Widget HTML #1

Cerpen: Santri dan Kerinduannya

Hai, Sobat Guru Penyemangat. Bagaimana rasanya menjadi seorang santri?

Agaknya, suka dan duka senantiasa menyelimuti raga dan hati, ya. Terang saja, pergi jauh dari rumah orang tua demi menuntut ilmu bakal membuat kita rindu dengan keluarga.

Santri pula demikian. Di sebalik keceriaan mereka dalam belajar, menabuh hadroh, bershalawat, hingga muraja'ah hapalan, ada segunung kerinduan terhadap keluarga dan kampung halaman.

Berikut Gurupenyemangat.com sajikan contoh cerpen yang berkisah tentang santri dan segenap kerinduannya.

Mari disimak ya:

Cerpen: Santri dan Kerinduannya

Oleh Syamsuddin Sahdan

Cerpen Santri dan Kerinduannya
Cerpen Santri dan Kerinduannya. Gambar oleh Mufid Majnun dari Pixabay

Sulit sekali, berat kakinya melangkah, seperti tertancap ke dalam tanah rasanya. Harap-harap cemas dan penuh waswas, berhampiran bertalu-talu masuk berganti.

Dada penuh kecamuk emosi, menumpah pada wajah, pada mata bergenang air di pelupuk. 

Di dalam keramaian ia kesepian. Orang-orang berlalu lalang, mereka dengan kesibukannya masing-masing.

Tiada satu menyapa, tiada bertutur kata. Tentu saja, sebab dia orang yang masih baru di situ. Baru kali pertama hadir di tempat itu.

Dalam keramaian, ada suara. Serupa panggilan, panggilan jiwa, panggilan hati, dan panggilan nurani. Suara itu tidak begitu merdu, tapi cukup menyentuh. Setiap hati yang hidup akan bergetar diketuknya. 

Tanpa sadar matanya menetaskan air. Bukan lagi karena khawatir, bukan pula karena cemas. Tapi berupa pengharapan, kedamaian, ketenteraman hati. 

Yah.. Hati siapa tidak akan bergeming mendengar panggilan itu, suara yang cukup menyentuh.

Bukan karena lirik-liriknya, bukan pula karena merdunya, akan tetapi pesan-pesan yang dibawanya. Makna-makna yang dikandungnya.

“Hayya alal falah (Mari menuju kemenangan)”

“Hayya alal falah (Mari menuju kemenangan)”

Lantunan adzan, yang dikumandangkan seorang Muadzin. Seruan untuk menunaikan ibadah salat isya.

Dirham berjalan mantap, menuju panggilan itu. Tidak lagi ia biarkan dirinya dipenuhi bayang-bayang kerinduan.

Kerinduan terhadap keluarga, kerinduan terhadap orang tua, juga kerinduan terhadap kampung halamannya.

Toh. Keputusan masuk di Pondok Pesantren dan menjadi santri adalah atas keinginannya sendiri. Bukan paksaan sesiapapun. Ia memilih dengan sadar, dengan niat belajar ilmu agama.

“La hawla wa la quwwata illa billah (Tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah swt.)” jawabnya dalam hati.

Ia sampai di tempat wudlu, orang-orang sudah ramai bersahut-sahutan saling bicara. Bergantian menuju kran air, untuk berwudlu. Pun Dirham yang juga ikut mengambil air wudlu.

Setelah selesai dengan itu, ia menuju tempat ibadah, masuk ke dalam. Dimana suara adzan dikumandangkan.

Entah karena apa, hatinya semakin tenteram, seperti ada sesuatu yang sudah mengisi kekosongan jiwanya. Cukup damai, cukup tenang, tanpa bisa ia gambarkan.

Ada rasa ketenangan tersendiri baginya. Saat-saat itu, saat-saat ia akan menghadapkan wajahnya kepada sang Penciptanya.

Selesai salat sunnah, Muadzin kembali melantunkan suaranya. Iqamah.

Tanpa diperintah, refleks jamaah berdiri lalu saling mengisi barisan-barisan yang masih kosong yang berada di depan. Semua sejajar rapi dan Imam memimpin salat di depan.

Mulailah didirikan, dilaksanakan ibadah salat isya secara berjamaah. Dari awal takbir hingga akhir salam. Lalu diakhiri dengan dzikir dan berdoa.

Sebelum bubar ke kamar asrama masing-masing, seorang berdiri di hadapan jamaah. Mengambil micropon lalu berbicara.

“Assalamu alaikum wr.wb” Ustadz Ahmad mengucap salam.

“Waalaikum salam wr.wb” disambut oleh seluruh jamaah.

Ustadz Ahmad adalah pembina santri, yang mengatur dan mengawasi aktivitas santri. Setiap ada masalah yang berkaitan dengan kesantrian maka beliaulah yang menyelesaikannya.

“Pada malam ini kita dipertemukan atas izin Allah swt. Kalian-kalian inilah yang dipilih oleh Allah untuk menjadi santri-santri wati di pondok ini. Artinya apa, bahwa kalian diberikan amanah, diberikan kesempatan, untuk mendalami ilmu agama. Yang ilmu ini kelak akan berguna dari dunia hingga akhirat” 

“Bersyukurlah sebab berhasil memasuki pondok ini. Hari-hari pertama tentu terasa berat untuk kalian, tetapi saya percaya kelak kalian akan menikmati tempat ini. Dan kelak setelah selesai kalian akan merindukannya”

“Bersabarlah, dan tekun belajar. Ingat, Allah bersama orang-orang yang bersabar. Dan Allah menyukai hambanya yang bekerja keras”

“Man jadda wa jada (Siapa yang bersungguh-sungguh maka dia akan mendapatkannya)”

Setiap kalimat yang diucapkan oleh sang ustadz direnungi dalam-dalam. Dalam hatinya ia sepenuhnya membenarkan ucapan-ucapan ustadz Ahmad.

Bahwa mungkin ini hanya awal saja, setelah beberapa hari dan berkawan dengan santri lainnya, kerinduan juga akan terobati. Ini hanya persoalan waktu. 

Dirham memantapkan hatinya, “Saya harus menjadi santri yang hebat” ikrarnya pada diri sendiri.

***

Demikianlah tadi seutas cerpen yang berkisah tentang kerinduan seorang santri. Semoga menginspirasi ya.

Salam.

Lanjut Baca: Contoh Cerpen Tentang Hari Santri Nasional, Memetik Pelajaran dari Kisah Anak Pesantren

Guru Penyemangat
Guru Penyemangat Guru Profesional, Guru Penggerak, Blogger, Public Speaker, Motivator & Juragan Emas.

Posting Komentar untuk "Cerpen: Santri dan Kerinduannya"