Widget HTML #1

Cerpen: Pelari Satu Kaki

Cerpen: Pelari Satu Kaki

Oleh Inong Islamiyati

Ilustrasi Pelari Kaki Satu Haruta Saito
Ilustrasi Pelari Kaki Satu Haruta Saito. Foto: Tempo

Aku selalu khawatir pada putra kecilku. Sejak dia lahir, aku mencoba untuk sabar merawatnya. Menabahkan hatinya. Mencoba selalu ada untuknya.

Meski aku tahu, pada akhirnya aku harus bisa melepaskannya saat dia tengah berusaha meraih mimpi-mimpinya.

“Mama, besok Denis mau ikut lomba lari, ya,” ucap anakku polos ketika kami sedang berjalan pulang menuju rumah.

“Denis kalau enggak ikut juga tidak apa-apa, sayang. Denis ikut lomba yang lain saja ya,” aku berusaha menghalanginya berharap pikirannya berubah.

“Denis tidak mau. Denis maunya ikut lomba lari. Bolehkan Ma?” serunya penuh harap. 

Sebagai seorang ibu, tentu saja aku tidak ingin melihat anakku bersedih. Namun aku khawatir kalau dia terluka.

“Ayolah, Ma,” seru Denis sambil cemberut

“Iya boleh, sayang. Sekarang kita pulang dulu ya, mama sudah masak ayam goreng kesukaan Denis.”

“Makasih, Mama,” seru Denis riang.

Di dalam hati aku masih saja khawatir. Takut kalau nanti anakku menangis karena terjatuh atau terluka.

Aku bukannya tidak senang dengan keinginan Denis. Aku hanya takut karena kaki anakku tidak sempurna.

Sejak lahir, anakku Denis hanya memiliki satu kaki. Sebuah kelainan terjadi padanya sehingga kaki kirinya, teramputasi sejak dalam kandungan.

Aku sedih. Namun suamiku selalu menguatkan aku. Selain itu, senyum manis Denis selalu menenangkan aku. Bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Di hari perlombaan tiba, Denis terlihat sangat bersemangat.

Dia terus tersenyum sambil memerhatikan banyak stan makanan yang ada di sekolahnya. Juga beberapa temannya yang akan bersiap mengikuti berbagai macam lomba.

Lomba balap karung, makan kerupuk, berhitung cepat, lomba memasak, lomba lari sampai lomba menggambar ada di sini.

Sekolah Denis memang selalu membuat acara festival ketika tahun ajaran genap akan berakhir.

Seolah sebagai sebuah pesta untuk mengenang perjuangan setelah lelah belajar untuk ujian akhir. Juga sebagai Silahturahmi sebelum semua murid akan menikmati liburan sekolahnya.

“Hai Denis, kamu yakin mau ikut lomba lari?” Seru seorang anak mendekati kami saat kami baru sampai ke lokasi perlombaan

“Iya, Andre. Denis mau ikut lomba lari,” seru Denis mantap

“Ha... Kakimu kan hanya ada satu? Yakin bisa?” balas Andre dengan tatapan ragu

“Denis yakin. Denis akan berlomba dan menjadi juara.”

“Lebih baik kamu ikut lomba yang lain saja. Kayak lomba menggambar. Oh iya aku lupa, gambarmu juga jelek. Aku bukannya sombong loh,” ucap Andre santai.

Aku marah.

Sekali saja, aku ingin menampar pipinya agar dia berhenti dan minta maaf pada anakku. Namun Denis justru menarik lenganku dan menjauh dari temannya.

“Denis tidak apa-apa kok, Ma. Mama jangan sedih,” Denis mengelap keringat yang ada di wajahku. Nak, mengapa kamu bisa begitu sabar.

“Sayang, tetapi kata-kata temanmu tadi sudah keterlaluan. Kamu tidak marah?”

“Tidak apa-apa mama. Lagi pula perkataan Andre benar. Tetapi Denis tetap mau ikut lomba. Mama nanti dukung Denis ya.”

“Iya, tentu saja, sayang,” seruku sambil tersenyum

Sambil menunggu, aku dan Denis melihat-lihat perlombaan lain. Kulihat anakku antusias sekali melihatnya. Tetapi Nak, mengapa dari sekian banyak lomba kamu memilih lomba lari. 

“Assalamualaikum,” ucap Bu guru ketika aku sedang memasang stiker nomor lomba ke baju Denis

“Wa’alaikumsalam, Bu guru. Terima kasih telah mengajari dan menjaga Denis selama ini,” ucapku sambil bersalaman dengannya

“Tidak apa-apa kok, Bu. Denis anak yang baik dan pintar. Oh iya, Denis harus semangat ya larinya. Bu guru akan dukung Denis.”

“Terima kasih, Bu guru.”

Dor! Tanda lomba lari berbunyi. Denis berlari dengan kencang. Di dalam perlombaan ada juga Andre, anak yang tadi menghina anakku.

Dia berlari sangat kencang hingga berada paling depan. Kelihatannya dia sangat menyukai olahraga. Semua berjalan lancar hingga...

BRAK! 

“Denis!” teriakku

Dari jauh kulihat anakku yang terjatuh. Namun beberapa saat kemudian dia bangkit dan berlari lagi. Kemudian ketika tengah berbelok dia jatuh lagi.

Teman-temannya yang lain justru tertawa. Bahkan beberapa orang tua juga tertawa karena anakku terjatuh.

Aku hendak menolongnya. Aku ingin membantunya bangkit. Tetapi Bu guru mencegahku.

“Jangan, Bu. Tunggu saja sebentar lagi.”

Baru 10 menit berjalan, akhirnya sang pemenang lomba menunjukkan rupanya di garis finis. Dialah Andre.

Disusul oleh beberapa anak lainnya. Sementara aku harap-harap cemas menanti anakku di garis finis.

Denis bangkit lagi untuk yang ke sekian kalinya meski sudah beberapa kali disuruh untuk berhenti saja.

Ketika ada yang menghalangi dia untuk berhenti berlari, dia masih terus bangkit dan berlari lagi. 

“Sudah Nak, cukup. Mama sedih melihatmu seperti ini.”

Sementara yang lain tengah senang di garis finis. Denis masih terus berusaha berlari. Suara tawa yang tadi ditujukan untuk Denis kini mereda.

Mereka justru diam. Bingung dengan sikap Denis yang tetap mau berlari hingga akhir.

“Hup,” seru Denis saat berhasil sampai di garis finis.

Semua orang bertepuk tangan, bahkan bangkit untuk menyemangati Denis. Mereka semua kagum. Serta sedikit malu karena sudah menghina Denis. Aku pun tersenyum melihat Denis begitu senang.

“Denis adalah anak yang sangat baik dan bersemangat, Bu. Dia selalu berusaha agar bisa melakukan segalanya sendiri selama dia masih bisa. Jangan terlalu khawatir Bu. Percayalah pada anakmu.” Bu guru mengusap pundakku yang tadi tegang. Kulihat Denis lalu mendekatiku dan memelukku erat.

“Denis berhasil, Mama, Mama senang, kan?”

“Iya, sayang. Mama sangat senang walau Denis belum menjadi juara.”

“Oh Denis sudah juara kok, Mama. Seminggu yang lalu ketika Denis berlari, Denis menghabiskan waktu 20 menit untuk mencapai akhir. Sekarang Denis hanya menghabiskan waktu 15 menit. Denis sudah menang atas diri Denis sendiri.”

“Nak,” aku memeluknya tambah erat. Sambil menghapus air mata yang perlahan mulai mengalir ke pipiku. 

“Denis, selamat ya. Maafkan Andre yang tadi jahat padamu,” Andre lalu meminta maaf atas hinaannya kemudian Denis tersenyum lagi.

“Tidak apa-apa Andre. Aku tidak marah kok. Tetapi nanti Andre jangan seperti itu lagi ya. Soalnya mamaku jadi sedih,” seru Denis.

“Iya, aku janji.”

Jangan kamu menghina seseorang karena kekurangan yang dia miliki. Bisa jadi, dia masih punya sisi baik yang tidak pernah kamu sadari. Serta, jangan sedih akan sesuatu yang belum terjadi. Tersenyumlah dan hadapi dunia dengan semangat.

*Selesai*

Lanjut Baca: Cerpen Tentang Keterbatasan Fisik - Dira Bukanlah Beban Keluarga

Guru Penyemangat
Guru Penyemangat Guru Profesional, Guru Penggerak, Blogger, Public Speaker, Motivator & Juragan Emas.

Posting Komentar untuk "Cerpen: Pelari Satu Kaki"