Widget HTML #1

Cerpen: Tuduhan Tak Berdasar

Cerpen: Tuduhan Tak Berdasar

Oleh Inong Islamiyati

Cerpen Tuduhan Tak Berdasar
Cerpen Tuduhan Tak Berdasar. Gambar oleh PublicDomainPictures dari Pixabay

“Kamu yang mengambil pulpenku, iya kan!?” Suara Reyhan menggetarkan ruang kelas yang semula damai

“Bukan aku,” sangkal Ranu 

“Alah jangan bohong kamu! Sejak tadi cuma kamu seorang yang ada di  kelas. Kami semua, tadi sedang bermain basket di halaman. Jadi sudah jelas kamu pelakunya,” Reyhan semakin memojokkan Ranu. Tidak memedulikan Ranu yang hendak menjelaskan, Reyhan terus menerus marah.

“Meski hanya aku yang ada di kelas, bukan berarti aku pelakunya. Coba kamu cek lagi di dalam tasmu siapa tahu terselip.”

“Kalau misalnya ada, aku juga tidak akan marah begini. Sudahlah akui   saja perbuatanmu cepat!”

“Kubilang bukan aku!”

“Kamu juga sering sekali meminjam barangku. Siapa lagi kalau bukan kamu!” Reyhan tambah berapi-api seolah dirinya memang benar dan Ranu yang bersalah.

Para murid yang lain hanya diam ketakutan. Sebagian ada yang mencoba melerai mereka. Sebagian ada yang mencoba cuek saja. Sementara Reyhan dan Ranu masih saja beradu mulut tak mau mengalah.

“Ada ribut-ribut apa ini,” suara Bu guru menghentikan perkelahian mereka. Reyhan dan Ranu menatap sinis dan penuh kebencian.

“Dia mencuri pulpen mahal saya Bu,” tuduh Reyhan

“Enak saja kau bicara. Sudah kubilang bukan aku,” balas Ranu sambil bersungut-sungut

“Kalau bukan kamu siapa lagi?” tuduh Reyhan lagi

“Sudahlah hentikan kalian berdua! Kalian ini jangan bertengkar. Reyhan kau sudah periksa betul-betul tasmu? Atau jangan-jangan pulpenmu ketinggalan di rumah?”

Pulpen yang Ketinggalan
Pulpen yang Ketinggalan. Gambar oleh RitaE dari Pixabay

“Tidak Bu. Saya selalu menaruh pulpen saya di tas dan saya yakin, kalau pulpen saya sudah dimasukkan tadi malam. Lagi pula sejak tadi hanya Ranu yang ada di kelas. Jadi sudah jelas dia pelakunya.”

“Kamu mau berantem? Ayo sini lawan aku,” tantang Ranu

“Oke siapa takut,” Reyhan mulai melotot dan siap memukul Ranu

“Berhenti kalian,” seru Bu guru sambil menjewer kedua telinga mereka

“Aduh duh Bu,” seru Reyhan

“Aduh sakit Bu,” seru Ranu juga.

“Kalian berdua ibu hukum karena sudah mengganggu ketertiban. Nanti setelah pulang sekolah, kalian harus membersihkan WC di dekat lapangan sana,” seru Bu guru sambil menunjuk WC itu dengan dagunya

“Tapi Bu?”

“Gak ada tapi-tapian.” Bu guru mengakhiri pertengkaran mereka dan kembali mengajar di kelas. Sementara Reyhan dan Ranu masih saling menatap penuh kebencian.

Reyhan dan Ranu adalah teman sejak kecil. Mereka adalah tetangga dan selalu bermain bersama semenjak taman kanak-kanak. Namun tiga tahun terakhir tepatnya saat mereka kelas 4, Ranu pindah. 

Sejak itu hubungan mereka mulai renggang. Apalagi setiap kali Reyhan hendak mengajak Ranu bermain, Ranu selalu saja sibuk.

Meski mereka masih sekelas di SMP, namun mereka tidak pernah bermain bersama lagi. Hal itu membuat Reyhan merasa kalau Ranu sombong dan akhirnya mereka justru bermusuhan bagaikan kucing dan Tikus.

“Nih, aku tadi sudah bersihkan lantainya. Kamu tinggal bersihkan kloset, aku duluan ya soalnya mau pergi ke mal. Mau beli pulpen baru.” Reyhan langsung menyerahkan kain pel ke tangan Ranu dan menggandeng tasnya.

“Eh belum selesai tau. Kok malah kabur,” seru Ranu

“Bagianku sudah selesai. Sekarang tinggal bagianmu saja. Sudahlah aku duluan. Nanti jangan lupa kunci pintu toiletnya ya.”

“Hei aku sudah jujur padamu, aku tidak mencuri!” seru Ranu membuat Reyhan berbalik

“Terserah kamu mau jual pulpen itu atau mau kamu pakai. Aku sudah tidak peduli,” Reyhan pergi dari toilet dengan wajah masam. Sementara Ranu juga tersenyum kecut karena pengakuannya seolah tidak berguna.

“Assalamu’alaikum,” seru Reyhan sambil masuk ke dalam rumah

“Wa’alaikumussalam, eh sudah pulang Nak. Ganti baju dulu baru makan ya,” pesan ibu kepada Reyhan setiap kali dia baru pulang sekolah

“Iya Bu,” balas Reyhan sambil pergi menuju kamarnya.

Ketika selesai mengganti baju dan baru hendak ke meja makan, mata Reyhan membulat melihat pulpen mahal kesayangannya sudah bertengger di atas meja belajar.

Padahal Reyhan sangat yakin kalau dia tidak memakai pulpen itu kemarin. 

“Ibu, ibu,” teriak Reyhan

Boleh Baca: Cerpen Tentang Pesan dari Ibu Guru

“Ada apa, Nak?” 

“Ibu pakai pulpen Reyhan ya semalam?”

“Loh pulpen itu kan dipakai Dito  kemarin. Katanya kamu enggak punya pensil hanya ada pulpen, makanya Dito pinjam untuk menyelesaikan PR matematikanya,” jelas ibu. Dito adalah adik Reyhan.

“Argh... Sial,” keluh Reyhan sambil menjambak rambutnya 

“Kenapa, Nak?”

“Ibu, Reyhan malu sekali sekarang. Semuanya salah Reyhan.”

“Coba sini cerita sama Ibu. Siapa tahu Ibu bisa membantu,” seru ibu sambil duduk di sofa. Reyhan pun melakukan hal yang sama dan mulai menceritakan pengalaman memalukannya. 

“Kamu harus minta maaf sama Ranu,” ucap ibu ketika Reyhan selesai bercerita

“Tapi Bu, dia juga salah. Buktinya kenapa dulu dia seperti marah padaku? Setiap kali Reyhan hendak mengajaknya bermain, dia selalu sibuk.”

“Reyhan, anak Ibu. Terkadang, seseorang tidak ingin menceritakan masalahnya pada orang lain. Bukan berarti sombong, tetapi karena dia mencoba untuk kuat. Reyhan yang salah. Kenapa Reyhan menuduh dia tanpa bukti? Itu dosa Nak.”

“Iya ibu, Reyhan akan pergi ke rumah Ranu sekarang juga.”

“Nah begitu dong. Itu baru namanya anak ibu. Oh iya, kamu sekalian bawa beberapa biskuit buatan ibu ya. Kebetulan ada yang baru matang. Sebentar ibu ambilkan.” Ibu segera ke dapur untuk mengambil biskuit kemudian menyerahkannya kepada Reyhan.

“Minta maaflah dengan tulus ya Nak. Bagaimanapun dia itu temanmu,” pesan ibu sebelum Reyhan hendak naik sepeda karena rumah Ranu cukup jauh.

“Iya ibu, Reyhan berangkat dulu ya. Assalamualaikum.”

“Wa’alaikumsalam,” jawab ibu

Reyhan mengayuh sepeda perlahan sambil memikirkan bagaimana cara agar Ranu mau memaafkannya.

Dia malu. Sangat malu sekali karena sudah menuduh Ranu. Ranu tentu saja marah. Dia dituduh melakukan hal yang sama sekali tidak dia perbuat.

“Ah,” seru Reyhan saat mendapati Ranu tengah duduk di teras rumahnya

“Mau apa kamu kemari? Mau mengajak berantem lagi?” tanya Ranu dingin

“Em... Anu aku, aku mau minta maaf,” ucap Reyhan pelan

“Apa?”

“Aku mau minta maaf,”

“Kurang keras!”

“Aku minta maaf atas sikapku yang buruk. Seharusnya aku tidak menuduh tanpa bukti yang jelas. Aku sungguh amat menyesal. Maafkan aku Ranu.”

“Makanya, dari awal jaga mulut kalau mau bicara dan dengarkan kata-kata orang lain.”

“Iya maafkan aku Ranu. Tetapi bolehkah aku bertanya?”

“Mau tanya apa?”

“Kenapa kamu selalu sibuk saat aku mengajakmu bermain?”

“Aku harus membantu ibuku berjualan. Aku juga sibuk sekali belajar karena aku ingin jadi Rangking pertama. Jujur akhir-akhir ini kondisi keuangan kami sedang sulit, makanya aku ingin memberikan hadiah kecil untuk ibuku.”

Boleh Baca: Cerpen Tentang Pesan Ibu di Tepi Pantai

“Kalau saja kamu jujur lebih awal, kita tidak akan bermusuhan seperti ini,” ucap Reyhan

“Dan jika dari awal kamu tidak menuduhku, mungkin aku tidak bisa menjelaskan semuanya,” seru Ranu. Mereka berdua terdiam sejenak.

“Hahahaha,” Reyhan dan Ranu akhirnya tertawa bersama. Kemudian Ranu mengajak Reyhan untuk duduk di teras sambil berbincang-bincang.

Kesalahpahaman mereka yang selama ini menumpuk, akhirnya berhasil terselesaikan. Meski dengan cara yang agak pahit.

“Hei kita pergi jalan-jalan naik sepeda yuk, kamu mau kan Ranu?”

“Boleh deh. Kebetulan aku juga sudah agak suntuk belajar. Butuh istirahat sejenak,” seru Ranu.

Mereka berdua akhirnya pergi mengelilingi lingkungan sekitar rumah. Reyhan yang mengayuh sepeda sementara Ranu dibonceng di belakang.

Ranu sangat menikmati angin yang menerpa wajahnya sambil terus menyeimbangkan diri di boncengan berdiri sepeda Reyhan.

Sungguh membahagiakan dan harum. Seharum biskuit ibu Reyhan yang kini telah tertinggal di bangku teras rumah Ranu.

*Selesai*

Guru Penyemangat
Guru Penyemangat Guru Profesional, Guru Penggerak, Blogger, Public Speaker, Motivator & Juragan Emas.

Posting Komentar untuk "Cerpen: Tuduhan Tak Berdasar"