Widget HTML #1

Cerpen: Takaran Cinta pada Penghuni Dunia

Cerpen: Takaran Cinta pada Penghuni Dunia

Oleh Sri Rohmatiah Djalil

Cerpen: Takaran Cinta pada Penghuni Dunia
Cerpen: Takaran Cinta pada Penghuni Dunia. Gambar oleh Pezibear dari Pixabay

Penduduk desa merasakan kasihan pada gadis itu. Dalam satu tahun, tiga anggota keluarganya meninggal. Awal tahun bapaknya, diikuti ibunya dan di akhir tahun neneknya pun menyusul. 

Tidak ada yang tahu penyebab kematian tiga anggota keluarga gadis itu. Setiap kali warga melayat, sang gadis berkata jika anggota keluarganya mengalami serangan jantung. 

Untuk kematian orang tuanya, warga pun percaya karena sebelumnya bapak dan ibu dari gadis itu sering ke puskesmas setempat. 

Namun, entah ada bisikan dari mana, setelah kematian neneknya, tiba-tiba penghuni desa menganggap ini sebuah kehidupan yang buruk, sang gadis penyebabnya.

Gadis pembawa sial, penyebab atas kematian seluruh keluarganya. Nama Nur tidak sesuai dengan nasibnya, itu kata warga setempat.

“Hati-hati jangan dekat-dekat rumah itu, nanti terbawa sial?” desas-desus di warung sebelah. 

Setiap kali ada Mbok Irah belanja, ibi-ibu segera menjauh. Sementara penjaga warung menutup rolling door dengan terburu-buru. 

“Dasar orang-orang munafik!” geram Mbok Irah sambil membalikkan badan. 

Nur hanya termenung memikirkan nasib. Apalagi setelah beredar isu tak sedap tentang dirinya, si pembawa sial.

“Pergilah Mbok, aku takut, nasib buruk datang pada Mbok juga. Aku memang gadis pembawa sial,” ujar Nur kepada pengasuhnya ketika lepas salat Isya.

“Mbok lebih mengenalmu dari penduduk desa, Ndhuk,” jawab Mbok Irah.

Itu artinya Mbok Irah tidak akan meninggalkan Nur sendirian di rumah besar peninggalan orang tuanya.

Nur melebarkan bibir, tetapi gurat kesedihan masih tergambar, tersenyum hanya menunjukkan dirinya baik-baik saja.

***

Rumah bergaya joglo dengan empat pilar tampak kokoh, atap yang menjulang ke atas, memberi makna kebaikan dalam hidup. Nur menatap pendopo dari dalam sentong orang tuanya. 

“Tak ada lagi tamu yang datang ke pendopo sepeninggal Bapak,” gumam Nur. Tidak ada yang timpal, karena Nur hanya berdua dengan si kucing kesayangannya.

Si kucing yang berada dalam pangkuan Nur menatap tak bersuara, seolah-olah mengerti apa kegundahan gadis malang itu.

Dari arah pringgitan, Mbok Irah tergopoh menuju omah njero yang sepi sambil membawa satu tas belanjaan. 

“Ndhuk, Ndhuk, di mana kamu?” teriak Mbok Irah keras.

Mendengar teriakan Mbok Irah, Nur segera menggendong si kucing kesayangan dan menuju arah suara.

“Mbok sudah ke Pak Lurah, melaporkan isu warga itu, kamu jangan sedih ya, semua baik-baik saja, nanti biar Pak Lurah yang menjelaskan ke warga,” terang Mbok Irah ketika Nur sudah berada di hadapannya.

“Terima kasih Mbok, sekarang Nur hanya punya Mbok saja,” seru Nur sembari memeluk tubuh rapuh Mbok Irah.

“Mbok juga, tidak ada lagi kerabat selain kamu, Ndhuk, Mbok ikut sampeyan saja sampai mati.” 

“Duduk sini, Ndhuk!” ujarnya lagi.

Mereka duduk di omah njero, satu persatu belanjaan yang dibawa Mbok Irah dikeluarkan Nur.

Mungkin ini kali pertama gadis usia 20 tahun memegang sayuran mentah, apalagi baru keluar dari keranjang. 

“Mulai sekarang, Mbok ajari kamu memasak, agar bisa menyiapkan makanan untuk suamimu kelak, seperti ibumu. Masakan ibu enak, sampai-sampai bapakmu tidak mau makan masakan Mbok jika tidak terpaksa.”

Boleh Baca: Cerpen Perbedaan Perlakuan Ibu

Mendengar ucapan si Mbok, Nur tersentak kaget, dia tampak menelan ludah. Bayam yang ada digenggamannya terjatuh.

“Kenapa kaget, Ndhuk, kamu kan sudah dewasa, waktunya menikah, punya anak,” lanjut si Mbok, tangannya mengambil bayam yang belum sempat diambil Nur.

“Mbok, saya kan pembawa sial, mana ada laki-laki yang bersedia menikahi saya,” jawab Nur.

“Jangan memberi label buruk pada diri sendiri. Semua orang akan meninggalkan kita, tanpa tahu kapan waktunya.”

“Ada waktunya kita bersama, ada waktunya kita berpisah. Kamu juga akan meninggalkan Mbok dan ikut bersama suamimu. Mbok juga akan meninggalkan, menyusul orang tuamu. Kita sedang antri, Ndhuk,” lanjut Mbok Irah, tangannya sibuk memotong batang bayam.

Nur menunduk, bulir bening mulai berurai membanjiri kedua pipinya.

Tak ada yang dapat menghentikan kesusahan, tidak juga Mbok Irah. Kalau bukan raga dan jiwa beriman, langkah akan salah arah. 

“Takarlah cintamu, Ndhuk. Cinta pada penghuni dunia tak perlu berlebihan, lebihkanlah cintamu pada Sang Khalik!”

Jemari yang tinggal kulit dan tulang itu menyapu kemelut di mata bulat milik Nur.

Boleh Baca: Cerpen Ingin Dirindukan Penduduk Langit

Catatan kaki

  • Pringgitan adalah lorong penghubung antara pendopo dan rumah bagian dalam.
  • Sentong adalah kamar utama
  • Pendopo bagian paing depan dari rumah 
  • Ndhuk adalah sebutan kepada anak perempuan 
  • Omah njero, bagian dalam rumah

Guru Penyemangat
Guru Penyemangat Guru Profesional, Guru Penggerak, Blogger, Public Speaker, Motivator & Juragan Emas.

Posting Komentar untuk "Cerpen: Takaran Cinta pada Penghuni Dunia"