Cerpen: Jangan Samakan Ekspektasi dengan Kenyataan
Cerpen: Jangan Samakan Ekspektasi dengan Kenyataan
Oleh Fahmi Nurdian Syah
Cerpen: Jangan Samakan Ekpektasi dengan Kenyataan. Dok. Pedulianak.org |
Handika sungguh berdebar-debar. Tidak seperti biasanya, pagi ini ia sudah mengenakan seragam dengan rapi, memakai sabuk sesuai instruksi, bahkan dasi yang biasanya ia gunakan untuk menjaili teman-teman dengan mengikat kaki mereka ke kaki kursi sudah melingkar apik di lehernya.
Sepatu yang biasanya kumal dan penuh tanah sudah dicucinya jauh-jauh hari sebelum hari pertama masuk sekolah tiba.
Meski sedikit koyak karena hobinya adalah berlari cepat, sepatu olahraga yang terbuat dari kain tersebut tampak rapi dan sedap dipandang.
“Kenapa kamu belum sarapan? Bergegaslah! Ibu harus segera kembali ke pasar setelah mengantarmu ke sekolah,” panggil Ibu.
Handika di tahun ajaran lalu biasanya tidak akan peduli pada omelan tersebut. Ia akan tetap bergerak santai sesukanya.
Ia bahkan lebih memilih terlambat karena hukuman yang diberikan adalah berlari, salah satu hobi Handika dan hal terbaik yang bisa ia lakukan selama ini.
Handika adalah pelari tercepat di sekolahnya. Kemampuan lari itu juga ia bisa naik ke kelas empat sekarang.
Karena jika melihat nilai pelajaran lainnya, Handika dipastikan akan tinggal kelas. Nilai rata-rata enam yang diberikan guru karena kasihan mewarnai rapor Handika sejak kelas dua.
Handika sebetulnya tidak memiliki masalah belajar. Ia hanya tidak suka dipaksa duduk diam.
Pernah suatu waktu di kelas tiga, ia berusaha mati-matian belajar matematika agar mendapat nilai delapan. Hal ini ia lakukan agar ayah membelikannya tak sekolah baru.
Cara Handika belajar mati-matian adalah sambil bergerak. Ia suka mempraktikkan materi pecahan yang sedang dipelajari tetapi dengan menyusahkan orang lain, terutama teman-temannya.
Saat ia ingin mempraktikkan pembagian pecahan 5/10 misalnya, ia mengambil penghapus milik teman-teman dan memotongnya. Tentu saja hal ini membuatnya dihukum oleh guru dan dimarahi ibu.
Handika tidak mengerti kesalahannya. Ia hanya ingin belajar dan mendapatkan tas baru seperti janji ayah.
Sayangnya, hal tersebut tidak terlaksana. Sejak itu pun ia mulai malas untuk belajar dan memilih untuk bersenang-senang dengan menjaili teman-teman.
Akibat sikapnya, Handika pun dijuluki Si Raja Jail oleh semua orang. Parahnya, Handika tidak pernah keberatan.
Hukuman bertubi-tubi yang diberikan pun tidak membuatnya jera. Bagaimana bisa jera jika hukuman tersebut adalah hal-hal yang disukai Handika?
Hukuman berlari, menyeka kamar mandi, membersihkan kelas, adalah hal-hal yang membuatnya bergerak dan gembira.
Handika sebetulnya hanya anak yang suka bergerak, tetapi tidak ada yang mengerti dirinya.
Namun, di hari ini, hari pertama di kelas empat ini, julukan Handika si anak nakal hanya akan menjadi kenangan.
Kali ini bukan karena tas baru atau janji hadiah lain, tetapi karena status baru Handika.
Handika yang naik kelas dengan syarat segera mendapat perhatian khusus dari calon wali kelas empatnya.
Sebelum liburan, semua anak dikumpulkan dan Handika si raja jail pun segera terpilih menjadi ketua kelas.
Boleh Baca: Cerpen Tentang Liburan Sekolah Singkat
Hal ini dirasa baik untuk semua orang karena anak paling jail yang biasanya selalu ditegur ketua kelas kini mesti bertugas. Untuk dapat bertugas, mau tidak mau Handika harus menjaga sikapnya.
Bu Ratri, wali kelas empat, juga mengingatkan jika Handika gagal menjalankan peran sebagai ketua kelas ini dengan baik maka ia akan dikembalikan ke kelas tiga.
Itu sebabnya Handika begitu serius mempersiapkan diri dan bertekad menjadi contoh baik bagi teman-temannya sejak hari pertama.
“Kamu baik-baik di sekolah, ya! Jangan lupa pesan Bu Ratri.” Ibu masih berceloteh, tetapi Handika hanya setengah mendengarkan sambil mencium tangan ibu.
Keringat dingin mulai mengucur dan seketika Handika merasa tegang. Tiba-tiba, ia khawatir topinya ketinggalan meski ia yakin telah dipersiapkan.
Pagi ini memang ada upacara bendera dan setiap ketua dan wakil ketua kelas akan berbaris di depan untuk diperkenalkan.
Ini merupakan tradisi agar semua orang tahu ketua dan wakil ketua dari setiap kelas.
Handika belum tahu wakil ketua kelasnya. Terakhir kali, mereka memilih Noni. Namun, ternyata Noni pindah ke lain kota untuk ikut ayahnya yang dipindahtugaskan.
Tiba-tiba, Handika merasa semua persiapannya masih jauh dari sempurna. Padahal beberapa saat lalu ia merasa sudah sangat percaya diri.
”Wah, Si Raja Jail sudah datang!” Itu suara Cakra, sahabat Handika di kelas dua dan tiga. Mereka biasanya disebut si duo jail.
Namun, setelah Handika terpilih menjadi ketua kelas ia berniat untuk mengajak Cakra untuk menghentikan perilaku jail mereka.
Sewaktu liburan, skenario ajakan tersebut sudah tersusun dengan baik. Namun, saat mendengar sapaan Cakra pagi ini rasanya Handika merasa tugasnya tidak akan mudah.
Apa lagi, ia melihat beberapa anak berbisik-bisik sambil menatap mereka.
Handika pun memilih mengabaikan ledekan Cakra dan bisikan teman-teman yang entah membahas apa. Ia memilih bersiap-siap untuk upacara.
Para ketua kelas akan berbaris di bagian depan dan ia juga harus memastikan teman-teman sekelasnya siap.
“Ayo, Teman-teman kita segera ke lapangan! Jangan lupa kenakan topi dan rapikan dasi kalian, ya!”
“Wah, wah, Si Raja Jail sekarang sudah sok gaya. Pandai memerintah, lho dia.” Lagi-lagi Cakra meledeknya tanpa sungkan.
Handika sungguh tidak paham kenapa Cakra terus-menerus mencibirnya. Dulu mereka adalah sahabat.
Apakah liburan selama dua minggu betul-betul bisa mengubah sebuah persahabatan?
Apakah keputusannya menjadi ketua kelas adalah hal yang salah?
“Padahal, wakil ketua kelas kita yang betul-betul pahlawan sekolah saja tidak sok aksi seperti dia yang cuma pahlawan kesiangan,” lanjut Cakra.
Handika sangat terkejut mendengarnya. Wakil ketua kelas siapa? Kenapa ia belum tahu? Kalimat terakhir Cakra juga sungguh menyedot perhatiannya. Siapa sebetulnya wakil ketua kelasnya yang disebut pahlawan?
Seketika, tubuh Handika melemas. Kakinya bergetar seperti agar-agar yang sering dibuat ibunya di akhir pekan.
Handika merasa marah, bukan pada Cakra, tetapi pada dirinya sendiri. Anak sepertinya tidak pantas membimbing teman-teman. Semua keraguan tersebut membuat langkahnya ke lapangan upacara terasa berat.
Upacara yang dalam bayangan Handika sebelumnya akan sangat membanggakan berbalik menjadi momen yang meresahkan.
Ditambah lagi, matahari bersinar sangat terik membuat rasa tidak nyaman semakin lekat.
Setelah seluruh protokol upacara dijalankan, tiba saatnya memperkenalkan ketua dan wakil ketua dari tiap kelas.
Handika sudah bertemu dengan wakil ketua kelas yang kini berdiri di sebelahnya. Ia berpenampilan sangat rapi dan bersih dengan satu set seragam baru ditambah sepatu hitam berkilat.
Berdiri di sebelahnya, Handika merasa semakin tidak percaya diri.
Kalimat Cakra kembali terngiang tentang wakil ketua kelasnya yang seorang pahlawan sementara ia adalah pahlawan kesiangan.
Semua pertanyaan tersebut terjawab saat kepala sekolah memperkenalkan murid baru di sekolah mereka.
Salah satunya adalah Raihan, wakil ketua kelas empat. Raihan adalah siswa pindahan dari sekolah unggulan di kota sebelah.
Ia adalah juara lomba cerdas cermat kota dan sering mewakili sekolah dalam setiap pagelaran seni karena pandai bermain musik.
Mendengar penjelasan tersebut, Handika semakin merasa kecil. Kini, ia paham label pahlawan kesiangan yang disematkan pada dirinya.
Apa arti dirinya jika dibandingkan dengan Raihan yang berprestasi? Ia mendapat jabatan ketua kelas justru untuk memperbaiki perilakunya di sekolah.
Boleh Baca: Cerpen Tentang Pentingnya Perilaku Disiplin
Entah hanya perasaannya atau tidak, setelah perkenalan Raihan tampak orang-orang berbisik-bisik sambil menatapnya.
Handika merasa, mereka pasti membandingkan dirinya dan Raihan dan menganggap Raihan jauh lebih pantas sebagai ketua kelas.
Handika tidak lagi memperhatikan nama-nama ketua kelas dan wakil ketua kelas yang dipanggil dan hanya otomatis ikut bertepuk tangan.
Ia menatap satu per satu wajah teman sekelasnya dari posisi berdirinya di seberang mereka. Tentu saja Handika mencari-cari wajah Cakra. Mantan sahabatnya itu pasti sedang menertawakannya saat ini.
Tidak sulit mencari Cakra karena tubuhnya cukup tinggi. Namun, ada yang aneh pada Cakra. Alih-alih menampakkan wajah jail atau menertawakannya, Cakra tampak sangat pucat.
Bibirnya bahkan sudah berwarna putih. Handika tidak melepaskan pandangannya dari Cakra karena khawatir.
Semua itu terjadi dalam sekejap. Handika tidak lagi peduli pada jalannya upacara karena melihat tubuh Cakra akan tumbang di tengah-tengah barisan.
Ia melesat bagai peluru ke arah barisan kelasnya dan menahan tubuh Cakra dengan segera.
Tubuh Cakra yang tinggi dan besar menindih tubuh Handika. Siku dan lututnya terasa nyeri karena terbentur lapangan berbatu untuk menahan kepala Cakra.
Upacara yang masih berlangsung pun terhenti dan riuh untuk sejenak. Bapak Gani, guru olahraga, segera datang membantu Handika dan membopong Cakra ke ruang UKS (Unit Kesehatan Siswa).
Handika pun diminta untuk ikut ke UKS karena luka yang dialaminya. Di UKS, Cakra ditempatkan di atas matras dan mendapat pertolongan pertama dari guru yang bertugas.
Handika pun mendapat pengobatan pada luka di siku dan lututnya. Ia segera berpamitan untuk kembali ke kelas karena upacara sudah selesai.
Sejujurnya, jika bisa, Handika ingin sekali pulang saja. Upacara perkenalannya sebagai ketua kelas hancur.
Entah apa yang ada di pikiran teman-teman. Ia merasa berat sekali membayangkan satu tahun ajaran ini.
Ia berjalan sambil menunduk sambil berpikir keras. Tanpa terduga, saat ia sampai di pintu kelas empat terdengar gemuruh tepuk tangan.
Ia sempat bingung karena tidak tahu penyebab keriuhan tersebut. Raihan menghampiri Handika dan mengulurkan tangannya.
“Halo, Ketua Kelas! Perkenalkan aku Raihan. Maaf tadi kita belum kenalan. Kamu keren banget tadi,” ucap Raihan tampak tulus. Teman-teman lain juga banyak yang memujinya.
Handika tidak menyangka aksi spontan yang dilakukannya mendapat apresiasi dari teman-teman.
Tak berapa lama, Cakra kembali dari UKS. Ia menghampiri Handika dan dengan malu-malu dan berterima kasih karena telah menolongnya.
“Aku tarik kata-kataku tadi. Kamu pasti akan jadi ketua kelas yang baik karena kamu sama sekali bukan pahlawan kesiangan,” tukas Cakra pelan.
Hati Handika menghangat seketika. Ternyata, menjadi ketua kelas tidak sesulit pikirannya. Ia tidak perlu terlalu banyak gaya dan cukup melakukan semuanya dengan hati yang tulus saja.
Pelajaran ini akan dipegang teguh oleh Handika selama kelas empat untuk menjalani perannya sebagai ketua kelas dan pahlawan bagi teman-temannya.
~ Selesai~
Posting Komentar untuk "Cerpen: Jangan Samakan Ekspektasi dengan Kenyataan"
Posting Komentar
Berkomentarlah sesuai dengan postingan artikel. Mohon maaf, link aktif di kolom komentar tidak akan disetujui.
Diperbolehkan mengutip tulisan di blog Guru Penyemangat tidak lebih dari 30% dari keseluruhan isi (1) artikel dengan syarat menyertakan sumber. Mari bersama-sama kita belajar menghargai karya orang lain :-)