Widget HTML #1

Cerpen Tentang Kehidupan Buruh Harian

Cerpen Tentang Kehidupan Buruh Harian
Cerpen Tentang Kehidupan Buruh Harian. Gambar oleh Alireza Leyli dari Pixabay

Hai, Sobat Guru Penyemangat, seberapa sering kamu melihat kehidupan para buruh harian?

Ketika kita melihat kerja keras mereka, rasa-rasanya kita ingin terus meninggikan syukur hingga hari ini, ya.

Bagaimana tidak bersyukur, di era yang terkadang penuh dengan kebercandaan ini mencari pekerjaan sangatah sulit.

Maka darinya, beruntunglah kita yang sudah terlepas dari jerat pengangguran. Tidak hanya bersyukur, kita perlu menjalankan amanah tersebut dengan sebaik-baiknya.

Nah, berikut Gurupenyemangat.com sajikan seutas cerpen singkat tentang kehidupan buruh harian. Mari disimak ya.

Cerpen: Buruh Harian

Oleh Syamsuddin Sahdan

Di atas langit sana, matahari sedang benderang tanpa kabut awan. Sinarnya memanggang kulit-kulit umat manusia. Siapa pun terpapar, tubuhnya bermandikan keringat.

“Saudara-saudara, kawan-kawan semua. Kita hadir di sini untuk satu tujuan dan atas kesadaran bersama, yaitu kita menginginkan perbaikan di Negeri tercinta ini.”

“Oleh karena itu, tidak ada kata menyerah sebelum terwujud cita-cita kita. Mundur satu langkah merupakan bentuk pengkhianatan perjuangan” pekik Nurin dengan suara lantang, parau. Ia berdiri di atas kepala mobil truk besar, memegang toah berwarna merah.

Orasi itu kemudian ia tutup dengan kalimat ikrar Sumpah Mahasiswa “Kami Mahasiswa Indonesia bersumpah ..... Hidup mahasiswa!”

“Hidup mahasiswa!” sambut  puluhan-ratusan mahasiswa lainnya yang ikut melakukan aksi demonstrasi di depan gedung DPR. 

Aksi itu mereka lakukan sebagai bentuk protes atas kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh DPR. Menurut Nurin dan mahasiswa lainnya tidak berpihak kepada rakyat.

“Woi kenapa melamun, cepat lanjutkan kerja!” teriak seorang laki-laki, berkulit cokelat. Dia adalah mandor yang mengawasi pekerja buruh proyek pembangunan bendungan.

“Ee, maaf, Pak” teriakan itu memecahkan kepala Nurin yang sedang mengingat-ingat dirinya ketika kuliah dulu. Ia langsung beranjak dari duduknya dan kembali memegang skop melanjutkan pekerjaannya. 

Satu tahun sudah Nurin telah keluar dari kampus dengan gelar sarjananya. Dan hampir satu tahun pula ia telah menjadi pekerja buruh harian. 

***

Langit yang sama, dan matahari masih tetap panas membakar sesiapa saja yang berada di bawahnya.

Namun bedanya hari itu Nurin tidak lagi berteriak memegang toa, tidak lagi menggunakan almamater kampus-organisasi kebanggaannya. 

Melainkan kini ia jadi seorang pekerja buruh, memegang skop atau cangkul untuk mengaduk campuran (kerikil, pasir, semen dan air) bersama para pekerja lainnya.

Tanah, lahan, ternak yang dimiliki orang tuanya kini habis terjual untuk pembayaran uang kuliahnya dulu. Dengan harapan pendidikan akan mengangkat derajat hidup mereka.

Karena itulah mereka sebenarnya yang dulu bekerja sebagai petani dan peternak terpaksa ikut menjadi pekerja buruh harian, sebab tanah dan ternak sudah habis terjual seperti yang dilakukan kebanyakan orang di kampungnya.

Beberapa kali ia melamar kerja pada kantor-kantor negeri atau swasta, tetapi bel juga diterima.

Pun kalau diterima hatinya yang menolak, sebab berasa tidak cocok dengan dirinya. Entah karena gaji yang kurang, atau sistem yang ada di dalamnya.

Pernah juga ia melamar sebagai guru honorer di salah satu sekolah menengah swasta, tetapi tidak sampai satu tahun ia berhenti.

Sebab gajinya dirasa kurang, apalagi jarak menuju ke sekolah tempatnya mengajar terbilang jauh.

Berbulan-berbulan ia menjadi pengangguran, mengantar surat lamaran ke sana-sini tapi belum juga ia mendapatkan panggilan kerja.

Tidak ingin larut dengan itu, Nurin lalu ikut kerja dengan bapaknya menjadi pekerja buru harian.

Bulan-bulan pertama ia bekerja, tampak tidak ada masalah, semuanya terlihat baik-baik saja. 

Upah pekerja dihitung per hari kerja dan semuanya lancar. Semua pekerja senang, mereka menikmati hasil keringatnya.

Tetapi semua bersifat sementara. Sekitar tiga empat lima bulan dan seterusnya, perubahan demi perubahan mulai terjadi. 

Mula-mula penambahan waktu kerja, yang biasanya masuk pukul 08.00 dan selesai pukul 17.00 berganti hingga pukul 18.00 Lebih, bahkan tak jarang para pekerja lembur hingga mendekat larut malam.

Selanjutnya pemotongan gaji karena pekerjaan tidak mencapai target, terlambat dan sebagainya. Hingga sampai pada pemecatan pekerja dengan alasan sudah tidak produktif untuk bekerja.

“Kalau mereka diberhentikan dari pekerjaan. Bagaimana cara mereka menyambung hidup? Sebab tanah yang dimiliki untuk lahan pertanian pun telah habis terjual” gumam Nurin membatin. Tapi ia hanya memprotes dalam kepalanya, belum memberikan reaksi dalam bentuk praksis.

Sampai akhirnya suatu sore menjelang magrib entah perihal apa, sang mandor memanggil beberapa orang pekerja buruh ke sebuah pondok yang biasa di tempati pekerja untuk beristirahat, berikut ayah Nurin. Pekerja yang lain dipersilakan untuk pulang terlebih dahulu.

“Jadi, Pak, kami harus berhenti? Apa tidak bisa kami tetap bekerja, tenaga kami masih kuat dan sanggup bekerja” terang salah seorang buruh teman ayah Nurin. 

“Sekali lagi maaf, Pak. Ini sudah keputusan dari atasan, saya hanya menyampaikan apa yang diperintah. Besok lusa akan ada pekerja baru yang akan menggantikan posisi kalian, jadi tidak bisa” terang mandor.

Wajah-wajah penuh harap, cemas, murung, marah, bingung, bercampur aduk dalam pikiran mereka. Pengurangan pekerja sekali lagi kembali diberlakukan.

Boleh Baca: Cerpen Keserakahan Menghilangkan Segalanya

***

“Saudara-saudara sekalian. Kita semua senasib, sama-sama hidup dari pekerjaan ini. Lihatlah kesewena-wenangan mereka kepada kita. Memecat kawan-kawan kita sesuka hatinya dengan alasan-alasan yang tidak bisa diterima,” Nurin berorasi dengan penuh emosi. Ia memimpin puluhan buruh melakukan aksi protes.

“Mungkin hari ini kawan-kawan kita yang diberhentikan, tapi besok atau lusa kita pun akan merasakannya”   

“Betul..!” teriak pekerja berjamaah.

Hari itu lokasi proyek dipenuhi oleh peserta aksi.

Satu demi satu orang-orang ikut bergabung, membuat massa semakin banyak. Bahkan mereka yang tidak bekerja sebagai buruh di tempat itu juga ikut serta meramaikan.

“Kami ingin jalan keluar. Semua buruh yang dipecat kembali dipekerjakan, tidak ada pemotongan gaji, dan tidak ada tambahan jam kerja. Jika tidak kami semua akan melakukan aksi mogok dan akan memboikot tempat ini” tutur sang orator.

Mandor yang berada di dalam tenda bersama dengan beberapa orang lainnya terlihat kebingungan. Sedang mencari-cari celah untuk menemukan solusi apa yang harus mereka jawabkan.

“Saya tidak mau tahu, bereskan masalah ini!” terang salah seorang lelaki, yang sepertinya atasan sang mandor.

“Baik, Pak!” jawabnya. Lalu keluar dari tenda menuju orang-orang yang sedang kerumun melakukan aksi. Yang ditinggal segera meraih HP dan menelpon seseorang.

Baru beberapa langkah keluar dari tempatnya, ia sudah diteriaki cacian dan makian oleh peserta aksi. Karena diberi tugas, ia tetap meneruskan langkahnya menghadapi massa.

“Bapak-bapak, saudara-saudara sekalian, tolong tenang! Saya tadi sudah bicara dengan bos kita, dan......bugg” belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, sebuah batu melayang dan hampir mendarat di kepalanya.

Setela itu satu-satu batu dilayangkan oleh massa, membuat pak Mandor lari ke belakang mengamankan diri.

Berulang-ulang Nurin berteriak untuk berhenti, tetapi massa tidak peduli. Seolah-olah tak terdengar di telinga mereka, meski dengan pengeras suara sekalipun.

Orang-orang yang dipimpin Nurin untuk melakukan protes, semakin tak terkendalikan. Mereka mulai merusak fondasi yang baru dibangun.

Merusak tembok-tembok bangunan. Bahkan sampai melempari kaca-kaca mobil.

Nurin berusaha menghentikan aksi brutal para pekerja, sayang kemampuannya tidak cukup untuk mengendalikan keributan itu. 

Tidak berapa lama keributan terjadi, polisi berdatangan entah dari arah mana begitu banyaknya.

Langsung mengamankan kondisi, menembakkan gas air mata hingga menangkap mereka-mereka yang dia dapati.

Peserta aksi mulai mundur, dan formasi berserakan. Lokasi pembangunan proyek itu penuh dengan asap gas air mata.

Antara satu dengan yang lain sulit mengenali. Di tengah-tengah kondisi seperti itu Nurin, tersadarkan bahwa bapaknya juga ikut dalam barisan aksi protes.

“Ke mana bapak. Ya Tuhan, di mana bapak saya?” Nurin kebingungan mencari jejak-jejak ayahnya.

Lama ia menyusuri tempat itu, sayang kondisinya tetap sama. Tidak terlihat dengan jelas, Nurin sulit menemukan orang yang dicarinya.

Perlahan sedikit demi sedikit, suasana mulai membaik. Udara tidak lagi dipenuhi asap. Nurin masih menyusuri tempat itu.

Tiba-tiba matanya menangkap seseorang yang ada di samping mobil proyek terbaring di sana.

Ragu-ragu ia melangkah mendekati sosok itu. Jantungnya berdebar memacu keras, cepat. Semakin dekat semakin matanya dapat melihat dengan jelas dan mengenalinya. 

Buruh-buruh ia meraih badan yang terbaring itu kepalanya berdarah seperti tertimpa sesuatu yang keras dan tajam.

“Bapak........” Nurin berteriak ke langit. Terisak tangis.

Tubuhnya serasa lumpuh seperti tak bertulang. Kakinya tidak lagi sanggup menahan beban tubuhnya. Kesadarannya hilang. Ia roboh di samping jasad ayahnya.

***

Lanjut Baca: Cerpen Ayahku Pahlawanku

Guru Penyemangat
Guru Penyemangat Guru Profesional, Guru Penggerak, Blogger, Public Speaker, Motivator & Juragan Emas.

Posting Komentar untuk "Cerpen Tentang Kehidupan Buruh Harian"