Widget HTML #1

Menjaga Lisan sebagai Cabang Iman Seorang Hamba (Disarikan dari Kitab Qomi’uth Thughyan)

الإِيْمَانُ مَعْرِفَةٌ بِالْقَلْبِ وَقَوْلٌ بِاللِّسَانِ وَعَمَلٌ بِالْأَرْكَانِ

“Iman adalah mengetahui dengan hati, mengucapkan dengan lisan, dan melakukan dengan anggota badan."

Ungkapan di atas merupakan sabda Nabi Muhammad SAW yang berarti bahwa iman atau keyakinan tidak hanya bersemayam di dalam hati. Akan tetapi, keimanan seseorang harus dibuktikan dengan lisan dan dipraktikkan pula dengan perbuatan nyata.

Adapun, iman memiliki banyak cabang. Tentu saja cabang iman yang menduduki tempat tertinggi adalah mengucapkan kalimat tauhid yakni meyakini keesaan Allah dengan kalimat laa ilaaha illallaah. 

Kalimat tersebut bukan hanya sekedar kalimat yang terucap di bibir, tetapi ada banyak konsekuensi dari persaksian akan iman kepada Allah, salah satunya adalah dengan istiqomah menyembah kepada-Nya.

Terdapat hadits Nabi Muhammad SAW yang menyebutkan bahwa iman memiliki 70 cabang lebih. Hadits tersebut berbunyi:

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : الإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ شُعْبَة، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلهَ إِلَّا الله وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيْمَانِ

Dari Abu Hurairah r.hu, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, Iman itu ada tujuh puluh cabang lebih, yang paling utama yaitu perkataan laa ilaaha illallaah, dan yang paling ringan yaitu menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu itu termasuk bagian dari iman.”

Hadits di atas memberikan kita pesan bahwa sesungguhnya dalam hal keimanan yang paling utama adalah meyakini Allah sebagai Tuhan yang satu. 

Selain itu, hadits tersebut juga memiliki arti bahwa jika ada cabang iman yang paling utama, maka ada cabang iman lain yang juga semestinya dilakukan oleh seorang hamba agar kadar keimanannya semakin sempurna di hadapan Allah.

Menjaga Lisan sebagai Cabang Iman Seorang Hamba
Menjaga Lisan. Gambar oleh Sammy-Williams dari Pixabay
Disarikan dari kitab Qomi’uth Thughyan, Sang Penulis menghadirkan 77 cabang iman yang dapat mengantarkan seorang muslim yang beriman kepada Allah untuk menyempurnakan keimanannya.

Kitab tersebut ditulis oleh Syaikh Muhammad Imam Nawawi bin Umar dalam bentuk syarah (penjelasan) yang dikaji dari nadzam-nadzam (syair) karya Syaikh Zainuddin Ahmad Syafi’I Al-Kuusyini. 

Beliau adalah penulis kitab yang berjudul Syu’abul Iman, yang memiliki arti Cabang-Cabang Iman.

Menjaga Lisan Menjadi Bukti Keimanan Seseorang

Khusus dalam artikel sederhana ini, akan dibahas mengenai cabang iman ke-34. Apa itu?

حِفْظُ اللِّسَان عَمَّا لَا يَنْبَغِيْ

“Menjaga Lisan dari hal-hal yang tidak patut”

Sudah seberapa sering kita mendengarkan umpatan-umpatan yang keluar dari mulut seseorang, atau mungkin bahkan keluar dari mulut kita sendiri?

Jika polusi udara dapat menyebabkan sesak nafas, maka umpatan-umpatan yang bernada kotor dapat menjadi polusi suara yang sangat menyesakkan telinga.

Menjaga lisan dari perkataan-perkataan yang tak layak adalah bukti keselarasan antara apa yang tidak tampak dalam diri seseorang dengan apa yang keluar dari padanya. 

Dalam artian, jika seseorang hatinya bersih, maka dapat dipastikan kata-kata yang keluar dari mulutnya adalah kata-kata yang menyejukkan. 

Begitu pula sebaliknya, jika hatinya sudah kotor dan hampir bahkan sudah penuh dengan kejelekan, maka tak bisa dipungkiri juga kata-kata yang keluar dari mulutnya akan berbau tidak sedap.

Mengapa menjaga lisan menjadi bukti dari keimanan seseorang?

عنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أًوْ لِيَصْمُتْ

Dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, "Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata baik atau diam.” (H.R. Bukhari Muslim)

Hadits Rasulullah SAW di atas sudah semestinya dapat menambah keyakinan kita bahwa menjaga lisan adalah salah satu dari bukti keimanan seseorang kepada Allah SWT. 

Jika kita beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya berbicara dengan perkataan yang baik-baik. Apabila tidak mampu berbicara baik, maka lebih baik diam. 

Mari melihat pada masing-masing diri, sudah seberapa berhati-hati dalam menjaga lisan yang tak bertulang ini? 

Sudah berapa sering mengejek orang lain? Sudah berapa banyak nyinyiran yang keluar dari mulut rasa siluman itu? Sudah berapa banyak umpatan yang keluar dengan sengaja atau tak sengaja? 

Lantaran karena lidah yang tak memiliki tulang, bukan lantas menjadikan alasan kita dengan gampang berkata seenak jidat dan suka berkelit. Tak jarang pula terjadi bahwa ucapan dapat mencelakakan si empunya. 

Selain menjaga lisan dari perkataan secara langsung di dunia nyata, saat ini lisan sudah menjelma menjadi jemari yang telah lihai menebar diksi-diksi tak patut di media sosial.

Lemparan ejek-ejekan ditulis di status medsos, sindiran-sindiran pedas asik disebar di kolom komentar, umpatan-umpatan bernada kebencian asik didendangkan, dan lain sebagainya. 

Bahkan yang menjadi miris adalah tidak hanya anak-anak atau remaja yang melakukan itu, justru orang dewasa yang seharusnya menjadi contoh untuk generasi selanjutnya banyak pula yang luput dari merasa bersalah melakukan hal demikian.  

Kita ingat kembali pada sabda Nabi Muhammad SAW sebelumnya. 

Jika kita tidak bisa berkata baik maka sebaiknya diam, karena diam itu lebih baik dibanding mengeluarkan ucapan atau tulisan yang membuat polusi telinga dan polusi dunia maya utamanya media sosial. 

Dalam Kitab Qomi’uth Thughyan dituliskan:

“Sebagian orang bijak mengatakan bahwa orang yang berbicara selain kebaikan berarti ia berbuat sia-sia, orang yang melihat tanpa berpikir (mengambil pelajaran) berarti ia terlena, dan orang yang diam tanpa berpikir berarti ia melakukan sesuatu yang tak ada artinya.”

Mari kita jaga ucapan-ucapan kita baik itu secara lisan maupun tulisan, karena segala apa yang kita lakukan dan ucapkan akan menjadi pertanggungjawaban kelak di hadapan Allah.

Sebagai penutup, terdapat firman Allah yang dapat menjadi pengingat kita dalam keadaan apa pun. 

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ اِلَّا لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ

Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat). (Q.S. Qaaf: 18)

Mari senantiasa berusaha menyempurnakan keimanan kita dengan selalu menjaga lisan.

Semoga bermanfaat.
Ditulis oleh Firda Fatimah

Lanjut Baca:

Guru Penyemangat
Guru Penyemangat Guru Profesional, Guru Penggerak, Blogger, Public Speaker, Motivator & Juragan Emas.

Posting Komentar untuk "Menjaga Lisan sebagai Cabang Iman Seorang Hamba (Disarikan dari Kitab Qomi’uth Thughyan)"