Widget HTML #1

Cerpen: Parjo Salah Memaknai Kebangkitan Nasional

Cerpen: Parjo Salah Memaknai Kebangkitan Nasional

Oleh Sri Rohmatiah Djalil

Cerpen Tentang Hari Kebangkitan Nasional
Cerpen Tentang Hari Kebangkitan Nasional. Illustration by Dekombat.

Tepat pukul 07.00 WIB bel berbunyi tanda seluruh siswa masuk kelas. Parjo menjatuhkan sepeda pancal dengan asal di tempat parkir sekolah yang telah tersedia.

“Sepedamu parkir dengan benar!” bentak Satpam sambil menutup gerbang sekolah.

“Mana bisa, Pak, tidak ada jagangnya, biarkan dia tertidur saja, kasihan sejak tadi berjalan terus,” sahut Parjo asal bunyi.

Bagi Pak Satpam asbunnya Parjo tidak asing lagi. Anak ini memang ngeselin, tetapi ngangenin. Datang ke sekolah pun selalu mepet jam masuk. Terkadang gerbang tinggal 10 centimeter tertutup, ban sepeda Parjo asal menyelinap.

Katanya itu bukan keterlambatan, wong bannya saja sudah sampai gerbang sekolah. Pak Satpam hanya bisa mengelus dada sambil berdoa, “Semoga jantungku tetap pada tempatnya.”

Di balik sikapnya yang ngeselin, Parjo bikin kangen semua orang yang ngaku kangen karena sikapnya yang culun. Tahu kan culun itu apa? 

Masih ingat film Si Kabayan? mirip-mirip lah dengan si Kabayan, bisa jadi si Parjo anak buyut dari si Kabayan yang lahir di zaman milenial. 

Walapun Parjo lahir saat emaknya nulis status di Facebook “Mohon doanya, Sahabat medsos, bayi aku mau borojol ke dunia maya yang ramai ini.”

Namun, Parjo tidak pernah bermain ponsel. Cukup emaknya saja yang main di dunia tidak nyata. Sejak itu, akun Facebook emaknya dibanjiri komentar mendoakan bayi yang diberi nama Parjo

Kata abahnya, “Tidak usah kamu mendapat seribu like dari penghuni Facebook, cukup jadi anak saleh nanti juga penduduk bumi yang luas ini akan like!”

Walaupun Parjo culun dan telmi alias telat mikir, dia tetap jadi anak saleh yang disukai teman-temannya.

***

Parjo berlari tanpa memedulikan seruan Pak Satpam. Entahlah bagaimana nasib sepeda kumbang yang tergelatak di parkiran.

Anak-anak kelas 8A sudah duduk manis menunggu guru pengajar Agama Islam hadir. Dengan percaya diri Parjo duduk di sebelah kursi Surti yang masih kosong.

“Parjo! kamu laki-laki, duduk dengan sesama jenismu!” bentak Surti memasang muka sangar.

“Kamu saja yang cari sesama jenis, aku masih normal, tidak suka sama jenis,” seru Parjo tak kalah murka.

“Dasar kamu!” Surti diam karena dari arah pintu tampak guru ganteng masuk dengan tenangnya.

“Biyuh, biyuh, gantengnya, mirip aku,” celetuk Parjo sambil mengelus pipinya yang berwarna sawo matang.

“Katanya kamu masih normal tidak suka sesama jenis, Jo,” sahut Surti.

Parjo tidak dapat membela diri atas celotehan Surti karena guru yang dikatakan ganteng oleh Parjo, tiba-tiba memecah kegaduhan kelas.

“Siapkan alat tulis, hari ini sebagai perkenalan Bapak di kelas, kalian ulangan. Tulis nama dan alamat kalian di balik kertas ulangan ini agar Bapak bisa mengenal kalian lebih dekat!”

“Bapak menyuruh kami menulis alamat juga, mau main ke rumah saya, Pak?” timbal Parjo.

Tanpa menjawab pertanyaan Parjo, Pak Guru ganteng membagikan kertas ulangan ke seluruh siswa. Tepat di samping Parjo, dia pun berbisik keras hingga terdengar oleh Surti dan teman-temannya.

“Kerjakan sesuai perintah, rumahmu belum masuk GPS.”

Parjo bingung dengan bisikan guru barunya itu dan bertanya pada Surti, “GPS itu apa, Surti?”

“Dasar gaptek!” jawab Surti singkat. 

***

Seluruh siswa khusyuk mengerjakan soal yang diberikan Guru baru itu. Parjo gelisah karena dia tidak suka belajar.

Dia rajin membaca jika sebelumnya ada woro-woro ulangan. Parjo masih memakai metode zaman nenek moyangnya yakni belajar SKS atau belajar sistem kebut semalam.

Tangannya selalu berusaha merebut lembar jawaban milik Surti, matanya pun sibuk melihat goresan tangan di kertas itu. Tingkah Parjo membuat temannya risi, tidak nyaman.

“Pak guru, Parjo menganggu saya terus, tolong diamankan, Pak ya!” Surti mengadu ke gurunya yang asyik menulis di meja bagian depan.

Mendengar aduan murid perempuannya, Pak guru yang diketahui bernama Pak Paiman menghampiri Parjo dan Surti.

“Kenapa kamu menganggu teman sebangku? Bisakah mengerjakan soal tanpa minta bantuan?” tanyanya dengan tegas.

Dasar Parjo keturunan Abah dan Emak, selalu ada jawaban pembelaan.

“Izin Pak guru, sepengetahuan saya, kita itu harus saling membantu dan dalam momen Kebangkitan Nasional ini, kita juga harus bersatu menyelesaikan masalah,” jawab Parjo sok tahu.

“Baiklah agar kamu memahami apa makna Kebangkitan Nasional, kerja sama, bersatu. Mulai besok kamu datang lebih awal dari teman-temanmu. Kerja sama dengan saya sebagai guru piket di depan menyambut siswa-siswa. Selain itu, bantu Pak Satpam merapikan sepeda siswa yang tidak beraturan hingga bel masuk berbunyi.” Pak Paiman tidak kalah panjang menjelaskan apa yang harus dilakukan Parjo besok pagi.

“Satu lagi, mulai besok sepeda kamu pasang jagang yang kuat agar tidak lagi tergeletak,” tambah Pak Guru.

Mendengar penjelasan gurunya, Parjo terdiam tak bisa berkutik. Dia masih ingat apa kata abahnya, kalau perintah guru itu jangan dibantah, selama itu mendidik. 

“Di rumah abahmu yang didik, di sekolah yo gurumu, ojo bantah nek takut kualat!” Begitulah pesan sang Abah yang tidak pernah lulus sekolah dasar. 

“Silakan kertas jawaban ulangan dikumpulkan dan untuk tugas rumah, kalian tulis makna dari Kebangkitan Nasional. Kumpulkan besok di meja saya. Ingat perilaku Parjo tadi jangan ditiru!” 

“Parjo, bawa kertas ulangan ke ruang guru, simpan di meja saya!” perintah sang Guru ketus.

Tanpa membantah Parjo segera mengekor guru baru tersebut. Tepat di sampingnya, Parjo terdengar berbisik.

“Abang, kenapa nggak bilang kalau ngajar di kelasku?” tanyanya.

“Ubah perilakumu yang buruk itu, Abang tidak suka, kalau kamu masih bandel, akan aku laporkan ke Abah!” seru Pak Guru sembari berjalan cepat menuju kelas lain.

***

Lanjut Baca: Cerpen Pahlawan, Bukan Sok Pahlawan

Guru Penyemangat
Guru Penyemangat Guru Profesional, Guru Penggerak, Blogger, Public Speaker, Motivator & Juragan Emas.

Posting Komentar untuk "Cerpen: Parjo Salah Memaknai Kebangkitan Nasional"