Widget HTML #1

Mungkinkah Adat Menghalangi Pernikahan?

Menikah adalah harapan terbesar para kawula muda yang merasa sudah cukup umur dan telah punya jalan yang luas dalam menjemput jodoh.

Sudah mencari, terarah sama dia. Sudah berdoa, masih juga mengarah ke dia. Lalu, tinggal minta izin ke Ibu dan Ayah, sekalian meminta mereka mengantarkannya ke rumah calon mertua.

"Ibu, saya ingin menikah sama dia..." Whaat?

Karena kita adalah seorang anak, selamanya kita akan dianggap anak, bahkan meski sudah berjanggut sekalipun.

Nyatanya, orang lain lebih bisa menuakan kita dan menganggap kita dewasa, sedangkan orangtua kita jarang-jarang. Apalagi bagi mereka yang termasuk anak bungsu?

Antara Jodoh dan Aturan Adat

Bagaimanakah rasanya jika Anda termasuk seorang anak bungsu dewasa. Ya, anak yang disayangi hampir seperti anak tunggal oleh orangtua, terkhususnya Ibu.

Mungkinkah Adat Menghalangi Pernikahan
Mungkinkah Adat Menghalangi Pernikahan? Gambar oleh StockSnap dari Pixabay

Anak yang sering dan mungkin selalu dianggap sebagai anak kecil. Anak yang sudah sukses dan hanya tinggal menunggu teriakan sah dari para wali wali dan saksi nikah. Wah, apakah sudah punya calon?

Ibaratkan, ya.

Ibaratkan sudah punya calon dan hanya tinggal meneruskan perjuangan menuju ijab kabul. Sukses sudah, mapan sudah, calon......? Menurut kata hati dan sejauh mata ini memandang serta merasakan, Si dia sudah cocok.

Hanya tinggal mendatangi sang Ibu dan meminta beliau merestui. Cerita ini cerita itu, ternyata si Calon mendapat cap awal yang baik bagi ibu Anda (Si Anak bungsu tadi).

Lama-lama bicara dengan Ibu, tiba-tiba saja beliau menolak. Alasannya? Karena adat A, kamu tidak boleh menikah dengannya......(Hmmm, sakitnya!)

Syahdan, harus bagaimanakah kelanjutan kisah ini? Jika dipaksa menikah, apakah akan durhaka dan melanggar bakti kepada orangtua? Sungguh dilema!

Mungkinkah Adat Menghalangi Pernikahan?

Pertama, kita pisahkan dulu antara adat, restu orangtua, dan menikah. Sejatinya, tidak ada hubungannya antara sahnya pernikahan dengan restu orangtua.

Terang saja, rukun nikah adalah adanya mempelai laki-laki, mempelai perempuan, wali nikah, saksi, dan ijab kabul. Beres!

Mahar? Carilah yang tidak memberatkan pihak laki-laki, tetapi bagi laki-laki itu adalah persembahan terbaik.

Adat? Tidak ada sama sekali.

Restu orangtua? Sebaiknya meminta restu, karena bakti kepada orangtua akan mengetuk langit untuk membukakan pintu rezeki.

Dalam kaitannya dengan menikah, adat tidak bisa menghalangi niat yang suci ini, terlebih lagi jika orangtua ikut mengompori adat ini untuk menghambat anaknya.

Entah itu tentang adat  perhitungan weton jodoh yang seakan bisa mengukur cocok atau tidaknya pasangan, atau tentang adat larangan menikah bagi mereka yang posisi rumahnya berhadapan yang katanya bisa menghadirkan masalah, sebaiknya pemikiran ini segera digulung.

Terang saja, menikah adalah sarana untuk menyempurnakan iman dan membuka pintu rezeki.

Adat tidak bisa menghapus atau menyaingi dalil Al-Qur’an atau Hadis, karena posisi adat adalah sebagai norma-norma di masyarakat yang juga harus sejalan dengan aturan Islam.

Jika berbeda? Maka sebisa mungkin tinggalkanlah adat itu.

Berbakti kepada kedua orangtua adalah wajib, namun menikah jika sudah terlalu tinggi syahwatnya maka akan menjadi wajib pula hukumnya.

Semestinya, orangtua harus paham ini, bukan malah menentangnya. Terlebih lagi dengan alasan adat yang sejatinya mengarah kepada kesyirikan, maka sebagai anak, haruslah meluruskannya.

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS Luqman:15)

Jangan diikuti adat yang menyesatkan bahkan mengarah kepada kesyirikan, walaupun itu menyebabkan kita berselisih paham dengan orangtua, termasuklah tentang adat.

Untuk itu, kita perlu meluruskan pemahaman yang salah ini dengan menasihati orangtua. Apakah harus Anda yang tadinya jadi anak bungsu?

Hmm, mungkin saja tidak akan di dengar oleh orangtua. Pilihlah orang lain, orang yang cukup berwibawa di masyarakat, atau orang yang omongannya di dengar oleh Ibu atau Ayah kita.

Sembari itu, kita perlu meminta ketenangan hati kepada Allah SWT selaku Maha Pemberi Ketenangan. Terang saja, pergolakan antara jadi atau tidaknya pernikahan itu sungguh akan membuat hati berkecamuk.

Allah berkalam:

(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS Ar-Ra’d:28)

Tambahkan istikharah di masa-masa yang sunyi sekaligus bertaubat kepada Allah tentang dosa-dosa kita di masa lalu.

Mungkin dulu kita pacaran, dan itu adalah dosa besar yang mengarah ke zina. Mungkin kita pernah menzalimi orang lain, hingga mereka berdoa keburukan kepada kita. Mohon ampun dan mendekatlah kepada Allah.

Jujur saja, hari ini adalah zaman rusak. Zaman di mana kebenaran seringkali dicampurkan dengan kebatilan.

Pacaran dianggap halal, bahkan orangtua merestui anaknya pergi dengan seseorang yang belum jadi mahramnya.

Akibatnya, banyak yang keduluan berzina, bahkan nyawa pun ikut menjadi biang pengorbanan.

Kita sedih melihat orang-orang seperti itu, dan jangan sampai itu terjadi dengan diri kita. Maka berpegang teguhlah kepada Al-Qur’an dan Sunnah.

Terakhir, umur menikah tidak ada bilangannya. Adat tidak bisa menetapkan itu, bahkan negara pun demikian. Ada yang bilang umur 25 sudah wajib menikah.

Tapi jangankan umur 25, umur 19 tahun saja jika syahwatnya sudah menggebu maka diwajibkan untuk menikah.

Maka dari sini, hal yang bertentangan dengan Islam tidak bisa melarang dan orangtua pula jangan melarang.

Apalagi jika calon jodoh itu adalah orang yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.

Soal uang? Urusan Allah, bahkan kerja kita hari ini menjadi urusan Allah tentang berapa rezeki yang akan didapatkan.

Rezeki orang yang ingin segera menikah akan Allah tata setelah menikah. Sungguh, rezeki itu tidak selalu bisa ditebak bahkan sering datang tanpa disangka-sangka. 

Kuncinya adalah takwa. Tingkatkan takwa, maka Allah akan dekat dan semoga rezeki kita terus mengalir. Aamiin.

Salam.

Baca juga:

Guru Penyemangat
Guru Penyemangat Guru Profesional, Guru Penggerak, Blogger, Public Speaker, Motivator & Juragan Emas.

4 komentar untuk "Mungkinkah Adat Menghalangi Pernikahan?"

Comment Author Avatar
Barangkali UU yang mengatur usia anak-anak minimal 16 tahun (perempuan) dab 19 tahun (laki-laki), juga termasuk bertentangan dengan ajaran agama. Sebab, jauh sebelum usia tersebut keinginan bilogisnya sudah menggebu-gebu. eh ... semoga nenek initidak keliru. he he ....
Comment Author Avatar
Hihihi, jadi seirama ketika disandngkan dengan syariat ya Nek. Tp sekarang ada perlindungan yang bernama HAM.🤭🤭
Comment Author Avatar
Kerapkali masalah adat dalam urusan nikah ini menjadi pelik ya, banyak sekali pantangan ini itu, jadi susah sendiri.
Beruntung bgt, ortuku gak jadiin masalah (:
Thanks artikelnya bg
Comment Author Avatar
Iya mbak. Rawan memang. Lingkungan kdg berpengaruh besar terhadap persepsi masyarakat yg dianggap bawaan dr nenek moyang.

Berkomentarlah sesuai dengan postingan artikel. Mohon maaf, link aktif di kolom komentar tidak akan disetujui.

Diperbolehkan mengutip tulisan di blog Guru Penyemangat tidak lebih dari 30% dari keseluruhan isi (1) artikel dengan syarat menyertakan sumber. Mari bersama-sama kita belajar menghargai karya orang lain :-)