Widget HTML #1

Cerpen Tentang Kasih Sayang terhadap Alam Sekitar: Semua Membumi

Hai Sobat Guru Penyemangat; seberapa peduli Sobat dengan alam ciptaan Tuhan yang indah ini?

Agaknya jika ditilik dari nurani, semua orang di dunia ini punya kecintaan tersendiri kepada alam. Mereka pasti ingin alam ini tetap asri, hijau, nyaman, dan jauh dari polusi dan bencana.

Walau begitu, pada kenyataannya kisah tentang alam tidaklah semulus yang diharapkan.

Daerah perkotaan menjadi semakin panas, sedangkan daerah pedesaan perlahan-lahan mulai tercemar dan terimbas oleh polusi. Hemm. Meng-sedih.

Nah. kali ini telah menyiapkan contoh cerpen tentang kasih sayang terhadap alam sekitar beserta ajakan untuk peduli bumi.

Mari disimak ya:

Cerpen: Semua Membumi

Oleh Fahmi Nurdian Syah

Cerpen Tentang Kasih Sayang terhadap Alam Sekitar
Cerpen Tentang Kasih Sayang terhadap Alam Sekitar. Gambar oleh jplenio dari Pixabay

Namanya Datuk, penduduk bilang dia orang gila. Tak lagi punya kerabat. Tidak bekerja dan selalu berkelana.

Ke jalan-jalan kampung, ke sawah, ke sungai, ke hutan. Sesekali dia terlihat tidur di gubuk-gubuk sawah milik petani, lalu pergi saat pemiliknya datang.

Makan hanya dari buah-buahan yang tumbuh di hutan, dan hanya minum dari mata air. 

Meskipun pakaiannya tidak compang-camping, tapi tak pernah sekalipun ku lihat dia memakai alas kaki.

Pernah suatu saat ku tanyakan, akan tetapi katanya, “lebih nyaman kalo begini, man. Bisa dengar tanah berbisik lewat kaki ku, menyampaikan pesan dari bumi."

Datuk hemat bicara, bahkan dengan ku yang sudah dikenalnya sejak usia anak-anak. Bisa dibilang, dia adalah penjaga bumi. Emosinya langsung naik jika lihat ada penduduk yang merusak lingkungan. 

Suatu waktu, pernah ada pemuda membuang puntung rokok ke badan jalan dengan sengaja saat mengendarai sepeda motor.

Dia langsung melemparkan kerikil ke tubuh pemuda itu sambil marah-marah.  

Tak terima dengan perlakuan Datuk, pemuda itu memutar sepeda motor menghampiri Datuk, bersiap akan membalas dengan melemparkan batu lebih besar padanya.

Beruntung hal itu berhasil digagalkan oleh warga.   

Rasa kesal dan marahnya kembali datang ketika melihat ada sekelompok ibu-ibu yang mencuci pakaian di sungai menggunakan deterjen.

Belum lagi saat mobil-mobil pengangkut getah karet harus bolak-balik lewat desa meninggalkan asap knalpot berwarna pekat dengan bau menyengat.  

Dia tentu merutuki mengapa barang-barang dari kota seperti itu bisa masuk ke desa yang sangat jauh dari hiruk pikuk kemegahan kota saat ini.

Begitu sering dirinya membuat keributan dengan penduduk akibat hal-hal kecil seperti itu, sampai semua penduduk desa mencibirnya dengan sebutan, "Orang gila!” 

Pada suatu hari, Datuk terlihat berlari menghampiriku. 

“Ayman, coba lihat ini. Aku temukan ini di tanah hutan dekat sungai." Diperlihatkannya kepada ku kerikil keemasan. 

“Kamu tau ini apa?” 

Sejenak aku coba amati, “Warna batumu itu seperti perhiasan milik juragan singkong bapak ku, tuk. Apa mungkin kalau ini batu emas?”  

“Aku juga nggak tau, Man. Coba kamu tanya saja. Ini aku berikan untuk kamu. Aku tidak butuh ini." Sambil kupandangi batu yang kini berada di tanganku, aku akan memastikan. 

Keesokan harinya, saat bapak akan mengantarkan singkong hasil panen ke rumah juragan Rawuh, aku memaksa untuk ikut karena ingin menanyakan soal batu yang diberikan Datuk kemarin.  

Sesampainya di rumah juragan, aku menyodorkan batu pemberian Datuk kepada juragan.

“Boleh saya tau juragan, apa ini emas atau hanya batu kerikil biasa, ya?” Diambilnya batu tersebut kemudian diamati dengan batuan lup yang sudah digenggam.  

“Kamu dapet darimana batu ini, man?” masih diamatinya lekat-lekat batu kerikil tersebut. 

“Datuk yang menemukan itu di hutan, juragan. Lalu batu itu diberikannya kepada saya." 

“Saya belum bisa memastikan, man. Harus di bawa ke toko emas yang ada di kota. Supaya bisa memastikan, nanti dibantu dengan alat yang canggih."

“Jangan juragan, itu pemberian Datuk."

“Heh, Ayman. Kalo sampe ini beneran emas gimana? Coba pikir, man. Kamu bisa kaya raya. Bapakmu bisa beli sapi, bisa beli motor bebek, man. Kamu gak jalan kaki lagi kalo berangkat sekolah.bLagipula kalo memang ini benar emas dan dapatnya dari hutan, berarti semua masyarakat juga berhak dapet bagian. Itu bisa memakmurkan seluruh warga desa." 

“Yasudah juragan, kalau memang untuk kemakmuran desa, tidak apa-apa di bawa, Gan."

“Nah bagus itu, Man. Saya ke kota selama lima hari. Nanti saya kerumah bapakmu kalo memang batu milikmu ini emas." 

Lima hari kemudian, juragan benar menepati perkataannya dengan datang kerumah bapak untuk mencariku.

Bapak yang sebelumnya juga sudah mengetahui maksudku menemui juragan, kini sangat gugup menerima kedatangan juragan, menerima berita tentang batu.  

“Benar, batu itu ternyata benar emas," Ungkap juragan. 

Tidak perlu waktu lama, berita mengenai harta karun hutan belakang desa telah menyebar ke seluruh penduduk desa.

Para petani mulai meninggalkan sawah, kebun, dan ladang, kemudian pedagang menutup warung, para penggembala meninggalkan ternaknya untuk beramai-ramai mencari emas di hutan.  

Mereka semua pergi lengkap dengan peralatan bak pemburu harta karun. Dibawanya cangkul, parang, besek, wajan, apapun yang dapat memudahkan mereka dalam mendapatkan butiran emas seperti yang dibawa oleh Datuk. 

Hutan yang masih perawan, kini mulai ramai dikunjungi manusia serakah. Memaksa membuka jalur menuju lokasi ditemukannya emas dengan membabat hutan.

Boleh Baca: Cerpen Tentang Lingkungan yang Tercemar

Dalam sekejap, hutan sudah penuh dengan hiruk pikuk penduduk desa. Ada yang mulai menggali tanah, memecah batu-batu besar yang menghalangi jalan, hingga menggerus sampai bantaran sungai.

Raut wajah tamak begitu terlihat dari setiap pasang mata mereka saat melihat kilau butir emas yang heboh diberitakan oleh seluruh penduduk desa belakangan.  

“Apa ini? Berhentiii! Berhenti kalian dan pergi, jangan ganggu rumahku, Pergi!” Datuk menghampiri para penduduk dengan amarah yang membara, suara bergetar dan matanya basah. 

“Halah, gila kamu, Kita semua akan jadi orang kaya," ungkap salah satu warga yang diikuti tertawanya semua orang di hutan. 

“Aku mohon pergilaaahhh, jangan rusak rumahku, berhentii! Aku sakit.” Datuk kini benar-benar melemah. 

“Sudahlah, kau diam saja. Dasar orang gila."  

Tidak ada satupun orang yang menanggapi Datuk, meski dirinya telah memohon.

Semua orang masih terus menebang, menggali, dan semakin memperluas area pencarian emas. Perlahan kuhampiri Datuk yang masih sesenggukan. 

"Ayo kita pulang ke rumahku, Tuk." Dia hanya menggeleng. Aku terdiam, tak tau harus bersikap bagaimana kepada temanku. 

Sudah seminggu berlalu, Datuk terlihat sangat pucat. Setiap hari, setelah pulang sekolah, kulihat dia masih berada di hutan, mengamati kegiatan penduduk dengan mata yang basah.

Tidak mau makan apa-apa. Hanya minum air keruh sungai akibat aktifitas para pencari emas. 

Suatu waktu aku bicara pada bapak, prihatin pada Datuk dan keadaan saat ini. Karena aku membawa batu itu ke juragan Waruh, semua jadi begini.

Tapi bapak tidak sependapat denganku. Katanya ini hal bagus, aku telah berjasa pada penduduk desa ini.  

“Sungguh, aku sangat menyesalinya, Tuk," batinku. 

Siang ini aku kembali mencari Datuk ke hutan, membawakan makanan yang di masak ibu, berharap dia mau menyantapnya.

Jalan menuju hutan kini sudah sangat berbeda, ramai dan terang karena vegetasi yang menutupi jalan dibabat habis oleh orang serakah. 

Semakin hari, semakin ramai saja yang mencari emas. Bahkan kini beritanya sudah sampai keluar desa. 

Tak jarang kutemui orang tua serta teman-teman sekolahku yang tinggal di luar desa, juga ikut mencari butiran-butiran emas di area hutan belakang desa. 

“Datukk!” Sambil berlari, aku menghampirinya. 

“Hati-hati, Man,” sahutnya sangat lirih. 

“Kita makan siang dulu." 

“Kamu saja Man, aku kenyang."  

Dia berbohong. Aku tahu dia pasti berbohong. Dia terlihat kacau. Pakaiannya lusuh, muka pucat, bibirnya kering, terlihat sangat lemah dan tidak bertenaga.

Aku tau pasti dia tidak diam. Tidak pernah berhenti memohon pada orang-orang serakah itu untuk berhenti dan pergi dari hutan ini. Pergi dari rumahnya. Rumah Datuk.

Sayangnya, meski sudah kutawarkan dia untuk tinggal di rumahku, dia tidak pernah mau. Ingin tetap disini saja. 

“Man!”

“Ya?”

“Aku sangat marah. Tapi tidak bisa apa-apa, man."

“Maafkan aku” Bisikku padanya.

“Aku sakit, Man. Tidak kuat lagi."

“Kita ke puskesmas sekarang ya, tuk."

(Menggeleng)

“Man, aku lelah. Aku bersumpah, semua orang itu akan tenggelam!"

Setelah mengucapkan itu, matanya terpejam, suhu tubuhnya turun, dan badannya kaku. Pada hari itu, dia akhirnya benar-benar pergi meninggalkan bumi yang sangat dicintainya.  

Dua hari setelah kepergiaan Datuk, awan gelap terlihat mengambil alih birunya langit. Tak begitu lama, hujan deras turun. Tetapi ada yang aneh dengan hujan kali ini, karena sudah empat hari tidak berhenti. 

Air hujan yang memenuhi selokan mulai naik ke teras rumah. Sejenak aku teringat kata-kata terakhir Datuk, “semua orang itu akan tenggelam”. 

“Ah, tidak," Segera ku buyarkan lamunan agar tidak berfikiran hal-hal buruk.  

JELGEERR… JELGEERR 

Kerasnya kilat dan Guntur bersahutan sangat nyaring. Menyebabkan aliran listrik dipadamkan sementara.

Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Aku buka tirai jendela, terlihat suasana desa sangat sepi dan gelap. Kemudian pergi tidur. 

Sayup-sayup aku dengar keributan di luar, suaranya kalah dengan deras rintik hujan yang menghamtam atap rumah. 

“Masih jam dua dini hari” batinku. Tapi suara orang itu semakin nyata di telinga ini. “AIRR.. AIIRR… LARII….BANJIR!” teriak orang dari luar rumah. 

Lalu dengan tergesa bapak menarik dan langsung menggendong ku keluar rumah.

Kami berlari menjauhi air bah yang datang dari arah sungai di kaki gunung tempat warga biasa mencari emas. Tempat Datuk akhirnya pergi. 

Brakkk..

Aku dan bapak terjatuh. Terlalu mustahil untuk berlari dalam gelap sambil menggendong ku. Aku dan bapak bangun, dan kembali lari dengan sekuat tenaga. Tapi terlambat.

Air menghantam tubuh kami. Pandangan ku sudah sangat buram. Aku merasakan nyeri hebat di kepala ku, seperti ada cairan yang mengalir dekat pelipis mata. Setelahnya gelap.  

Aku tersadar, ada dua lelaki berseragam duduk di hadapan ku. Salah satunya berkalung stetoskop, lalu memberi ku segelas air hangat. 

“Alhamdulillah, kamu jangan banyak bergerak dulu," kata lelaki itu. Aku hanya mengiyakan. 

“Bagaimana bisa, perkataan Datuk benar-benar terjadi? Orang-orang serakah itu, akhirnya tenggelam, akhirnya semua membumi."

~ Selesai ~

Demikianlah tadi seutas sajian Guru Penyemangat tentang kasih sayang terhadap alam sekitar. Pada dasarnya alam yang indah akan hancur dan rusak bila tidak dijaga.

Jadi, mulai sekarang sebaiknya kita lebih peduli ya.

Salam.

Lanjut Baca: Fabel Tentang Cacing dan Ulat yang Peduli Lingkungan

Guru Penyemangat
Guru Penyemangat Guru Profesional, Guru Penggerak, Blogger, Public Speaker, Motivator & Juragan Emas.

Posting Komentar untuk "Cerpen Tentang Kasih Sayang terhadap Alam Sekitar: Semua Membumi"