Widget HTML #1

Cerpen: "Pamali", Perselingkuhan Agama dan Kapitalisme

Cerpen "Pamali": Perselingkuhan Agama dan Kapitalisme

Oleh Syamsuddin

Ilustrasi Pohon Keramat
Ilustrasi Pohon Keramat. Gambar oleh PublicDomainPictures dari Pixabay

Gelembung asap di ruang depan. Tercium aroma yang khas, kretek tembakau. Leman menarik nafas dalam-dalam, pada wajahnya terlihat keningnya mengkerut. Pikirannya sangat cemas. 

Di luar hujan tak kunjung reda membuatnya khawatir dengan Saril, anak laki-laki satu-satunya yang sudah pergi sejak magrib. 

Bukan pergi ke musholla untuk mengaji seperti biasa. Bukan. Saril dan pemuda dewasa lainnya di dusun Kayuangin sedang pergi bertamu ke rumah Pak Kasim  tokoh adat di dusun itu. 

Bukan asal bertamu pula, tetapi membicarakan niatnya akan menebang pohon Kayuangin, jenis pohon yang amat dikeramatkan oleh moyang mereka secara turun-temurun.

Membayangkan pohon keramat itu ditebang, seketika bulu kuduk di lengannya berdiri. Tampa sadar tubuhnya bergetar. Tarikan nafasnya semakin dalam, dan semakin berat. Kretek yang dihisapnya sejak tadi serasa hambar.

Seperti orang-orang di Kayuangin pada umumnya, Leman percaya, pohon itu adalah titisan leluhur dari masa silam. Pohon itu adalah penjaga dari bahaya, dari bencana. 

Poang Kajuangin, begitulah mereka menyebutnya. Pohon itu tak boleh ditebang, Pamali. Tak boleh, dengan penjelasan apapun. Bila ada yang melanggar, bencana besar akan menimpa mereka.

Konon orang-orang di dusun itu dikenal dengan sebutan to kajuangin, artinya orang yang berasal dari kayu dan angin, artinya falsafah hidup mereka berasal dari kayu dan angin.

"Kayu (pohon) adalah tempat berteduh dari panasnya matahari, tempat istirahat bagi musafir di perjalanannya. Angin memberikan kesejukan setiap orang yang berteduh, beristirahat di bawah pohon" terang pak Kasim suatu hari. 

Tidak heran setiap orang lewat di hutan yang terdapat poang kajuangin, mereka mengucap permisi, orang-orang di dusun menyebutnya mappatabe.

Lalu, perihal apa yang mendorong  Saril dan teman-teman pemuda lainnya berbalik arah?

Sekitar dua tiga minggu yang lalu, dusun itu didatangi oleh sekelompok orang yang menamai diri mereka sebagai muballig.

Kedatangannya disambut ramah oleh orang dusun, sebab dengan adanya mereka, rumah ibadah menjadi lebih hidup, lebih banyak kegiatan lagi. 

Selain dari dulu hanya mendengar penjelasan kitab-kitab gondol Arab dari pak Imam, kini pemuda juga mulai mengikuti kajian-kajian tentang fadhilah-fadhilah amal ibadah yang dibawakan oleh mereka. 

Mula-mula hanya satu dua tiga saja yang mengikuti kajian-kajian fadhilah amal tersebut, tetapi semakin ke sini; ke hari-hari berikutnya semakin bertambah juga jamaah yang datang mengikutinya.

Orang-orang di dusun mulai tertarik mengikuti kajian mereka. Beberapa kitab terjemah Melayu tentang amal, tentang ibadah, tentang akidah diarahkan untuk dimiliki sebagai kitab petunjuk dalam beramal. 

Tidak butuh lama, hampir semua jamaah pun telah memiliki kitab itu. 

"Lebih mudah dipahami, karena kitabnya berbahasa Melayu" jelas salah satu jamaah. Antusiasme orang-orang di dusun Kayuangin sangat bisa dimengerti. 

Sejak dulu mereka hanya bisa mendengarkan penjelasan dari pak Imam kitab-kitab bertulis Arab, tidak berbaris pula. Sehingga kitab itu hanya dimiliki dan dimengerti   oleh sebagian besar orang-orang tua saja, sedang pemuda sedikit. 

Perlahan tapi ada, perubahan mulai terjadi. Mula-mula selera kitab kuning beralih ke kitab putih, lalu cara berpikir tentang agama, lalu cara melihat tradisi, lalu perbedaan pendapat orang-orang tua dengan pemuda-pemuda, sampai perdebatan halal ke haram, syirik, takhayul, bid'ah, khurafat.

Syirik, bid'ah, takhayul, haram, khurafat itu menjadi kata-kata yang banyak diucapkan.

Dusun Kayuangin harus dibersihkan, tidak boleh ada kemusyrikan, pohon keramat itu takhayul, itu akan menjadi penyebab datangnya azab, kemurkaan pencipta. 

Poang kajuangin dan pohon-pohon lain yang dianggap keramat mesti ditebang, untuk menegakkan perintah Tuhan. Gemparlah orang-orang di dusun Kayuangin. 

Pandangan pemuda tidak bisa bertemu dengan pandangan orang tua. Lantaran inilah, Saril dan pemuda-pemuda lainnya bertamu ke rumah pak Kasim.

“Malam ini aku akan ikut orang-orang ke pak Kasim,” ucap Saril siang tadi, ketika dia dan Bapaknya, Leman duduk di ruang rumah depan. Ida, Ibunya sedang di dapur.

“Aku tak ingin mencegahmu, Nak. Kamu terpelajar, tahulah mana baik buruk," tutur Leman, yang tak ingin sebetulnya anak satu-satunya ikut dalam rencana penebangan itu. Takut kualat. 

“Kalau dibiarkan, pohon itu akan menjadi berhala. Seperti jahiliah, orang-orang akan tergelincir di dalam kesesatan, berbuat syirik, Tuhan akan murka. Mungkin tidak sekarang, tapi besok-besok, atau nanti di akhirat. Sesungguhnya azab Tuhan sangat pedih” terang Saril dengan mengutip potongan ayat.

“Tapi, tidak semua yang kamu lihat seperti yang kamu pikirkan,” Leman, memberikan pembelaan.

“Kami sudah melakukan pengkajian mendalam, dan semua pemuda sudah bermufakat, itu muysrik. Kita akan menebang pohon-pohon itu"  tukas Saril.

Leman tidak bicara lagi, ia arahkan jarinya pada mulutnya, lalu menghisap kreteknya dalam-dalam, keluar masuk nafasnya berat. Dia melabuhkan pandangan mata ke arah Saril. 

Dipandang mata anaknya itu, ditelisiknya lebih jauh, lebih dalam, dan lebih dalam lagi. Diam, hening, sepi, tidak ada yang berbicara, masing-masing larut dengan pikirannya sendiri.

“Ramli anak pak Jalal, sekarang juga kerja di Pabrik,” ucap Leman, tiba-tiba memecah kesunyian. Saril sedikit tersentak, dia menoleh.

“Sayangnya, orang-orang dusun kita hanya sedikit yang dapat kerja disitu” lanjutnya.

“Harus diperluas lahan pabriknya. Barulah nanti akan membutuhkan lebih banyak pekerja” sahut Saril.

Mendengar ucapan anaknya itu, Leman langsung teringat berita yang didengarnya di radio beberapa hari lalu. 

Pabrik-pabrik perusahaan, bisa merusak struktur tanah, bisa merusak udara, bisa mengotori air, bisa menyebabkan gempa, bisa membuat longsor, bahkan sunami.

Sekarang udara jadi panas. Air sungai berubah menjadi keruh, kuning kecoklatan dan berurat-urat. Setiap orang yang mandi disitu badannya juga gatal-gatal. 

Jika lahan pabrik diperluas lagi, puluhan hektar hutan digunduli, kayu-kayunya ditebang. Tak hanya sungai itu yang berubah, tetapi yang diberitakan radio bisa benar-benar terjadi. 

Lalu pikiran Leman melayang ke Bendungan. Lima tahun yang lalu, orang-orang dusun Kayuangin dan dusun-dusun sekitarnya heboh bukan kepalang. 

Beberapa orang jadi kaya mendadak karena tanahnya kena operan proyek Bendungan. Hampir setiap hari selalu ada motor baru diantar ke dusun itu. Pemuda-pemuda dibelikan orangtuanya motor baru. 

Menurut cerita orang-orang yang didengarnya, proyek bendungan itu adalah program pemerintah untuk meningkatkan produktivitas petani sawah. Airnya akan mengaliri ke sawah-sawah. 

Tetapi rencana itu tidak juga terwujud, sampai hari ini. Bendungan itu roboh oleh luapan sungai.

Leman amat meyakini bahwa pikirannya ini benar adanya. Dia hendak berucap, menjelaskan kepada anaknya segala yang bersarang di kepalanya. 

Tetapi sebagai seorang buruh yang hanya tamat SD, dia  tahu Saril tak akan sependapat dengannya. Kalau pun sependapat, apa yang bisa mereka perbuat? Semuanya sudah terjadi. 

Dia sangat menyadari, tradisi leluhur yang dirawat turun-temurun semakin hari semakin sulit untuk dipertahankan. Pohon yang amat dikeramatkan oleh orang-orang dusun pun akan ditebang. 

Kalau bukan ditebang oleh pemuda-pemuda, toh nanti juga akan ditebang oleh perusahaan-perusahaan untuk perluasan lahan. Ah, tambah sesak saja dibuatnya. Kepala Leman pening.

Arloji di tangan kiri Leman sudah menunjukkan angka sepuluh lewat lima belas menit. Hujan masih merincis di luar sana, belum ada tanda-tanda akan reda, Saril yang ditunggunya belum juga pulang. 

Leman sudah menghabiskan beberapa kelinting kreteknya, kopi pahit yang dibuat istrinya sudah dingin tak disentuhnya. Pikirannya tidak bisa berdamai, hatinya masih diserang cemas. 

Dia ingin memastikan pertemuan itu tidak berujung bentrok dan mencelakai  Saril. Diliriknya kembali jarum jam ditangannya, Dia beranjak dari tempat duduknya. 

“Ida, jaga rumah. Aku keluar dulu, ke rumah pak Kasim,” ucapnya pada Ida, Istrinya. Perempuan itu ke ruang depan meraih tangan Leman. Salim.

“Hati-hati, Pak, jangan terlalu larut pulangnya” tutur Ida pelan. Diberinya payung pada suaminya. 

Leman berjalan kaki. Motor yang biasa dipakainya, dipakai Saril. Jalan jalan dusun sudah sepi. Pintu rumah rumah penduduk sudah ditutup. Di jalan, hanya satu dua saja yang lewat. 

Dia meneruskan langkahnya, dingin hujan tidak dihiraukannya. Sekali dua, payungnya terangkat oleh tiupan angin, beruntung tangannya kuat menahan payung.

Sekitar lima belas menit Leman menyusuri jalan. Sepertinya alam memihak padanya. Hujan sedikit sedikit mulai redah. Payung yang dari tadi tertiup angin tidak ada lagi, angin berhenti. “Syukurlah,” batinnya.

Di bawah payung, Leman mempercepat langkahnya, tergesa ingin segera tiba di rumah pak Kasim memastikan anaknya. Tetapi langkahnya terhenti. Tiba-tiba jalan yang ditapakinya bergetar hebat. 

Terguncang seperti dibor, serasa tanah runtuh ke bawah. Sekitar tiga puluh, empat puluh, lima puluh detik, kondisi itu berlangsung.  Gempa berkekuatan enam koma sembilan magnitudo terjadi, tepat delapan kilometer dari tempatnya berdiri.

Payung di tangan Leman terlempar, entah kemana tak disadarinya. Dia amat panik bukan main. Orang-orang dusun sudah berada di luar rumah memenuhi jalan, syok, kaget, ketakutan. 

Jalanan yang sepi, ramai oleh orang-orang. Dipikirannya Ia teringat pada Ida, yang tadi ditinggalkannya di rumah. Leman berlari berbalik ke rumah antara sadar dan tidak. 

Samar-samar sudah pendengaran dan penglihatannya. Pikirannya panik, cemas, takut.  Dengan kecepatan penuh dia sudah sampai.

“Idaaaa…..” pekik Leman, istrinya ia dapati tak bernyawa lagi, ia tertimpa runtuhan rumah.

***

Guru Penyemangat
Guru Penyemangat Guru Profesional, Guru Penggerak, Blogger, Public Speaker, Motivator & Juragan Emas.

Posting Komentar untuk "Cerpen: "Pamali", Perselingkuhan Agama dan Kapitalisme"