Widget HTML #1

“Monokne Namua Tilaine Nelat”, Etika Menolong Sesama ala Suku Rejang

Menolong sesama manusia merupakan salah satu perilaku yang mencerminkan akhlak mulia. Hal ini tidak terpungkiri dan tak pula bisa terbantahkan. 

Soalnya, ketika aktivitas tolong-menolong sudah berlangsung, maka kedua pihak akan sama-sama mendapat keuntungan.

Misalnya, Si A menolong Si Z dengan cara meminjamnya uang. Secara langsung, Si Z akan merasa tertolong dan terlapangkan masalah hidupnya. 

Sedangkan secara tidak langsung, Si A telah didoakan serta dipermudah urusan dunia dan akhiratnya. Sebagaimana yang tertuang dalam hadis:

“Barangsiapa meringankan sebuah kesusahan seorang mukmin di dunia, maka Allah akan meringankan kesusahannya pada hari Kiamat. Barangsiapa memudahkan urusan orang dalam keadaan sulit, maka Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutup aib seseorang, maka Allah pun akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya.” HR. Muslim No. 2699

Sederhananya, menolong sesama dengan cara memberi bantuan seiras dengan aktivitas sedekah. Berapapun nominal yang telah diberikan, berapapun tenaga dan keringat yang telah dicurahkan, semuanya akan bernilai di hadapan Sang Pencipta.

Tapi ingat! Aktivitas tolong-menolongnya harus berlandaskan kebaikan, ya. Dan juga, harus ada keikhlasan. Jangan malah ada udang di balik batu, atau kecoa di balik baskom. Itu bahaya karena sudah keluar dari niatnya.

Monokne Namua Tilaine Nelat
Ilustrasi Monok (Ayam). Gambar oleh Pete Linforth dari Pixabay
Dalam perspektif masyarakat Suku Rejang, ada peribahasa keren yang mengulas tentang aktivitas bermuamalah alias menolong sesama manusia. Hal ini bisa kita ulik dari peribahasa bahasa Rejang yang berbunyi:

“Monokne Namua Tilaine Nelat”

Artinya: “ayamnya dilepas, talinya diinjak”

Ketika memelihara ayam kampung, terutama ayam jago, kebanyakan pemiliknya seringkali memasang tali di kaki ayam serta mengikatnya di paku maupun di sebatang kayu. Hal  ini dilakukan agar ayam tadi tidak lepas.

Andai sang pemilik mau memberikan ayamnya kepada saudara atau tetangga sebagai hadiah, maka baik ayam maupun talinya biasanya akan diberikan tanpa pamrih. 

Tapi, bagaimana bila sembari memberikan ayam, sang pemiliknya masih menginjak tali pengikat ayam?

Sederhananya, kita bisa menilai bahwa si pemilik ayam tadi masih “setengah hati” alias belum ikhlas melepaskan ayam peliharaannya. Entah itu karena ayamnya memiliki nilai harga yang tinggi, atau malah, ada udang di balik batu alias maksud lain dari pemberian itu.

Kasarnya, ingin kita tegaskan bahwa, “kalau mau memberi, berilah secara benar-benar. Kalau tidak, ya enggak usah!”

Jadikan Aktivitas Menolong Sesama Sebagai Sedekah Tanpa Syarat

Melepaskan sesuatu jangan setengah-setengah, mengikhlaskan sesuatu jangan setengah-setengah, dan menolong dalam rangka kebaikan juga jangan setengah-setengah. Mengapa? Kalau niatnya sudah setengah hati, otomatis kadar balasannya juga akan berkurang.

Di sinilah pentingnya keikhlasan dalam menolong. Lagi-lagi kita tidak berbicara tentang seberapa besar nominal uang maupun seberapa berat kadar keringat, tenaga dan pikiran yang dikorbankan. 

Tetapi? Kita berkisah tentang kerelaan dalam menolong.

Kerelaan alias keikhlasan dalam menolong sesama dapat kita kembalikan kepada niat awal. Niat awalnya ialah untuk memudahkan seseorang yang sedang kesulitan, melapangkan hati seseorang yang sedang bersedih, serta membantu menyelesaikan masalah mereka.

Ketika pemberian dan pertolongan yang kita berikan didasari oleh niat yang tulus seperti ini, maka insyaAllah disempurnakanlah niat baik tadi.

Dan yang terpenting, semakin kita ikhlas, maka semakin tinggi pula kadar balasan yang akan Allah tetapkan. Tapi, tak perlu dihitung, soalnya itu urusan Sang Pencipta.

Kalau kita melakukan aktivitas tolong-menolong dengan ikhlas, biasanya hati ini tidak akan meminta tuntutan A, B, hingga Z. Maka dari itulah saya sebut sedekah tanpa syarat. Dalam artian, ketika kita menolong dengan cara memberi, ketika itu pula kita melupakannya.

Seharusnya memang begitu, kan? 

Ya, tak perlu banyak-banyak mengingat tentang berapa kali dan berapa banyak kebaikan yang kita hadiahkan kepada orang lain. Malahan, kita yang perlu terus mengingat kebaikan yang pernah orang lain hadiahkan kepada kita.

Dengan cara itu, perlahan hati ini tidak akan memandang rendah orang lain. Terlebih lagi ketika orang itu pernah melakukan kesalahan yang menggoreskan hati kita.

Kalau kita hanya ingat keburukannya, maka entah sampai kapan kita akan memaafkannya. Kalau kita hanya ingat kebaikan yang pernah kita berikan, maka entah kapan orang yang mengecewakan kita tadi dapat membalasnya.

Tapi, kalau kita sering ingat kebaikan-kebaikan yang pernah mereka lakukan untuk kita, maka semakin lapanglah hati ini untuk memaafkan. Kiranya, berangkat dari sini, aktivitas menolong sesama bisa semakin menyentuh kerelaan.

Semoga, ya. Semoga hati kita semakin lapang dan dijauhkan dari  kiasan yang dimaksudkan oleh peribahasa “Monokne Namua Tilaine Nelat”. 

Peribahasa Rejang ini kita pegang sebagai teguran hati, sedangkan peribahasa "Tangan Kanan Memberi, Tangan Kiri Tidak Tahu" bisa kita amalkan.

Salam.
Ditulis oleh Ozy V. Alandika

Baca juga:

Guru Penyemangat
Guru Penyemangat Guru Profesional, Guru Penggerak, Blogger, Public Speaker, Motivator & Juragan Emas.

2 komentar untuk "“Monokne Namua Tilaine Nelat”, Etika Menolong Sesama ala Suku Rejang"

Comment Author Avatar
Pribahasanya bagus banger pak..
Comment Author Avatar
Terima kasih, Buk 😀😀

Berkomentarlah sesuai dengan postingan artikel. Mohon maaf, link aktif di kolom komentar tidak akan disetujui.

Diperbolehkan mengutip tulisan di blog Guru Penyemangat tidak lebih dari 30% dari keseluruhan isi (1) artikel dengan syarat menyertakan sumber. Mari bersama-sama kita belajar menghargai karya orang lain :-)