Mengenang 4 Tahun Lebih Cerita Wisuda Sarjana, Sudah Sejauh Manakah Kita Melangkah?
Suasana Wisuda STAIN Curup di GOR Curup, 20 Oktober 2016. Foto: Facebook STAIN Curup |
Dari tanggal 20 Oktober 2016 menuju tanggal 20 Oktober 2020, dan sekarang sudah hampir Ramadan 2021. Tak terasa sudah 4 tahun lebih berlalu, Friend!
Kalau kita kembali mengingat angka 20 Oktober, pasti akan terbayang oleh diri tentang gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) yang terpampang manis di ijazah Strata Satu.
Wuih, Nostalgia, dong!
Begitulah.
Kukira, ada sejumput rasa bangga yang bertubi-tubi dan berlari di sekeliling hati terhadap pencapaian diri kala itu.
Tiap-tiap wisudawan/ti boleh berbangga walau sesaat, kan? Ya, kebanggaan yang kumaksud adalah puncak perjuangan dalam hal menyenangkan orang tua.
Tak terbayang oleh diri, sejatinya kuliah di strata satu itu susah, entah apapun merek kampusnya.
Bagaimana tidak susah, selain harus meninggalkan sifat kekanak-kanakan masa SMA/sederajat, seorang calon sarjana juga dituntut untuk lebih mandiri dan fokus.
Kalau tidak fokus?
Jelas, taruhannya adalah “telat” wisuda. Kalau sudah telat, bayar SPP lagi, duit lagi, mau cari ke mana lagi. Dan segunung tuntutan hidup lainnya.
Maka dari itulah, tak salah bila kemudian aku berujar bahwa momentum wisuda sarjana adalah salah satu puncak kesempatan bagi diri untuk menyenangkan keluarga.
Di tahun 2016, Sarjana S-1 cenderung masih bisa dibanggakan.
Terlebih lagi jika Sarjana yang dimaksud adalah mereka yang berjuang dari sudut dusun dan desa, setidaknya ada peningkatan nama baik keluarga di sana.
Dan ujung-ujungnya, adalah hadiah untuk keluarga kita juga.
Tapi, jujur, ya. Aku sebenarnya sudah tidak ingat betul dengan tanggal wisuda. Secara, sudah 4 tahun lebih berlalu, kan?
Momentum dan suasananya mungkin aku masih ingat, tapi untuk hal-hal detail, aku sudah lupa. Duh, efek usia yang kian menua, ya. Hemm.
Beruntung beberapa waktu lalu aku sempat mengomentari story WA-nya Miss Dor.
Beliau adalah salah satu Sarjana Pendidikan Bahasa Inggris yang berbarengan wisudanya denganku.
Dalam story WA-nya, tergambarlah kisah tentang seorang insan yang dulunya punya banyak teman, sering berkumpul, sering jalan-jalan, hingga makan bersama.
Tapi, seiring waktu berlalu, seorang insan tadi malah berteman sepi. Seakan-akan diri ini dituntut untuk mewujudkan sikap mandiri. Dan kenyataannya, masing-masing diri mulai dituntut untuk segera survive.
Hanya saja, aku tak tahu betul makna tersembunyi di sebalik postingan tersebut. Kukira story WA tersebut hanya berkisah tentang kedewasaan dan survive saja, tapi ternyata?
Ada momentum 4 tahun wisuda sarjana. Momentum unggahnya pun pas, yaitu 20 Oktober 2020.
Nah, gara-gara kisah tadilah akhirnya tulisan ini kubuat.
Aku jadi tertarik untuk mengenang kembali masa-masa di mana seorang sarjana menginjak “dunia nyata”, alias dunia lapangan yang tak seindah teori psikoanalisa. Silakan disimak saja, ya.
Kenangan Jadi Fresh Graduate: Sedih, Galau, Ambyar Bersatu dalam Segelas Cita
Foto Penulis bersama Kadispendik Provinsi Bengkulu, Erlangga dalam seremonial Wisuda S1 STAIN Curup dan Pascasarjana STAIN Curup. Foto : GB/Rika via gerbangbengkulu.com |
Bagaimana rasanya ketika dirimu dan diriku tamat wisuda sarjana? Duh, bahagianya begitu membuncah, kan.
Dalam setiap cekrek foto wisuda di tanggal 20 Oktober 2016 lalu, ada berbutir-butir air mata keluh kesah.
Ada bejibun keluh karena susah dan ruwetnya menyelesaikan skripsi, ada segunung kesah karena teringat akan begitu deg-degan-nya suasana sidang akhir, ada pula kepuasan batin karena akhirnya wisuda juga.
Dan, rasa bahagia seakan berhasil meruntuhkan keluh kesah. Alhamdulillah.
Kebahagiaan ini bahkan bisa bertahan hingga 2-3 bulan, yaitu periode di mana tiap-tiap kita merasa tidak sabar untuk mendapatkan ijazah.
Ijazah sudah dapat, dan di sinilah kisah kita dimulai. Dari garis pijakan ini, bukankah dunia kita pada 4 tahun lalu mulai terasa berat, kan?
Begitulah.
Kondisi lingkungan dan suasana hati seakan berubah 360 derajat. Berbeda total bila kita bandingkan dengan suasana kuliah.
Semakin bertambah hari, semakin terkuak fakta bahwa wisudawan/ti Sarjana Strata Satu pun sangat susah cari kerja. Sarjana pendidikan, susah cari lowongan kerja guru. Sarjana perbankan, sulit cari lowongan kerja di lembaga keuangan. Begitu pun teman-teman kita yang lain.
Bahkan, dua bulan setelah wisuda, aku malah memilih untuk merantau ke luar provinsi demi membuang kebosanan karena menganggur.
Ijazah telah kuambil, kulegalisir. Tapi sayang, honor dan pernak-pernik wisuda belum sempat kuterima.
Beruntung pada waktu itu aku punya seorang teman baik.
Dia rela membantuku dengan ikhlas untuk mentransfer honor serta menyimpan album wisuda hingga aku pulang kampung. Semoga saja dia membaca tulisan ini. karena sekali lagi, aku ingin berterima kasih.
Mengapa aku memilih untuk merantau?
Padahal IPK-ku cukup tinggi, tapi apa daya, peluang kerjanya yang memang belum ada di waktu itu.
Kuharap, dengan merantau, di luar sana ada kesempatan kerja yang lebih baik. Barangkali, teman-teman juga begitu, kan?
Bisa jadi, bisa juga tidak.
Untuk teman-teman seangkatan yang sudah berkeluarga ataupun punya kesibukan lain, mereka masih pikir-pikir panjang untuk merantau.
Meski begitu, satu hal yang pasti bahwa ternyata mencari kerja itu susah.
Sontak saja, rasa sedih, galau,dan ambyar bersatu-padu menggerus rasa. Tapi, hebatnya satu.
Walaupun perasaan kita campur aduk, namun masing-masing rasa itu telah bersatu dalam cita. Mengapa aku sebut cita?
Ya, karena sudah mengemban gelar S.Pd, selain ada beban gelar juga ada ambisi, impian dan cita.
Masing-masing dari kita bahkan rela untuk kerja apa saja, yang penting halal. Semua kompetensi baik hard skills maupun soft skills perlahan-lahan “dipaksa” untuk diasah.
Dan hasilnya?
Semakin berganti tahun, semakin terasa bahwasannya usaha-usaha dan keringat juang kita mulai membuahkan hasil.
Hasil yang kumaksud adalah hasil dalam lintas aspek, ya. Mulai dari apsek sosial, pekerjaan, hingga hubungan diri dengan Allah.
Dari aspek sosial, seperti yang kubahas dalam unggahan story WA tadi bahwa kedewasaan diri akan menemukan temannya. Ada teman yang benar-benar teman, ada teman yang hanya hadir di saat mereka butuh, juga ada teman yang datang hanya di saat kita gembira.
Lagi-lagi, hal ini bukanlah masalah besar bagi kita. Toh, pada akhirnya, hidup ini berkisah tentang bagaimana masing-masing sarjana membawa diri.
Semakin ke sini, permasalahan hidup semakin kompleks sehingga diri ini dituntut untuk menyelesaikannya secara mandiri.
Belajar untuk mandiri.
Itulah hebatnya “dunia nyata” bagi seorang fresh graduates. Ini hanyalah satu contoh sederhana.
Dalam aspek-aspek kehidupan lainnya, mungkin bisa kita renungkan dalam hati masing-masing. Hehehe
Mengenang 4 Tahun Wisuda Sarjana, Sudah Sejauh Manakah Kita Melangkah?
Suasana Wisuda STAIN Curup, 20 Oktober 2020 di GOR Curup. Foto: Facebook STAIN Curup |
Empat tahun selepas wisuda sarjana, adakah dari kita yang merasa bahwa diri ini masih tergolong fresh graduates?
Mungkin ada, ya. Lagi-lagi kutegaskan bahwa tak ada yang salah di sini.
Masing-masing hamba punya jalan dan takdir yang berbeda sehingga berbeda pulalah masa di mana mereka memulai sesuatu.
Pekerjaan misalnya:
Barangkali ada sebagian dari kita yang hari ini baru mulai mencoba untuk berbisnis, berwirausaha, hingga mencari tempat kerja yang baru.
Ketika kondisi yang aku sebut ini berlaku, maka berlaku pula yang namanya adaptasi, kan?
Begitulah.
Masing-masing dari kita akan selalu mendapat pengalaman baru, suasana baru, impian baru, hingga seni berjuang yang baru.
Maka dari itulah, sangat wajar bila kemudian ada dari kita yang masih merasa bahwa “perasaan, wisuda S1 masih belum lama, deh”.
Meski demikian, andai kita mau menatap ke sudut kehidupan yang lebih luas, ternyata dan ternyata diri ini semakin sadar bahwasannya umur telah bertambah tua.
Di sebelah sana, ada yang baru sudah menikah. Di sebelah sana, ada yang sudah punya anak dua. Tapi di sebelah sini?
Ah, ternyata belum menikah alias masih sendiri saja. kita positive thinking saja, ya. Barangkali usaha cari jodoh sudah digiatkan, hanya saja hilalnya yang masih belum tampak. Ehem...ehemm.
Sebenarnya, dari sini saja sudah terjawab pertanyaan tentang “Sudah Sejauh Mana Sarjana yang 4 Tahun Lalu Wisuda Melangkah?”
Namun, aku tidak akan membahas ranah ini lebih lanjut. Agaknya, semakin ke sini tulisan ini semakin berbau privasi, ya. Hahaha. Woles, Friend.
Rasanya, langkah kaki para sarjana yang ingin kumaksudkan di sini adalah tentang kedewasaan dalam mengemban gelar.
Dalam artian, semakin bertambah tahun, masing-masing kita mulai sadar bahwasannya gelar itu tidak dihadirkan untuk menyempitkan lapangan kerja.
Semisal, sarjana yang bergelar S.Pd hanya bisa jadi guru, sarjana yang bergelas S.Sos hanya bisa beraksi di dunia masyarakat.
Nyatanya, tidak begitu, kan?
Adanya gelar entah apapun mereknya, tetap akan membuka peluang kerja yang lebih luas. Menurutku, inilah kehebatan sarjana.
Banyak Jalan untuk Maju, tanpa harus terpaku oleh gelar akademik. Foto: Pixabay |
Mereka yang sempat berbisnis, silakan mengembangkan bisnisnya. Mereka yang sibuk mengajar, maka kembangkanlah kompetensi diri.
Dan mereka yang punya rencana membuka yayasan, juga disilakan untuk berjuang.
Sejatinya, kedewasaan akan mengantarkan seorang sarjana untuk lebih mudah menghasilkan karya.
Apalagi dengan adanya dukungan gelar, setidaknya ada berbutir-butir titipan ilmu pengetahuan yang perlu kita amalkan. Agar ilmu kita sewaktu kuliah bermanfaat tentunya.
Dan terakhir, sembari mengenang 4 tahun wisuda sarjana ini, semoga kedewasaan dan kemandirian diri dapat semakin meningkatkan taqwa kita kepada Allah.
Pada dasarnya, apapun yang kita perjuangkan di hari kemarin hingga hari ini, entah itu kuliah, kerja, buka usaha, dan lain-lain, semuanya ditujukan untuk menggapai ridha Allah semata.
Apapun yang kita kerjakan hari ini, semoga bisa memudahkan jalan kita menuju ke surga. Bersama-sama tentunya. Aamiin Ya Rabbal ‘Aalamiin.
Salam.
Ditulis oleh Ozy V. Alandika
Posting Komentar untuk "Mengenang 4 Tahun Lebih Cerita Wisuda Sarjana, Sudah Sejauh Manakah Kita Melangkah?"
Posting Komentar
Berkomentarlah sesuai dengan postingan artikel. Mohon maaf, link aktif di kolom komentar tidak akan disetujui.
Diperbolehkan mengutip tulisan di blog Guru Penyemangat tidak lebih dari 30% dari keseluruhan isi (1) artikel dengan syarat menyertakan sumber. Mari bersama-sama kita belajar menghargai karya orang lain :-)