Widget HTML #1

Cerpen Tentang Kakak yang Sayang Terhadap Adiknya

Hai Sobat Guru Penyemangat, apakah kamu adalah kakak yang sayang terhadapa adikmu, atau kamu adalah adik yang disayang oleh kakakmu?

Ehem. Kisah kakak-adik memang penuh dengan suka duka, ya. Yang namanya saudara kandung tentu memiliki rasa saling peduli yang tinggi.

Hanya saja, tidak semua orang bisa menginterpretasikan kepedulian itu dengan cara yang sama. Seperti hasil penjumlahan dari angka dua. Tidak hanya 1+1, namun 9-7, 3-1, dan 0+2 hasilnya sama dengan dua.

Itu berarti bahwa banyak jalan untuk menghadirkan kepedulian.

Nah di sini Gurupenyemangat.com bakal menyajikan cerpen inspiratif tentang kakak yang sayang terhadap adiknya.

Mari disimak ya:

Cerpen: Ayum di Kala Hujan

Oleh Fahmi Nurdian Syah

Cerpen Tentang Kakak yang Sayang Terhadap Adiknya
Cerpen Tentang Kakak yang Sayang Terhadap Adiknya. Gambar oleh Christine Engelhardt dari Pixabay

Ayum adalah bocah yang gemar sekali memakai kaus oblong, berencana bermain bola bersama kawan sekampungnya setelah menghabiskan makan siangnya.

Sayur lodeh sisa kemarin terasa asin setelah beberapa kali dihangatkan, telah dilahap habis dalam sekejab mata.

Bukan karena lapar, Ayum hanya tidak sabar untuk bergabung bersama teman-teman yang menunggunya di lapangan dekat musala.

Namun, baru saja ia meletakkan piring kotor ke sumur, rintik gerimis mulai berjatuhan di atas kepala gundulnya.

Cepat-cepat ia berlari mengentas pakaian kering yang dijemur di samping rumah dan membawanya masuk. 

Ibunya sedang tidak di rumah saat ini, bantu-bantu di acara pernikahan Mbak Dewi, anak kepala desa yang rumahnya berjarak cukup jauh dengan rumah Ayum.

Jadilah ia dipasrahi ibunya untuk mengurus beberapa pekerjaan rumah menggantikan beliau.

Hujan semakin lebat, tapi tak memadamkan niatnya untuk bermain bola, mau hujan-hujanan sekali pun. 

Toh, ia berencana pulang sebelum ibunya sampai di rumah Magrib. Ibunya tidak akan tahu, bisa marah kalau sampai ketahuan.

“Mas, mau ke mana?” Suara lirih itu muncul ketika Ayum sampai di ambang pintu depan. Maya, adik perempuan Ayum baru saja bangun dari tidur siangnya.

 “Ke lapangan, kamu kok udah bangun, May. Kan baru sebentar kamu tidurnya,” tukas Ayum.

 “Jangan pergi, Mas, nanti aku sendirian.” Maya mulai merengek.

 “Sebentar aja, kok. Maya kan udah kelas satu, pasti berani jaga rumah sendirian.”

Wajah Maya semakin tertekuk dan memerah, tiba-tiba tangisnya pecah. Dengan memelas gadis itu menghampiri abangnya.

“Kok nangis sih, May? Biasanya kan kamu main di rumah sendirian!”

Ayum mulai menaikkan suaranya kesal, hujan telah melebat, meski samar ia bisa mendengar sorak sorai dari lapangan.

Teman-temannya telah bersenang-senang tanpanya, sementara Maya bersikukuh menahannya di rumah. 

Tangisan Maya semakin kencang, tangan mungilnya meraih ujung kaus Ayum sambil menarik-nariknya kecil. “Jangan tinggalin!”

Semua suara seolah meledak-ledak dalam telinga Ayum membuat kepalanya serasa berputar, dalam hatinya ia dongkol karena rencananya hancur berkeping-keping dalam sekejab.

Puncaknya laki-laki tersebut mendorong adiknya hingga terjerembab ke lantai, Maya semakin histeris.

“Diam dong, May! Jangan nangis lagi!” seru Ayum setengah panik, agaknya ia langsung merasa menyesal sampai hati memperlakukan adiknya seperti itu.

Ia hampiri Maya yang masih terduduk di lantai dan membantunya berdiri. Kemudian ia baru menyadari sesuatu yang salah.

“May, kamu ….” Ayum menyentuh kening Maya yang telah basah oleh keringat. Suhunya panas. “Kamu sakit, May?” Ayum melanjutkan.

Tiada jawaban berarti yang keluar dari mulut Maya selain rintihan dan isakan.

Lalu kilas ingatan tadi pagi terputar di otaknya, ketika ibunya berpesan untuk mengurus rumah saat kepergiannya juga menjaga adik perempuannya.

Ayum hanya mengiyakan saja saat itu, bahkan tak menyadari Maya yang sejak pagi tidak keluar dari kamar.

Mungkin saja ibunya telah memberitahunya bila Maya sedang demam, namun Ayum tak mendengarkan lantaran sibuk dengan tayangan kartun favoritnya di televisi.

Padahal ibunya telah memberi amanah padanya, bagaimana bisa ia sampai lalai dan membuat adiknya kesakitan seperti ini?

“May, kamu tunggu sebentar, ya?” Ayum bergegas meluncur ke bufet di tengah ruangan, membuka laci di sayap kiri tempat ibunya biasa menaruh obat dan salep di sana.

Sayang, ia hanya menemukan wadah tablet kosong obat pereda demam anak yang biasa ibu berikan pada Maya saat sakit.

Satu-satunya cara mendapatkan obat itu adalah membelinya di toko kelontong milik Pak Samin di RT sebelah. Cukup jauh memang.

Ayum kembali kepada Maya yang masih berdiri gamang, berusaha meredakan isakannya. “May, obatmu habis, Mas harus beli ke toko. Kamu Mas tinggal sebentar, ya?”

“Enggak mau … jangan tinggalin aku, Mas. Maya takut sendirian.”

Ayum bisa paham, di hujan selebat itu rawan pemadaman listrik secara tiba-tiba di daerahnya. Mana tega ia membiarkan Maya sendirian di rumahnya yang gelap.

Lekaslah Ayum memutar otak, kaki lincahnya berlari ke teras yang telah dibanjiri kubangan air hujan. Kepalanya melongok ke kanan dan ke kiri tak sabar.

“Mbah! Mbah Woh!” seru Ayum berusaha memanggil sosok tua yang sedang menyapu air hujan dari lantai teras di sebelah rumah, tetangganya.

Yang dipanggil tak menyahut, tidak dengar. Suara Ayum kalah dengan suara hujan.

Dengan gemas Ayum berlari menembus tirai hujan menghampiri Mbah Woh. Alangkah terkejutnya beliau melihat bocah gundul itu sekonyong-konyong muncul di sisi terasnya.

“Duh Ayum, kaget aku! Kirain tuyul!”

Biasanya Ayum akan mencak-mencak tak terima setelah dikatain “tuyul” oleh Mbah Woh seperti biasanya.

Namun kali ini ia sama sekali tidak sempat, kekhawatirannya terhadap Maya jauh lebih menguasainya.

“Boleh minta tolong jagain Maya? Aku mau beli obat buat dia,” jelas Ayum langsung.

“Loh, Nduk Maya lagi sakit?”

“Iya Mbah, aku enggak lama, Kok!” Ayum menjawab.

Mbah Woh seketika meletakkan sapu ijuk yang dipakainya. “Iya kamu pergi sana biar Maya mbah yang jagain, hati-hati lagi hujan jalanan licin. Pakai paying, kan?”

“Aku naik sepeda, Mbah. Lebih cepat.”

Mbah Woh mengangguk. Maya telah aman bersama Mbah Woh di rumah. Dengan tergesa, Ayum menuntun sepeda usangnya keluar dari dapur.

Ia kayuh pedal sepedanya sekuat yang ia bisa, jalanan utama di kampungnya masih berupa tanah setapak yang langsung berubah jadi kubangan lumpur ketika musim hujan.

Sulitnya medan yang dilauinya membuat Ayum lebih berhati-hati, ia tak ingin jatuh dan membuat badannya bau lumpur.

Ayum melewati padang lapangan yang dipenuhi kawan sepermainannya. Bocah itu hanya menatap mereka getir sembari terus mengayuh sepedanya.

“Woy! Ipin mau kemana?” tegur Ali, salah seorang temannya yang kerap mengusilinya dengan memanggilnya “Ipin”.

“Aku enggak main dulu!” balas Ayum sambil memelesat melintasi lapangan.

Air hujan yang sedari tadi mengguyurnya tanpa ampun kini mulai membuat tubuh kurus bocah kelas enam sekolah dasar tersebut menggigil dari ujung kepala plontosnya hingga ke ujung jari kaki.

Kalau melewati jalanan utama ia akan lebih lambat sampai ke tujuan, Ayum pun membanting setang sepedanya belok melewati gang kecil di antara kebun terong dan cabai.

Jalanan di sana hamper banjir oleh air yang telah naik melewati parit. Bagai mengayuh dalam air, kakinya terasa amat berat.

Namun bukan Ayum namanya kalau ia menyerah begitu saja.

Di depan terdapat pohon tua gundul yang cabangnya menjorok ke atas seperti jari-jari menyeramkan milik penyihir di televisi, di situlah ia harus berbelok, melewati jalan menurun yang licin.

Ayum membayangkan dirinya berada di atas tubuh seekor naga berbentuk ular yang melaju kencang menembus hujan.

Lurus dan mulus, itu yang ia harapkan hingga dilihatnya persimpangan yang menunjukkan jalan yang lebih lapang di depan. Ia nyaris sampai.

Pak Samin sedang menyeruput kopi hangatnya di emperan toko yang teduh ketika Ayum baru sampai di tokonya.

 “MasyaAllah! Kamu sampai hujan-hujanan gini ke toko mau beli apa, Nak?” tanya Pak Samin cenderung heran.

 “Obat Pak, cepat! Maya lagi sakit di rumah!”

Hujan sedikit mereda ketika Ayum berada di perjalanan pulang, kantung plastik yang ia gantung di setangnya telah basah.

Setelah ia parkirkan sepedanya sembarangan di halaman yang berlumpur, Ayum bergegas masuk. 

Hanya saja ia tak menyangka, sang ibu telah berada di kamar Maya bersama adiknya yang telah terlelap.

 “Ibu … Maya udah tidur?” tanya Ayum.


“Baru saja, dia manggilin kamu terus, loh. Kamu dari toko kata Mbah Woh?” jawab ibunya kalem. Wajahnya datar tak menampakkan ekspresi yang berarti.

Ayum sadar bahwa ia langsung masuk ke rumah tanpa mengeringkat kakinya atau badannya terlebih dahulu.

Bibirnya langsung terkatup, melirik ibunya ragu. Takut ibunya akan marah selepas ini, beliau paling tak suka ada lumpur di lantai rumah.

“Eh Kak Ayum udah pulang, obatnya udah dapat?” sambut Mbah Woh yang muncul dari arah dapur, membawa senampan teko berisi minuman hangat—kentara dari uap yang menyembul keluar—dan beberapa gelas.

Ayum mengangguk pelan tanpa berminat menjawab.

“Ibu lupa kasih tau kalau obatnya Maya ibu taruh di atas kulkas.” Kali ini ibunya kembali bicara, wajah ayunya yang semakin dipenuhi keriput tersenyum tipis.

“Kamu langsung beli obat baru rupanya, rumah udah dirapikan, jemuran juga sudah diangkat. Ibu senang kamu kakak yang bisa diandalkan.”

“Bapak di surga pasti juga bangga sama Ayum.” Ibunya melanjutkan, Ayum semakin bungkam menahan tangis haru.

~ Selesai ~

Guru Penyemangat
Guru Penyemangat Guru Profesional, Guru Penggerak, Blogger, Public Speaker, Motivator & Juragan Emas.

Posting Komentar untuk "Cerpen Tentang Kakak yang Sayang Terhadap Adiknya"