Widget HTML #1

Cerpen: Nasib Manusia dan Alamnya

Cerpen: Nasib Manusia dan Alamnya

Oleh Syamsuddin Sahdan
Cerpen Nasib Manusia dan Alamnya
Cerpen Nasib Manusia dan Alamnya. Gambar oleh Josie Lapczynski dari Pixabay

Langkah kakiku terhenti, ketika mataku menangkap sebuah pemandangan di hadapanku. Ada rasa ngeri dan pilu. Negeriku yang besar nan kaya. Karena kaya maka dikuraslah sumber-sumber kekayaannya. 

Ada suara-suara bising di telinga, suara mesin yang menyala, suara bebatuan yang dikeruk, suara mandor kepada anggotanya, dan suara-suara lain yang bersahut-sahutan.

Dan aku berdiri tanpa suara, tanpa berkata-kata, tapi hatiku mengumpat, mataku berkaca-berkaca.

“Dasar manusia, diamanahkan bumi agar dirawat. Malah dirusaknya” kataku membatin.

Manusia memang begitu, selalu lena bila diberi amanah. Merusak tanah bila diberi tahta. Ah dasar manusia.

“Bukankah aku juga manusia?” mungkin kamu akan bertanya.

“Benar aku juga manusia. Dan mungkin akan melakukan hal yang sama” begitu bantahku.

Aku masih bisa merekam kejadian-kejadian yang lalu-lalu. Saat semua belum dicampuri otak manusia. 

Air sungai yang jernih sebagai tempat kami bermain bersama kawan-kawan, pohon-pohon besar kami tempati bernaung ketika matahari begitu panas. Dan lapangan luas tempat berlarian dan berlayangan.

Rupanya memang nyata Firman Tuhan bahwa:

“Terjadinya kerusakan di laut dan di darat, itu karena tangan-tangan manusia”

Kini setelah manusia ikut campur dalam kuasa Tuhan, semua berantakan, hutan-hutan digunduli, gunung-gunung disasar, pohon-pohon ditebang. Kini air sungai jadi keruh, matahari menjadi ganas, udara panas, alam bahkan menjadi buas.

Getaran gempa berasal dari dalam tanah, mungkin itu salah satu tanda penolakan dari alam. Cuaca semakin tidak jelas, tidak menentu barangkali itu adalah isyarat dan peringatan kalau kita sudah berlebihan.

Terlalu asyik dengan diri sendiri, seseorang datang memukul pundakku.

“Weii, Didin. Saya lihat dari tadi kau berdiri melamun. Ada apa?” katanya, membuyarkan lamunanku.

Ternyata Rian, kawan sekolahku dulu. Dia sekarang bekerja sebagai buruh di proyek pembangunan jembatan besar di kampung kami. Proyek ini sudah cukup lama berlangsung dan belum berujung sampai hari ini.

Masalahnya cukup kompleks, sebagian warga ada yang tidak mau menjual tanah mereka untuk dijadikan lahan proyek tersebut.

Sebab itu adalah salah satu sumber mata pencaharian mereka, bertani. Jika tanah-tanah itu diserahkan, itu artinya sama saja menyerahkan hidup.  

Selain itu ada pula warga yang belum menemukan kata mufakat berkaitan harga jual beli tanah mereka. Kurang, katanya.

“Etss. Kau rupanya, kupikir siapa tadi. Ada apa gerangan, masih jam kerja ini.? Nanti punggawamu marah loh!” kataku sambil menunjuk orang yang aku maksud, dia mandor.

“Justru, kedatangan saya kesini karena diperintah sama dia. Ada tawaran kerja untukmu. Kami kekurangan tenaga kerja. Kalau mau, kamu bisa ikut bekerja dalam proyek ini” tawarnya.

Penawaran itu tidak langsung aku tanggapi. Bagaimana tidak, aku adalah salah satu orang yang tidak sepakat dengan pengerjaan jembatan itu.

Jangan-jangan aku akan menjadi pengkhianat bagi orang-orang yang memihakku.

Tidak.

Tawarannya harus kutolak, aku tidak ingin mengecewakan mereka yang sudah mempercayaiku. Tapi bukankah sekarang memang kondisiku membutuhkan pekerjaan? Bukankah ini kesempatan untukku? Entahlah. 

Bingung dengan timbangan-timbanganku yang tidak menemukan titik terang. Rian kembali membuyarkanku.

“Jadi bagaimana..?” ia memastikan.

“Sepertinya tidak. Tidak tertarik” jawabku.

“Ya sudah. Kamu pikirlah dulu, kalau berubah pikiran. Jangan sungkan!” ia berlalu dari hadapanku.

***

Dalam kebisingan, dengan kesadaran setengah hilang. Matahari terik memanggang kulit. Kulihat semua orang sibuk dengan urusan masing-masing.

Mengaduk semen, membawa gerobak besi, mengumpulkan kerikil, mengangkat batu, memotong besi, dan ragam aktivitas lainnya.

Dan aku yang kini berdiri, mengamati dan mengawasi satu demi satu setiap pekerja. Kulihat mereka bekerja keras, tubuh-tubuh mereka dialiri keringat. Mungkin karena beban yang diangkut, mungkin pula karena terlalu panasnya matahari.

Seseorang datang menyapaku

“Bagaimana Pak. Aman?” tanyanya.

“Aman Pak. Siap” jawabku kepada orang yang sudah mempekerjakanku untuk mengawasi para pekerja proyek tersebut.

Beginilah nasib anak bangsa, menjadi kuli dan menjadi pekerja buru sebab kehilangan tanah-tanah mereka.

Beruntung jika berijazah sebab bisa ditempatkan sedikit lebih layak, seperti nasibku. Jika tidak maka tugasnya akan lebih sulit dan lebih berat.

Tawaran untuk bekerja dalam proyek itu, tidak bisa aku tolak. Sebab tuntutan kondisiku, seorang sarjana yang masih pengangguran.

Berharap jadi pegawai negeri terang sulit bagiku, apalagi tidak punya sesiapapun sebagai orang dalam di kantor-kantor pemerintah.

Dalam keadaanku mengamati kegiatan pekerja, tidak sengaja mataku menangkap sosok pemuda di depan, sekitar lima puluh sampai tujuh puluh meter dari tempatku berada. Ia berdiri yang matanya seperti menuju kepadaku. 

“Mungkin ia kecewa. Mungkin ia sedang mengumpat. Dasar manusia, diamanahkan bumi agar dirawat. Malah dirusaknya” pikirku.*

Lanjut Baca: Cerpen Orang Gila

Guru Penyemangat
Guru Penyemangat Guru Profesional, Guru Penggerak, Blogger, Public Speaker, Motivator & Juragan Emas.

Posting Komentar untuk "Cerpen: Nasib Manusia dan Alamnya"