Widget HTML #1

Kumpulan Peribahasa Rejang, Lengkap dengan Arti dan Maknanya

Sebagai salah satu bentuk warisan budaya lokal, agaknya tiap-tiap daerah punya peribahasa alias ungkapan “aturan hidup” yang beragam. Pun demikian dengan Masyarakat Suku Rejang yang menetap di Bengkulu.

Dalam pandangan masyarakat Suku Rejang, ada aturan adat yang termaktub dalam serameak padeak/serameak kecek alias peribahasa dalam Bahasa Rejang. 

rumah adat suku rejang
Rumah Adat Suku Rejang. Dok. curuptop.blogspot.com

Pada kelanjutannya, bahasa kiasan inilah yang diwariskan secara turun-temurun sekaligus dijadikan hukum adat Rejang.

Berhubung penulis juga merupakan salah seorang pemuda yang lahir sebagai Suku Rejang dan menetap di lingkungan Rejang (Curup), berikut ini penulis sajikan  kumpulan peribahasa lengkap dengan arti dan maknanya. Disimak, ya:

(1)

Mueak Kakane Ade, Beripit Kekeane Coa

(Gampang bagi mereka yang punya, sulit bagi yang tidak punya)

Ungkapan tersebut menerangkan karakter apik dalam tolong-menolong memberikan bantuan kepada mereka yang membutuhkan. Keapikan karakter yang dimaksud adalah, tanpa melihat besar atau tidak jumlah, melainkan derajat keikhlasannya.

(2)

Bebanea Inde Benuo

(Pokok batang rotan manau)

Kamu kenal dengan Rotan Manau? Rotan Manau merupakan tumbuhan rotan yang tidak bisa diambil dari dahannya, melainkan kita harus mencari pangkal pohon agar bisa ditebang. 

Terkait dengan peribahasa, maknanya adalah, menyelesaikan masalah harus dicari dulu awal mula permasalahannya.

(3)

Be Tutun Inde Jalei

(Tali jala)

Tali jala mengandung makna bahwa permasalahan itu ibarat jala, yang harus dibongkar dengan melepaskan rajut jala dan menjadikannya tali. Dengan cara demikianlah suatu masalah bisa diselesaikan.

(4)

Ade Lot Ade Ei

(Ada hilir ada hulu sungai)

Pada dasarnya, baik masyarakat yang tinggal di bagian hulu maupun hilir memiliki kesamaan hak, perhatian, hingga kewajiban. Alhasil, baik masyarakat bagian hulu maupun hilir diharapkan saling bertenggang rasa.

(5) 

Pendak Dik Sudo, Panjang Gik Igei

(Pendek sudahkan, panjang habiskan)

Peribahasa tersebut bermakna bahwa ketika masalah sudah diselesaikan secara adat, maka masalah tersebut dianggap telah “tutup buku”  dan diharapkan untuk belajar ikhlas serta berlapang dada.

(6)

Pecoak Bekaping

(Pecah dipasang kaping)

Maksud peribahasa tersebut adalah, jika kita mengetahui adanya upaya untuk memecah-belah atau pun terjadi hal-hal yang memecah belah kehidupan masyarakat Rejang, maka diupayakan untuk menyatukan mereka kembali alias memperbaiki sejumput masalah yang terjadi.

(7)

Sumbing, Betitip

(Sumpil/sumbing ditempa)

Makna dalam perumpamaan tersebut, jika ada masalah maka perlu diperbaiki, tetapi masalah ini bukan yang terjadi di masyarakat tetapi dalam berkeluarga, maka diselesaikan dengan cara kekeluargaan.

(8)

Betimbang Samo Benek, Bekilo Samo Kelengan, Bekulak Samo Penoak, Bageak Samei Kedeu

(Menimbang sama beratnya, mengilo sama ringannya, mengulak sama penuhnya, membagi sama rata)

Peribahasa di atas memiliki satu makna yang sama tentang berdagang, berjualan, dan dalam kehidupan.

Artinya, ketika melaksanakan kegiatan berdagang maka diharapkan penjual jujur, ketika memiliki masalah dalam rumah tangga maka harus diselesaikan secara objektif tanpa memihak. Secara, kejujuran sangat dijunjung tinggi, di manapun diri kita berada.

(9) 

Titik Jibeak Maghep Anak, Tuwei Ati Teu Si Bapak

(Kecil jangan dianggap anak, tua tidak tau jika bapak)

Maknanya,  bahwa yang kecil jangan dianggap anak-anak, yang tua belum tentu dewasa. Jadi, usia tidak selalu menjadi sandaran bagi kita untuk memperoleh ilmu dari seseorang.

(10) 

Tuwei Badou

(Tuba akar yang tidak membunuh)

Maksud dari peribahasa ini sebenarnya agak satir, bahwa orang yang tidak tahu apa-apa (tidak memiliki kemampuan apa-apa) tidak ada gunanya dalam masyarakat. Kategori orang yang dimaksud di sini adalah mereka yang sudah dewasa, namun enggan menerbitkan maslahat.

(11)

Cong Laboak May Biyoa

(Mencincang air)

Selama ada hubungan darah alias kekeluargaan, sebisa mungkin masalah yang terjadi dapat diselesaikan secara dingin.

(12) 

Bepatet Bekenek, Bejenjang Tu’un

(Berjenjang naik, berjenjang turun)

Peribahasa ini berhubungan dengan tempat untuk naik dan turun rumah panggung. Maknanya, sebuah pekerjaan perlu diselesaikan ibarat kita menapaki anak tangga satu demi satu, tidak asal terabas. Hehe

(13)

Tangen Menetok Baeu Mbusung

(Tangan memotong bahu membusung)

Peribahasa di atas mengajarkan kita tentang tanggung jawab, bahwa apa pun yang diri ini lakukan pasti ada resiko, dan bersiap untuk menerima akibatnya. Entah itu baik, maupun kejelekan.

(14)

Ayak Miling Tenlen Biyoa Inoa

(Sebelum berbicara telan liur dulu)

Lidah tak bertulang, sehingga jangan jadikan mulut kita sebagai harimau yang akan memakan daging sendiri. Alhasil, sebelum berbicara, hendaknya dipikirkan, dikaji, serta ditelaah secara lebih matang.

(15) 

Ayak Bekenea, Kabo Tukuk

(Sebelum bertindak, pegang tengkuk)

Makna memegang tengkuk di sini adalah usaha untuk menyilakan otak berpikir dan mempertimbangkan lagi secara matang. Alhasil, kita diminta untuk jangan terlalu buru-buru memutuskan suatu perkara, antara dilakukan, atau tidak dilakukan.

(16) 

Jibeak Mbin Sifet Lalang Bidin Dalen

(Jangan ambil sifat ilalang di jalan)

Istilah yang kita sandarkan kepada ilalang ialah “plintat-plintut”, alias plin-plan dalam segala urusan. Hal tersebut tidak bagus untuk dijadikan pedoman diri, bahwa diri kita harus punya ketegasan.

(17) 

Cuwuo-Cuwuo Samo Laleu, Denong-Denong Samo Belek

(Mampir sama pergi, memandang sama balik)

Ungkapan di atas menerangkan bahwa ketika kita pergi dan melewati rumah orangtua atau mertua, sebaiknya kita bersinggah demi menjalin ukhuwah alias silaturahmi.

(18)

Adat Coa Melkang Keno Panes, Coa Mobok Nukai Ujen

(Tidak lekang karena panas, tidak lapuk karena hujan)

Ketika adat tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Hadis, ketika itu pula adat bisa dipegang, bahkan berlaku sepanjang zaman di masyarakat.

(19)

Saleak Cong Udi Bepapet

(Salah mencincang kamu merapat)

Maksud peribahasa tersebut adalah, kalau kita melakukan salah, cepat-cepatlah memperbaiki apa yang salah. 

Caranya?

Bisa dengan mengakui kesalahan alias meminta maaf. Di mana pun diri ini berada, aktivitas mengakui kesalahan adalah wujud dari pertanggungjawaban, kan? Begitulah.

(20)

Adat Aleak Nukai Janjei

(Adat kalah dengan janji)

Ungkapan di atas menerangkan betapa pentingnya sebuah janji. Kita tahu bahwa janji harus ditepati, dan dalam peraturan masyarakat Suku Rejang, derajat janji bisa lebih tinggi dari adat alias hukum.

Salam, Semoga Bermanfaat.
Ditulis oleh Ozy V. Alandika

Taman baca:
Indah Pujiastuti, Peribahasa Bahasa Rejang, FKIP UMRAH

Baca juga:

Guru Penyemangat
Guru Penyemangat Guru Profesional, Guru Penggerak, Blogger, Public Speaker, Motivator & Juragan Emas.

Posting Komentar untuk "Kumpulan Peribahasa Rejang, Lengkap dengan Arti dan Maknanya"