Cerpen Tentang Hari Guru Nasional Singkat dan Inspiratif
Hai, Sobat Guru Penyemangat, sudahkah kamu mengucapkan Selamat Hari Guru Nasional kepada Gurumu Tercinta?
Semoga sudah, ya, karena ucapan tersebut adalah secarik apresiasi sederhana yang mudah untuk disampaikan namun memiliki kesan yang mendalam bagi seorang guru.
Seketika ucapan Hari Guru sampai ke telinga guru dari tulusnya perkataan siswa, seketika itu pula guru merasa lebih bahagia di hari bahagianya guru.
Lebih daripada itu, di sini Gurupenyemangat.com pula ingin menghadirkan cerpen dengan tema Hari Guru Nasional.
Cerpen tentang Hari Guru berikut berisikan tentang motivasi dan inspirasi seorang guru untuk membangun pemikiran para siswanya.
Okeh. Silakan langsung disimak saja ya:
Cerpen Tentang Hari Guru: Mengapa Bukan Guru Saja
Oleh: Ozy V. Alandika
Cerpen Tentang Hari Guru Nasional Singkat dan Inspiratif. Dok. Gurupenyemangat.com |
“Indah, coba kamu maju ke depan dan kerjakan soal berikut ini?”
“Indah kan sudah bisa, Bu. Mengapa kok Indah lagi yang maju, Bu?”
Bu Guru yang mendengar bantahan halus dari seorang siswinya itu sontak terdiam namun tetap tersenyum seraya melirik siswa lain yang kira-kira masih jarang untuk maju ke depan.
Indah memang demikian. Sebagai seorang siswi SMP kelas IX tingkahnya cukup nyeleneh. Biarpun demikian, dia bukanlah siswa yang nakal. Remaja ini pun menghormati guru, bahkan ia selalu mendapat peringkat 7 besar selama dua tahun terakhir.
Tapi, ya, karena satu tahun terakhir dia masuk kelas unggulan, sikapnya mulai berubah dan sering menguji guru.
Tepatnya tiga bulan yang lalu, seorang mahasiswi yang sedang praktik mengajar dibikin menangis oleh Indah. Sengaja ia lemparkan soal sulit untuk menguji kemampuan guru PPL.
“Coba Faris saja ya yang membantu Ibu mengerjakan soal di papan tulis. Hitung-hitung menambah pahala ilmu. Hehe.”
Bu Guru tidak ambil pusing dengan sikap Indah. Ia tidak mau merusak konsentrasi siswa sekelas hanya gara-gara ingin memojokkan Indah seorang. Sudah pasti nanti Indah akan ngelunjak dan emosinya makin menjulang.
Boleh Baca: Cerpen Guruku Pahlawanku
*
“Indah, hari ini Ibu minta tolong kamu yang mengerjakan soal berikut, ya. Soalnya tidak sulit, kok. Kita mengulang materi sejenak. Agar apa yang kalian pelajari tetap berbekas di ingatan.”
“Yang lain saja ya, Bu. Indah tadi kan nilainya sudah dapat 100. Rasanya Indah sudah cukup mengerti dengan materi pelajaran di papan tulis.”
“Ya sudah, kali ini Ibu minta tolong kepada Alan untuk mengerjakan soal Matematika di papan tulis. Tolong buatkan jalannya juga ya.”
Berbeda dengan Indah, Alan pun sontak langsung maju ke depan dengan ceria. Alasannya sungguh bisa ditebak, bahwa soal di papan tulis sangatlah mudah. Bahkan, agaknya siswa peringkat terakhir di kelas ini pun bisa mengerjakan soal tersebut dengan cepat.
Setelah soal di papan tulis dikerjakan dengan benar, Bu Guru pun mulai mengajukan pertanyaan kepada siswa.
“Anak-anak sekalian, pernahkah kalian melihat pedagang mangga di pasar tradisional?”
“Pernah, Bu.”
“Apakah mangganya dijamin manis?”
“Ada yang manis, tapi ada pula yang asam, Bu.”
“Nah, cobalah kalian amati pedagang tersebut. Walaupun menjual mangga yang manis, para pedagang tidak segan mengorbankan sebuah mangga untuk kemudian dicicipi oleh calon pembeli. Apakah kalian tahu alasannya?”
“Demi bisa memastikan bahwa mangga tersebut benar-benar manis, iya kan, Bu?”
“Lho, tapi kan tadi pedagangnya sudah bilang bahwa mangganya manis?”
Anak-anak pun terdiam seraya mengangguk. Tanpa memberi penjelasan tambahan pun seisi kelas sudah sangat mengerti bahwa manisnya sebuah mangga tidaklah cukup diwakili dengan kata-kata. Harus ada pembuktian, yaitu dengan diuji.
“Oke, anak-anak, jadi kalian sudah mengerti kan mengapa Ibu menguji kalian untuk mengerjakan soal di papan tulis?”
“Mengerti, Bu.”
Termasuk Indah. Indah pun mulai menata kembali fokusnya pada kelas itu. Dirinya mulai menerima penjelasan Bu Guru, tapi masih ada satu pertanyaan terbesar yang mengganjal hati.
Boleh Baca: Cerpen Belajar di Rumah Selama Pandemi
“Bu, Indah boleh bertanya, kah?”
“Iya, Indah. Silakan.”
“Begini, Bu. Ibu kan sudah tahu tentang jawaban benar maupun salah sebuah soal. Mengapa tidak Ibu saja yang langsung memberitahu kami mana jawaban yang benar? Bukankah hal tersebut lebih cepat dan simpel, Bu?”
Bu Guru pun tersenyum seraya menghela napas. Dalam hatinya, ada segenggam syukur dan kesal yang saling berpadu. Bersyukur karena ada siswa yang aktif bertanya, namun sedikit kesal gara-gara tingkah seorang siswa yang sangat aktif.
Pada akhirnya, ia memaklumi bahwa begitulah kegiatan belajar-mengajar. Mirip seperti desain kehidupan yang diperankan oleh seluruh anggota kelas.
“Wah, bagus ini pertanyaannya. Baiklah, Indah, pertanyaannya mau Ibu jawab dengan panjang atau singkat saja, nih?”
“Panjang dong, Bu. Hehehe,” pungkas Indah seraya tersenyum lebar
“Baiklah, anak-anak sekalian. Karena tadi kita sudah bahas mangga dan sekarang ini di desa masih musim mangga, maka kita ulas kembali soal mangga, ya? Hehehe. Begini, sebelum menjawab pertanyaan Indah, Ibu ada pertanyaan untuk kalian semua. Menurut kalian, mengapa kok pekebun mangga malah memilih untuk menjual mangganya ke pasar atau ke gudang buah?”
“Tentu saja agar mendapat keuntungan, Bu?” jawab siswa serentak
“Lho, bukannya mangga tersebut bisa dikonsumsi sendiri?” bantah Bu Guru
Para siswa pun berpikir sejenak, dan hanya butuh beberapa detik, Indah pun langsung mengancungkan tangannya.
“Waduh. Pasti bosan si pekebun mangga karena makan mangga tiap hari. Bisa jadi mereka juga akan mengalami kerugian.”
“Nah, betul sekali. Pas jawabannya. Anak-anak sekalian, Bu Guru maupun seluruh guru di dunia ini tidak ada bedanya dengan pekebun mangga. Jika Ibu hanya memakan ilmu untuk diri Ibu sendiri, maka sudah barang tentu diri ini akan mengalami kerugian tersebab sedikitnya memberi manfaat kepada orang lain.”
Siswa seisi kelas pun sudah sangat mengerti dengan analogi inspiratif yang Bu Guru sampaikan. Indah pula demikian. Seuntai tanyanya sudah dijawab tuntas oleh Bu Guru.
“O ya, anak-anak. Perlu kalian ketahui, Mustafa Kemal Ataturk dalam kutipannya mengatakan bahwa guru itu laksana lilin yang rela membakar dirinya sendiri demi menerangi jalan orang lain. Jadi, sampai di sini, adakah nanti dari kalian yang ingin menjadi guru seperti Ibu?”
Beberapa siswa pun mengancungkan tangan dengan bangga, karena ternyata cita-cta mereka memang ingin menjadi seorang guru.
“Wah, kalau begitu, pada Hari Guru nanti kami perlu berusaha lebih dalam mengapresiasi dan membahagiakan guru, bukan begitu, Bu?” tanya seorang siswa
“Salah, temanku. Mengapresiasi dan membahagiakan guru tidak perlu menunggu hingga Hari Guru tiba, bahkan semestinya kita lakukan setiap hari,” tegas Indah
Bel pun berbunyi sebagai penanda usainya pelajaran di kelasnya Indah dan kawan-kawan. Tampak seluruh siswa sudah lebih ceria dari sebelumnya, yang menandakan bahwa tidak ada lagi kebingungan di antara mereka.
*TAMAT*
Nah, demikianlah tadi secarik cerpen sederhana tentang kisah guru dan murid di dalam kelas yang bisa Guru Penyemangat sajikan dalam rangka menyambut Hari Guru Nasional Tahun 2021.
Mudah-mudahan bermanfaat dan menginspirasi, ya.
1 komentar untuk "Cerpen Tentang Hari Guru Nasional Singkat dan Inspiratif"
Berkomentarlah sesuai dengan postingan artikel. Mohon maaf, link aktif di kolom komentar tidak akan disetujui.
Diperbolehkan mengutip tulisan di blog Guru Penyemangat tidak lebih dari 30% dari keseluruhan isi (1) artikel dengan syarat menyertakan sumber. Mari bersama-sama kita belajar menghargai karya orang lain :-)