Widget HTML #1

Cerpen Kemerdekaan: Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat

Hai Sobat Guru Penyemangat, sepertinya bangsa ini masih harus terus berjuang untuk segera pulih dan bangkit ya?

Setelah cukup ketar-ketir dihentak oleh Covid-19, sekarang pun Bumi Pertiwi masih harus berjibaku dengan inflasi.

Rasa-rasanya semakin bertambah hari tantangan negeri semakin kompleks dan berat. Meski begitu, kita semua harus tetap optimis dan pantang berpatah arang.

Berikut ada contoh cerpen bertema Kemerdekaan RI inspiratif tentang semangat untuk pulih lebih cepat dan bangkit lebih kuat.

Mari disimak ya:

Cerpen: Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat

Oleh: Sri Rohmatiah Djalil

Cerpen Kemerdekaan Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat
Cerpen Kemerdekaan: Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat. Dok. GuruPenyemangat.com


Para penghuni bumi sepertinya masih berdiam diri di tempat ternyaman, karena awal Agustus kali ini puncaknya musim kemarau.

Suhu udara di pagi hari teramat dingin hingga menembus tulang belulang. Apalagi di Bandung, suhu udara setiap harinya amat dingin.

Aku pun sejak selesai melaksanakan salat Subuh, selimut masih membalut seluruh tubuh. Entah mengapa, pagi ini aku malas gerak, juga tidak bisa memejamkan mata kembali. Aku hanya memandang layar ponsel yang sesekali gelap karena tak tersentuh. 

“Bagaimana aku bisa memberi kabar buruk pada orang tua yang jauh di sana?” batinku.

“Jangan, nanti ibumu sedih,” kata sisi lain dari sudut hati.

“Telepon ibumu, katakan yang sebenarnya,” seru kata hati yang lain.

Kata hati terus beradu berusaha memengaruhi, tetapi aku tidak dapat mengambil keputusan untuk saat ini.

Sayup-sayup terdengar suara orang mengucapkan salam kepada pemilik . Itu tandanya penghuni kos satu persatu mulai beraktivitas, berjuang mencari ilmu.

“Assalamualaikum, saya berangkat, Bu!” itulah yang sering aku katakan setiap pagi pada ibu kos ketika hendak berangkat bimbingan belajar.

Tidak untuk pagi ini. 

Samar-samar terdengar suara jalan kaki mendekat pintu kamar, dilanjutkan dengan suaranya yang begitu khas. Si Jawa medok, begitulah aku memangggilnya, “Si Jawa Medok” walaupun dia bernama Bagas.

“Bangun pejuang PTN, Negeri sedang tidak baik-baik saja, kau pemuda masih saja bersembunyi di balik selimut,” teriaknya.

Ah, masa bodoh, aku pun tidak sedang baik-baik saja, adakah yang peduli. Aku kecewa karena perjuanganku tidak sesuai dengan hasilnya.

Aku semakin menenggelamkan kepala di balik bantal, karena tidak ingin lagi mendengar panggilan teman satu perjuangan itu, “Pejuang perguruan tinggi negeri.”

“Dia sih enak sudah masuk di PTN pilihan satu,” batinku.

Aku? Oh tidak, pilihan kedua itu tidak enak ternyata. Bagaimana tanggapan teman-temanku nanti? Si kutu buku hanya dapat di pilihan kedua, gak becus ngisi soal ujian.

Lalu bagaimana pula dengan orang tuaku yang sudah mengeluarkan begitu banyak biaya demi pilihan kesatu. 

Aku terus disibukkan dengan pikiran yang belum jelas.

“Bro … ayo keluar, kita berjuang untuk Republik ini, Negeri butuh kita, si tangguh,” teriak Bagas lagi.

Apa lagi yang dikatakan laki-laki itu di balik pintu. Apakah aku harus seperti Chaerul Saleh, pemuda pejuang kemerdekaan yang menculik pemimpin negeri demi ikrar? Bukan menculik, tetapi mengamankan sang Presiden agar Proklamasi segera diikrarkan. Negeri ini sudah merdeka, aman, sejahtera, apa yang harus aku lakukan? 

Terdengar suara getar ponsel di sampingku, panggilan dari ibu. Aku hanya memandanginya, tidak ada keberanian mengangkat.

Sementara suara Bagas sudah menghilang, kesunyian pun semakin merayap. Perlahan, aku mendekati daun jendela yang masih tertutup rapat.

Kubuka pelan dan sinar matahari pun langsung menerobos ke dalam kamar. Ternyata hari menjelang siang. Pantas saja perutku sudah mulai menggeliat.

Aku mematung di tepi jendela dan membiarkan seluruh wajah terpapar sinar matahari. Konon kata pakar kesehatan, sinar matahari matahari pukul 08.00 sampai 10.00 bagus untuk kesehatan.

Kembali ponsel bergetar, aku masih enggan mengangkatnya, mati sejenak, tetapi kembali berbunyi.

“Ibu, please jangan telepon dulu, aku belum siap berbicara denganmu, Bu,” batinku seraya mengambil ponsel yang masih di atas tempat tidur.

Lega rasanya, ternyata yang menghubungiku bukan ibu, tetapi Bagas. “Maafkan, Bu, bukan aku tidak merindukanmu,” batinku.

“Ya ampyun, lama sekali kamu tidak membuka pintu, aku kira kamu mimpi diajak bidadari dan tak ingin kembali ke kampungmu,” teriak Bagas setelah ponsel aku buka.

“Cepat buka pintunya, aku sampai ketiduran di balik daun pintu, apa kata Facebook jika ada orang yang viralkan ketidaksengajaanku ini,” lanjut Bagas.

Aih, ternyata si Jawa masih menungguku di balik pintu. Dengan malas akhirnya aku buka pintu kayu yang bercat putih itu.

Bagas si Jawa berkulit sawo matang nyuruduk saja masuk ke dalam kamar dan langsung memasak air panas dengan electric kettle. Setelah beberapa detik, aroma kopi panas menyebar ke seluruh kamar kos yang berukuran 16 meter persegi. 

“Aku tahu apa yang kau pikirkan sehingga mengurung diri di kamar tidak seperti biasanya.” Bagas memulai pembicaraan.

Aku membisu dan membiarkan Bagas untuk berbicara, bagiku aroma kopi lebih menarik daripada ocehan laki-laki necis itu.

Iya dia terlalu necis untuk jadi calon dokter, Bagas lebih pantas jadi model kemeja, jas, sepatu. Namun, pilihan ada di tangannya. 

“Tak kurang kita berusaha, tetapi yang menentukan Allah Swt., kita punya cita-cita sama yakni menuntut ilmu, bukan mencari gelar, jadi di mana pun kita sekolah, itulah pilihan terbaik yang telah tertulis di langit,” ujarnya.

“Ayolah, di bulan kemerdekaan ini, kita bangkit, lebih optimis, bersinergi membangun Negeri dengan cara kita agar kondisi Negeri pulih kembali,” ujarnya lagi.

“Ingat sejarah membuktikan kalau kaum tua itu tidak egois, mereka mau musyawarah dengan kaum muda, makanya ada Proklamasi Kemerdekaan. Begitu juga dengan orang tuamu, Sobat. Aku yakin dia tidak egois, dia tahu betul usahamu untuk maju.”

Kembali aku diam meresapi apa kata Bagas. 

“Kau ingat peristiwa Rengasdengklok? di mana para pemuda mengamankan Soekarno dan Mohammad Hatta untuk diajak berunding. Lakukan pada orang tuamu!” tegas Bagas.

“Apa? kau suruh aku menculik ayah dan ibu, untuk apa?” bentakku.

“Untuk makan malam, Sobat. Kau pikir aku penjahat menyuruhmu menculik orang tua sendiri, dasar kamu!” kata Bagas diiringi gelak tawa kami.

“Ojo lali, ajak aku juga makan malam yo, lama tak makan enak nich!” rajuk Bagas.

“Ayo, ikut aku ke kampungku di Madura sana,” ajakku sambil menyambar handuk cokelat.

“Khairul, ojo lali, pulih lebih cepat, bangkit lebih kuat,” teriak Bagas padaku sambil mengepalkan tangan.

Aku pun membalasanya penuh semangat.

***

Lanjut Baca: Kumpulan Cerita Pendek Bertema Kemerdekaan RI yang Inspiratif dan Menyentuh Hati

Guru Penyemangat
Guru Penyemangat Guru Profesional, Guru Penggerak, Blogger, Public Speaker, Motivator & Juragan Emas.

Posting Komentar untuk "Cerpen Kemerdekaan: Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat"