Widget HTML #1

Sesedih Apa pun Itu Jangan Mau Jadi Batu, Apalagi Tenggelam!

 “Aku sedih!”

“Aku pilu!”

“Aku gundah!

“Aku kecewa!”

Bila kita sedih, harus bagaimana?

Mungkin tindakan pertama bin spontan yang akan dilakukan oleh seseorang yang bersedih hati adalah menangis.

Entah itu perempuan ataupun laki-laki, keduanya bisa menangis. Kalaupun sedang gengsi minimal menangis dalam hati.

Tak perlu tenggelam dalam kesedihan. Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay

Ya, tenggelam seorang diri di dalam kesedihannya sendiri.

Ibaratkan batu yang sedang menangis dan terlempar ke sungai, seseorang akan lebih nyaman berdiam di dasar sungai daripada harus terapung di tengah-tengah air.

Mungkin bagi sebuah batu, berdiam di dasar sungai lebih nyaman daripada harus terapung maupun muncul di permukaan.

Terang saja, jika batu terus terapung, ia akan hanyut terbawa derasnya arus sungai. Tapi, jika batu muncul ke permukaan ia akan jadi bahan pijakan.

Sakit, kah? Antara hanyut oleh arus dan terpijak-pijak, keduanya memang sakit. Barangkali, seperti itulah rasanya diri saat bersedih hati.

Begitu banyak masalah-masalah duniawi berdatangan. Kadang disedihkan oleh teman, oleh tetangga, oleh sahabat, bahkan bisa pula oleh orang tua sendiri. 

Tidak terpungkiri memang, yang namanya kehidupan memang demikian.

Ada-ada saja masa di mana kita ditimpa begitu banyak masalah, dan gara-gara masalah itu kita menjadi lemah.

Bisa lemah sesaat, lemah sementara, dan bisa pula lemah dalam jangka waktu yang lama.

Semakin tinggi tingkat kesedihan, semakin lemah diri. Bayangkan bila kesedihan itu tumbuh berkepanjangan, bisa-bisa seseorang akan kehilangan jati diri.

Itu yang berat dan merugikan. Jangan sampai!

Jangan Biarkan Dirimu Tenggelam!

Tak perlu jadi batu, dan jangan sampai tenggelam dalam kesedihan. Gambar oleh Andreas Riedelmeier dari Pixabay 

Saat dihadapkan dengan sebuah pilihan antara ingin jadi batu sungai atau daun, kita akan pilih mana?

Kalau pilih batu sungai, sudah tahu sendiri bahwa kita akan tenggelam di dasar sungai tanpa ada yang memperhatikan. 

Dan saat muncul ke permukaan, kita hanya akan jadi tumpuan dan pijakan orang lain untuk melangkah.

Tapi kalau jadi daun?

Andaikan kita menjadi sosok daun yang sedang bersedih dan daun hanyut di sungai. Pertama, kita tidak akan tenggelam dan itu hampir pasti.

Tapi kedua? Kita akan terhanyut dan terombang-ambing bersama derasnya air sungai.

Entah sakit atau malah tersiksa.

Hati sudah sedih dan ambyar, dibikin terombang-ambing pula! Jika semakin lama berkhayal sebagai daun, bisa jadi hati kita makin sakit.

Meski begitu adanya, bukanlah lebih baik daripada kita harus tenggelam?

Agaknya demikian.

Kalaupun kita tenggelam bersama dengan kesedihan, entah siapa yang akan menolong.

Terang saja, yang namanya tenggelam itu tidak pernah tampak. Rasanya hampir tidak ada orang yang mau berbasah-basah demi menemukan kita.

Beda halnya dengan hanyut, sesedih apapun itu kita masih tampak di permukaan.

Ada sahabat yang melihat, mungkin mereka bisa menghibur.

Ada teman yang tak sengaja berpapasan, mungkin mereka akan mengajak kita nongkrong.

Jika memang tidak ada? Masih ada sang bagaskara alias matahari.

Ya, artinya akan ada masa di mana seseorang harus melawan kesedihannya sendiri dengan ketegaran yang ia miliki.

Mampu atau tidak mampu, mau atau tidak mau diri sendiri bisa jadi kunci untuk maju.

Orang lain baik itu sahabat maupun teman mungkin bisa memotivasi.

Tapi, jelas sekali bahwa hanya kita sendirilah yang mengerti dengan kesedihan yang dialami. Artinya, tidak perlu terlalu sedih dan tidak perlu tenggelam dalam kesedihan.

Kehilangan orang yang dicintai adalah wajar karena begitulah siklus kehidupan, jadi tak perlulah sedih secara berlebihan.

Dikecewakan orang yang selama ini baik adalah hal yang wajar pula karena berharap kepada manusia memang menghampakan.

Jika memang ingin sekali berharap, maka jangan gantungkan harapan itu kepada manusia.

Titip saja harapan di setiap lantunan doa kepada Tuhan. Bisa tambah dengan dzikir, perbanyak sedekah, shalat sunnah, serta baca Qur’an.

Hal-hal seperti ini kiranya lebih menenangkan dan mampun mengusir kesedihan.

Yang pasti, kita harus tahu bahwa semakin lama kita bersedih hati, semakin lama pula kita membiarkan kebahagiaan berlalu-lalang seenaknya.

Akhirnya, mau bahagia atau sedih pilihannya kembali kepada diri sendiri.

Kalau saya pribadi, pasti pilih bahagia, donk! Ya, hidup hanya sebentar dan cuma satu kali. Untuk apa bersedih dan bermalam bersama gundah. Yok, bersemangatlah.

Salam.
Ditulis oleh Ozy V. Alandika

Baca juga:

Guru Penyemangat
Guru Penyemangat Guru Profesional, Guru Penggerak, Blogger, Public Speaker, Motivator & Juragan Emas.

Posting Komentar untuk "Sesedih Apa pun Itu Jangan Mau Jadi Batu, Apalagi Tenggelam!"