Widget HTML #1

4 Tips agar Guru Selalu Semangat Mengajar di Sekolah

 Tepuk semangat! Se...Ma...Ngat. Semangat! Semangat!

Agaknya, menyemangati orang-orang itu gampang, ya. Terlebih lagi para siswa. Ajak saja mereka bertepuk tangan, beri mereka ruang untuk bergerak, atau tampilan saja video motivasi selama beberapa menit. Syahdan, siswa bakal segera riang gembira.

Bahkan, kita yang dewasa pun akan tergugah semangatnya, terutama ketika melihat anak-anak tersenyum bahagia.

Tetapi, pertanyaanku, seluas mana semangat itu hingga mampu menggapai irama konsisten bin stabil? Entah. Sudah pasti semangat akan naik-turun, kan. 

Selagi naik, semangat seseorang terlihat begitu seru. Seakan-akan hidup ini tak ada sebiji pun masalah yang menghampiri. 

Sedangkan ketika semangat down? Bisa-bisa diri ini tak berhenti ngomel, bahkan marah-marah hingga habislah segenap tenaga. Ehem.

Ketika kita persempit ruang pandang, rasanya dalam dunia pendidikan juga begitu. Seorang guru kadangkala semangat mengajarnya cenderung labil. Entah problematika seperti apa yang mereka hadapi.

Syahdan, siswa di kelas bisa jadi korban marah-marah, dong?

Mungkin begitu. Terkadang, jangankan siswa. Guru baru pun ikut kena timpa omel! Eh

Tips Agar Semangat Mengajar Guru Tidak Runtuh, Walau dalam Suasana Apapun
Semangat Mengajar Guru. Foto: Aditio Tantra Danang Wisnu Wardhana dari Pixabay 
Meski begitu, pada racikan diksi ini aku tidak akan mengulik tentang bagaimana guru marah, kok. 

Aku malah mau membagi kiat agar para pendidik tetap riang ketika mengajar, agar para guru konsisten meninggikan semangat mengajar, walau dalam kondisi serta suasana apa pun.

Setidaknya, ada 4 saran yang bisa aku hadirkan. Silakan disimak, ya.

1. Lupakan (Sementara) Soal Gaji

Lupakan (sementara) Soal Gaji

Lupakan Gaji.  Foto: mohamed Hassan dari Pixabay 

Sebagaimana yang kita sering gaungkan bersama, bahwa guru adalah “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”. 

Kalimat mutiara tersebut begitu lengket baik di relung pikir guru, siswa, bahkan orangtua. Tetapi, tidak mungkin pula rasanya jikalau kalimat itu dimaknai bahwa guru tak perlu digaji secara layak, kan?

Certainly

Secara humanis, seorang pendidik bin pengajar juga butuh sandang, butuh pangan, butuh papan, hingga kendaraan. Bersandar dari sana, maka  segenap hak atas kesejahteraan guru tidak henti-hentinya diperjuangan. Tapi...

Jikalau bisa, diupayakan sekuat mungkin agar urusan "pitis" tadi dilupakan (sementara). Jangan hadirkan urusan dan permasalahan gaji ke dalam kelas, apalagi sampai cerita kesusahan hak guru di depan siswa. Please, jangan! Sudah pasti semangat mengajar akan goyah dan runtuh.

Lho, mengapa kok jadi runtuh?

Kalau gaji baru saja cair hatta masuk ke rekening, nanti guru bakal bercerita tentang jajan ini maupun shopping itu. Sedangkan ketika notifikasi gaji guru belum kunjung bunyi, maka dirinya terus kepikiran tentang “kapan cair”. Atau, malah berkeluh-ambyar gegara rencana penggajian dari pemerintah bakal telat? Ah, alay! Hahaha

Yang jelas, kasihan dengan anak-anak kita di kelas. Mereka telah  bersusah-payah mengumpulkan niat demi melangkahkan kedua kaki ke sekolah ilmu. 

Terkadang, ada beberapa dari mereka yang rela bawa bontot alias bekal seadanya gegara tidak diberikan uang jajan oleh Mama. 

Padahal siswa sudah semangat, loh!

Di sisi yang masih sama, problematika gaji bisa jadi ikut menumbuhkan demotivasi alias runtuhnya semangat mengajar para guru. Penyebabnya? Tidak lain adalah...

Gaya hidup.

Rumus simpel, sebesar apa pun gaji ketika disandingkan dengan gaya hidup maka keduanya tidak akan pernah berakad. Tidak berjodoh. Yang ada? Kekurangan, kurang terus, dan terus kekurangan.

Penghasilan yang dirasa orang lain sudah besar saja begitu, apalagi kalau gajinya belum tetap, kan? 

Padahal di luar sana masih ada segunung guru yang digaji semampunya, tapi mereka tetap riang gembira dalam mendidik siswa. Keyword-nya adalah fokus menuangkan ilmu di kelas. Tidak membawa khayalan aneh yang terkadang nirfaedah.

2. Lupakan Status bin Jabatan Kita Saat Mengajar Kelas

Lupakan Status bin Jabatan Kita Saat Mengajar Kelas
Lupakan Jabatan Kita Saat Mengajar Kelas. Foto: Markus Spiske dari Pixabay 

Jikalau mengajar di kelas, sebisa mungkin jangan bawa-bawa status bin jabatan, kecuali kalo kamu si pengajar jomlo. Eh. bukan begitu. Maksudku, status “menggurui” serta jabatan di sekolah sebagusnya tak usah dipuja-puja hingga ke dalam kelas. Hehehe

Era belajar para generasi Z dan Alpha hari ini tidak lagi harus "minta suap" kepada guru, kan? Guru bukanlah seorang manusia yang maha benar. 

Guru juga bukan “raja maupun panglima perang” kelas meskipun telah memegang jabatan “pendidik” . Kalau seperti itu gaya mengajar, rasaya tiada bakal hadir keceriaan dalam pembelajaran.

Terang saja, pemikiran siswa akan terkekang gegara dirinya jadi serba bingung, apalagi kalau nanti gagasan yang siswa ungkapkan berbeda jauh dari materi ajar yang disampaikan oleh sang guru. Nanti malah... Dimarah! Hemm

Termasuk juga jabatan alias status guru honorer, guru swasta, guru non-sertifikasi, guru sertifikasi, hingga guru lain yang menjabat posisi struktural di sekolah. Tiap-tiap status tersebut sebaiknya tak usah dibawa ke dunia siswa.

Dunia dalam kelas berukuran 5x4 meter dengan hiasan papan tulis, spidol, dan gorden adalah dunia siswa. 

Sebagai guru, kita perlu ikut di dalamnya, berusaha melakukan adaptasi gaya mengajar agar nantinya mampu seirama dengan kebutuhan siswa. Aku rasa, di sanalah keriangan mengajar bakal bertumbuh.

Sesekali, terkadang muncul situasi bahwa status maupun jabatan yang diamanahkan kepada guru malah membuat dirinya galau. 

Guru masih pemula ingin segera naik status dan membandingkannya dengan guru lain, sedangkan guru yang sudah miliki jabatan (mungkin) ingin segera berleha-leha alias bersantai. Ehem

Kalau begitu kisahnya, maka semangat mengajar seorang guru bakal goyah, bahkan runtuh. Terang saja, niat dan persepsi yang berlarian di relung pikir sudah ke mana-mana. Keluar dari jalurnya.

3. Anggaplah Siswa sebagai Anak Kita Sendiri

Anggaplah Siswa sebagai Anak Kita Sendiri
Anggaplah Siswa sebagai Anak Kita Sendiri. Foto: Pixabay

Pendidik sekaligus pengajar utama siswa di rumah adalah kedua orangtua, sedangkan orangtua siswa di sekolah adalah Bapak/Ibu dewan guru. Biasanya, siswa yang konsisten menghormati orangtuanya di rumah bakal menghormati gurunya di sekolah.

Tapi, bagaimana dengan sosok gurunya?

Apakah perilaku guru terhadap anaknya di rumah sebanding dengan perlakuannya kepada siswa di sekolah?

Barangkali hal tersebut merupakan pertanyaan sederhana, tapi aku yakin, agak sulit untuk menjawabnya. Lebih-lebih ketika diri ini belum menikah. Kan, belum tahu bagaimana rasa dan suasana jika guru sudah punya momongan! Hihihi

Maka dari itulah, kadang ada kecenderungan bahwa guru yang belum berkeluarga lebih gesit, dan lebih ceria, lebih semangat dalam mendidik siswa. 

Guru yang yang betul-betul mengerti tentang profesinya akan senantiasa bangga dengan pekerjaannya. Guru yang seperti ini juga sudah pasti akan memiliki semangat mengajar yang tak pernah surut.

Dan aku rasa, semangat yang dimaksud pasti akan berlaku kepada semua pendidik andai mereka mau menganggap siswa sebagai anaknya sendiri. Setidaknya, siswa diakui sebagai anak-anak mereka ketika di sekolah.

Terang saja, buah hati sendiri derajat sayangnya pasti lebih utama. Sebaliknya, kalau guru mengajar hanya bersandarkan kepada kalimat “ah, itu kan anak orang lain. Terserah deh, mau mereka paham ya bagus. Gak paham, ya gakpapa juga!” maka...

Dangerous!😐

Asumsi negatif seperti itu secara tidak langsung bakal merusak semangat mengajar. Proses belajar-mengajar nantinya akan dilaksanakan dengan setengah hati karena siswa di sekolah dianggap sebagai “anak orang lain”.

Maka dari itu, penting bagi seorang guru agar mau dan ingin menganggap siswa sebagai anak sendiri, kendatipun anggapan tersebut hanya di sekolah. 

Dengan begitu, irama semangat mengajar akan bermelodi indah karena ada rasa sayang sekaligus rasa kasihan andai siswa yang dididik tak kunjung paham dengan materi pelajaran.

4. Bayangkan Bahwa Semua Siswa yang Ada di Depan Mata Bakal Sukses

Bayangkan Bahwa Semua Siswa yang Ada di Depan Mata Bakal Sukses
Tiap-tiap Siswa yang Ada di Depan Mata Bakal Sukses. Foto: AkshayaPatra Foundation dari Pixabay 

Masing-masing siswa itu berbeda, semua guru pasti merasakannya. Umumnya, guru bisa mengenal siswa dari beraneka ragam perbedaan. Ada siswa yang super aktif, hadir siswa yang cenderung adem alias pendiam di kelas, dan tampak pula siswa yang begitu menikmati pembelajaran.

Berangkat dari sana, kadangkala semangat guru bakalan semakin bertunas ketika kebanyakan siswa di kelas perhatian, aktif, serta konsisten melahap berbagai latihan yang diberikan bahkan dengan skor di atas rata-rata KKM. Tapi, bagaimana bila situasi dan dan kondisi yang terjadi malah kebalikannya?

Apakah guru ingin tetap menggaungkan semangat mengajar?

Atau, malah emosi dan memarahi siswanya satu kelas hingga 3 Jam Pelajaran?

Di sanalah situasi sekaligus momentumnya, bahwa apakah guru bakal makin semangat mengajar, atau malah runtuh keceriaannya.

Seorang guru mungkin saja langsung runtuh semangatnya ketika segenap siswa di kelas rusuh, ada beberapa siswa yang tidak buat tugas, atau malah banyak siswa yang tak mengerti materi pelajaran.

Kecenderungannya adalah, situasi yang kurang kondusif di kelas terkadang malah memunculkan segenap hawa negatif. Syahdan? Bertunaslah rasa pesimis, bahwa siswa yang rusuh dan malas mengerjakan tugas tadi bakal susah menggapai sukses.

Padahal...

Semua siswa berhak untuk berhasil. Lihat saja di sekeliling kita. Siswa yang dulunya paling nakal bin bandel, terkadang hari ini malah sukses besar. Lancar jaya.

Dan hebatnya lagi, siswa yang sukses tadi masih ingat betul dengan gurunya semasa kecil. Guru yang suka memarahi, guru yang suka mengomelinya.

Ketika dirimu adalah seorang guru, kemudian kamu bersua dengan siswa yang seperti itu di hari ini, dirimu pasti bahagia, kan?

Yes, certainly. Pasti begitu. Ada segenap kebanggaan, juga ada segunung syukur karena ilmu, pengetahuan, serta adab yang diajar dahulu sudah berbuah di hari ini.

Jadi, begitulah sebuah proses, dan proses tersebut pasti berlaku kepada tiap-tiap siswa, kan? Alhasil, kesimpulan yang harus  kita ambil adalah:

“Tiap-tiap Siswa Berhak untuk Menggapai Kesuksesan di Masa Depan”

Anggap saja demikian, lalu jadikan anggapannya sebagai doa sekaligus harapan. 

Sebagai guru, kita tidak akan tahu di usia berapa siswa akan sukses. Tapi, satu hal yang pasti, bahwa ketika siswa sudah berhasil, kita sebagai guru akan ikut bangga sekaligus mendapat pahala.

Dengan demikian, jangan bosan untuk menanam dan menumbuhkan kalimat optimisme ketika mengajar di kelas. Semoga segenap guru di Bumi Pertiwi akan terus menggunungkan semangat mengajar.

Salam semangat
Ditulis oleh Ozy V. Alandika

Baca juga:

Guru Penyemangat
Guru Penyemangat Guru Profesional, Guru Penggerak, Blogger, Public Speaker, Motivator & Juragan Emas.

Posting Komentar untuk "4 Tips agar Guru Selalu Semangat Mengajar di Sekolah"