senja tak setia. Terbenamlah sesukamu lalu jangan biarkan aku merindu. Cukup sudah petikan elegi hadir ketika engkau lenyap.

Fajarku tak menantimu. Fajarmu kosong. Aku ingin bercerita lain. Karena aku membenci senja.

***

Akhir Tahun

Tahun yang murung. Sang bagaskara yang merona jadi redup. Tawa-tawa yang kemarin ramai sudah berganti dengan sepi.

Hanya angin yang ramai lalu-lalang, juga mereka yang hendak berlelah. Enggan berpasrah, walau sudah banyak almanak merah.

Akhir tahun yang murung. Jelang purnama ketiga, sejumput elegi datang lalu singgah. Sampai sekarang ia tak kunjung pergi. Entah hal apa yang buat dia betah. Padahal seisi negeri sudah masygul, juga lunglai.

Akhir tahun yang murung. Jejak-jejak bulan sabit meninggalkan lambang nestapa. Banyak yang kehilangan payung lalu berbasah. Banyak pula yang kehilangan cahaya lalu gundah.

Akhir tahun yang rapuh. Saban hari segenap harapan terkikis oleh ratap dan keluh. Terlalu lama berkurung di pondok malah jadi renta. Terlalu lama keluar pondok malah jadi durjana.

Padahal segenap jiwa sudah rindu menebar tawa. Segenap raga ingin menjemput ramai, juga menyapa alam.

“Hai, tahun depan! Bagaimana kabarmu!”

Seakan-akan kabar itu pasti baik, padahal semu. Harapan yang digenggam adalah baik, tapi tak tahu apakah akhir tahun punya hati.

Alhasil, biarlah akhir tahun murung. Barangkali akan ada kabar baik setelahnya. Segenggam harap berbunga, berbuah, lalu bertunas kegembiraan.

***

Selamat Datang, Fajar

Sebentar lagi fajar akan tiba. Mungkin segera ada jawaban indah atas penantian. Penantian yang begitu lama, bersemayam dalam gundah, juga menghitung berbiji-biji temaram dari sebalik pintu.

Kelam datang, menunggu seberkas senja. Senja datang, ternyata hanya fatamorgana. Membosankan.

Jalinan erat tergandengkan oleh jiwa sepi dalam kekosongan. Segan bercermin, karena pada akhirnya tidak akan tampak senyum merona. Kusut.

Rona wajah bak mengernyut dibasuh oleh semerbak salju. Dingin. Sedingin penantian dalam ruang tunggu.

Tak sabar rasanya ingin mengucapkan selamat datang kepada fajar. Masih menunggu detik demi detik, tapi tidak lebih lama daripada menetas rindu.

Akhir tahun menuju awal tahun. Barangkali segelas air tidak akan cukup untuk mengusir betapa bosannya penantian.

Tapi, semoga umurku cukup sampai fajar.

Ditulis oleh Ozy V. Alandika

Baca juga: Pantun Cinta untuk Mama

Guru Penyemangat
Guru Penyemangat Guru Profesional, Guru Penggerak, Blogger, Public Speaker, Motivator & Juragan Emas.

Posting Komentar untuk "Puisi untuk Senja, Awal Tahun, dan Fajar"