Widget HTML #1

Cerpen: Ayahku Pahlawanku

Hai Sobat Guru Penyemangat, Setujukah Kamu Jikalau Kukatakan Bahwa Salah Satu Pahlawan Terbaik yang Ada di Dekat Kita Saat Ini Adalah Ayah?

Aku rasa kita semua pasti setuju, ya. Ayah, Papa, hingga Abah mungkin tidak ikut berperang melawan penjajah, tapi nyatanya beliau adalah pahlawan pejuang masa depan kita.

Ayah tidak seperti pemimpin yang banyak bicara daripada kerja, dan Ayah pula tidak seperti orang lain yang enggan peduli.

Untuk menghargai perjuangan Ayah, di sini Gurupenyemangat.com ingin menyajikan cerpen tentang Ayahku Pahlawanku.

Cuzz, langsung disimak ya:

Cerpen: Ayahku Pahlawanku

Cerpen Ayahku Pahlawanku
Cerpen Ayahku Pahlawanku. Dok. Gurupenyemangat.com

“Nak, kita makan nasi sayur sebentar yuk, di warung makan yang di sebelah sana tuh.”

“Ah, enggak mau aku, Yah. Aku enggak lapar, kok. Ayah saja yang ke sana.”

“Enggak lapar bagaimana. Hari ini sudah sore, sedangkan sejak pagi tadi kamu belum makan.”

Dari sudut pintu warung makan, terlihat seorang saptam dan anak gadis sedang berjalan seraya menatap hidangan. Keduanya mungkin sudah sangat lapar, namun sang anak sedang belajar berasa kuat.

Ya.

Anak gadis itu adalah aku. Sedangkan satpam itu adalah Ayahku. Tepatnya satpam honorer yang bekerja mengawasi keamanan minimarket yang tidak jauh dari warung makan.

“Mas, berapa harga nasi sayur di sini?”

“Enam ribu, Pak.”

“Oke, tolong buatkan satu porsi, ya.”

“Satu saja, Pak?”

“Iya.”

Benar. Aku sudah tahu, kok. Ayah pasti memesankan nasi sayur untukku. Padahal aku tahu beliau sejak pagi tadi belum makan.

Ayahku dari dulu memang begitu. Mentang-mentang sudah lama ditinggalkan oleh Ibu ke negeri barzah, beliau begitu pontang-pantingnya menyekolahkanku. Padahal aku bisa kerja.

Ya, minimal aku bisa jadi kurir, atau pelayan di rumah makan. Untuk seorang gadis sepertiku, rasanya tidak terlalu penting harus sekolah tinggi-tinggi. Untuk apa juga coba. Palingan nanti pas udah nikah, kerjaanku cuma di dapur, kasur, dan sumur. Eh, kamar mandi ya kalo sekarang.

“Nakdis Ayah, ini nasinya sudah datang. Makan gih!”

“Ah, enggak mau, Yah. Masa cuma nasi sayur doang. Minimal nasi telur kek, atau nasi lauk ayam gitu.”

“Hemm. Kamu kan tahu sendiri, Nak. Uang Ayah cuma segini. Syukuri saja dulu, mudah-mudahan kedepannya gaji Ayah naik.”

Aku sejatinya tidak pilih-pilih soal makan. Sengaja aku menolak, karena jika tidak begitu, Ayahku tidak akan pernah mau makan.

“Nak, ayolah, makan. Nanti kamu sakit lho, Ayah yang repot.”

“Iya, deh.”

Hemm. Ayah sudah memaksaku. Mau apa lagi. Aku makan dua suapan saja rasanya sudah cukup.

“Sudah ah. Bumbunya terlalu asin, Yah. Jadi enggak selera makan akunya.”

“Masa sih. Coba Ayah makan. Perasaan ini warung nasi padang lho.”

Aku sengaja berdusta, karena jika tidak begitu Ayahku tiada bakal mau makan.

“Nasinya enak kok, Nak. Sayurnya juga. Mana ada yang keasinan.”

“O iya, Yah. Aku mau langsung cari kerja saja ya, Yah. Tadi aku sempat bertanya kepada teman dan melihat brosur. Ternyata uang kuliah sangat mahal. Nilai SMA-ku juga tidak bagus-bagus amat. Jadi tidak ada jalur beasiswa untukku.”

“Besar, ya. Memangnya berapa, Nak?”

“Biaya semesternya 3 juta/semester, Yah.”

Nah, kan. Apa aku bilang! Sontak saja Ayahku tertengun. Beliau bahkan tak sempat mengernyitkan kening tanda berpikir.

“Tidak apa-apa, Nak. Ayah sanggup kok! Mulai besok Ayah bakal cari lembur dua kali dalam seminggu. Atasan Ayah baik, kok. Mudah-mudahan dia mau ngasih Ayah kesempatan pekerjaan tambahan.”

“Tidak perlu, Ayah. Aku mau cari kerja saja. Minimal aku bisa membantu Ayah dan meringankan beban keluarga.”

“Beban keluarga apanya, Nak? Keluarga Ayah saat ini hanya kamu seorang. Tidak ada yang lain lagi, Nak. Ibu sudah lama meninggalkan kita. Biarkan dia bahagia di alam sana. Kita yang harus berjuang.”

“Pokoknya aku tidak mau kuliah, Yah. Aku takut berhenti di tengah jalan.”

“Ayah yakin, Nak. Kamu pasti bisa menjalani rintangan ini. Ayah mau melihatmu mengenakan topi wisuda, Nak. Jangan hancurkan cita-citamu. Dulu kamu bilang sama Ayah bahwa kamu ingin jadi Dosen, kan? Bagaimana bisa kamu melupakan inginmu yang Ayah dengar nyaris setiap malam.”

Benar, Ayah. Aku ingin sekali jadi dosen. Tapi keadaannya sekarang seperti memaksaku untuk membuang cita-cita besar ini jauh-jauh.

Aku takut Ayah kerja terlalu keras lalu sakit. Sudah sejauh ini, dan nyatanya Ayah adalah pahlawanku. Sosok yang menemani sepi, sedih, dan ramaiku. Ayah sudah cukup menderita.

“Pokoknya kamu harus kuliah, Nak. Ayah akan langsung lanjut kerja, nih. Kalau perlu, Ayah akan berpuasa setiap dua hari demi membayar uang kuliahmu. Berapa pun harga masa depan, Ayah akan bayar!”

Aku sedih. Rasanya hati ini begitu tergores bahkan tercabik-cabik saat aku meratapi keadaan. Entah mengapa dunia ini serasa begitu kejam. Tapi biar sekejam apa pun, aku tetap mencintai Ayahku.

“Baik, Yah. Sudah, Ayah makan dulu sampai selesai. Hari ini Ayah tidak perlu lembur. Kita pulang dan istirahat, ya Yah. Aku bakal kuliah kok. Aku bakal menggapai cita-citaku, dan aku bakal membuat Ayah bangga.”

Aku tidak lagi bisa menolak. Padahal hati ini begitu ingin untuk menyerah, tapi Ayah selalu saja menguatkanku. Ayah benar-benar pahlawanku.

Aku berjanji sejak hari ini dan seterusnya bakal melakukan yang terbaik. Aku tidak mau lagi bersemayam di dalam lubung keputusasaan. Aku pasti bisa membuat Ayah bangga.*

TAMAT

***

Nah. Demikianlah sajian Guru Penyemangat tentang cerpen Ayahku Pahlawanku. Mudah-mudahan cerita singkat di atas mampu menginspirasi kita semua, ya.

Salam.

Lanjut Baca: Cerpen: Guruku Pahlawanku

Guru Penyemangat
Guru Penyemangat Guru Profesional, Guru Penggerak, Blogger, Public Speaker, Motivator & Juragan Emas.

Posting Komentar untuk "Cerpen: Ayahku Pahlawanku"