Widget HTML #1

Cerpen: Menjadi Hamba

Cerpen Menjadi Hamba
Cerpen: Menjadi Hamba. Gambar oleh Artadya Gumelar dari Pixabay

Hai, Sobat Guru Penyemangat, pernahkah dikau mengeluh kepada Tuhan?

Sebagai seorang hamba, kita wajib menerima ketetapan Allah. Entah itu peristiwa yang berkaitan dengan Qada Allah, atau malah Qadar-Nya, diri ini sering kali gagal dalam membaca pesan cinta-Nya.

Padahal kita tahu bahwa rencana Allah pasti yang terbaik dibandingkan sebaik-baiknya rencana kita kepada hamba.

Berikut disajikan cerpen yang berkisah tentang perjuangan seorang hamba dari yang tadinya mengeluh hingga menjadi berserah kepada Tuhan.

Mari disimak ya:

Cerpen: Menjadi Hamba

Oleh Syamsuddin

"Apa karena aku ini seorang hamba, jadi Kau sesuka-Mu bermain-main di atas takdirku?" laki-laki itu meluapkan emosinya, badannya membungkuk, kepalanya tertunduk ke meja, tubuhnya gemetar, pada kelopak matanya bergenang air.

Semakin ia menahan genangan air itu semakin tubuhnya bergetar lebih hebat, nafasnya berat, sesak serasa ditindih sesuatu yang amat berat.

"Kenapa, apa lagi yang akan Kau timpakan pada kami? Belum cukupkah semua derita yang kami lalui ini? Kenapa Kau diam? Jawab! Jadi ini yang Kau sebut-sebut sebagai Maha Kuasa?” ia terus mengeluarkan kemarahannya.

Ia menarik nafas dalam-dalam lalu mengeluarkan panjang. Perlahan tangannya menyapu butiran-butiran air yang menggenang pada matanya. Kembali ia menghela nafas panjang dan berat.

Pikirannya berputar mundur menyusuri rentetan kejadian-kejadian yang dialaminya beberapa hari ke belakang. Ingatannya sampai pada tempat penantian bus di pinggir poros jalan raya. 

*

Bus yang ditunggu-tunggu belum juga lewat, Akang duduk di tempat penantian bus menemani putranya, Rahim yang malam itu akan berangkat ke Makassar untuk meneruskan pendidikan di perguruan tinggi.

"Kalau masalah biaya itu urusan bapak, tugasmu cuma belajar dengan baik" ucapnya kepada Rahim yang sejak tadi dari rumah belum berucap barang sepatah kata pun.

"Kamu musti punya gelar sarjana, biar orang-orang di kampung kita ikut terdorong menyekolahkan anak-anaknya, kasian orang-orang di kampung ini, mereka hanya bekerja sebagai buruh pabrik karena tidak bersekolah" lanjut Akang pada anaknya.  

Kondisi di kampungnya memang seperti itu, orang-orang hanya bekerja sebagai buruh pabrik semen, upah yang didapat hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari.

Dulu orang-orang di kampung bekerja sebagai petani sawah, kakao dan peternak. Sampai suatu hari terjadi pembebasan lahan oleh perusahaan, ketika itu warga mengamuk tidak ingin menjual tanahnya untuk digunakan lahan pabrik. "Ini tanah kami, kami tidak mau menjual kepada siapa pun" tegas salah seorang dari mereka.

Beberapa hari setelah peristiwa penolakan itu orang-orang di kampung banyak mendapat teror, ada yang kebunnya kebakaran, ada yang tanamannya rusak, ternak-ternak mati karena keracunan, atau hilang entah ke mana.

Boleh Baca: Cerpen Islami Tentang Enggan Berikhtiar

Orang-orang di kampung tidak bisa berbuat apa-apa. Sumber penghasilan terhenti, mereka membutuhkan uang untuk membeli kebutuhan, untuk melanjutkan hidup mereka.

Maka dengan berat hati tanah dijual sebagai lahan perusahaan, ribuan pohon-pohon ditebang, hutan digundul.

Kondisi kampung sudah banyak berubah, semakin kesini semakin banyak pula kebutuhan. Kebutuhan? Mungkin lebih tepatnya keinginan, keinginan agar bisa disebut sebagai manusia modern.

Anak-anak di kampung yang dulu permainannya sangat sederhana: kelereng, gasing, main bola, atau berenang di sungai. Kini permainan-permainan seperti itu tidak ada lagi.

 "Kampungan," katanya, " Kalau yang modern itu ya android ya Facebook ya Whatsapp ya game online." tutur seorang remaja di kampung itu.

Padahal biaya untuk permainan seperti itu sangat mahal, android harganya jutaan, pulsa setiap bulan puluhan ribu.

Belum lagi kalau anaknya ada dua atau tiga atau empat, bisa dibayangkan betapa mahalnya ongkos yang harus dibayar untuk permainan yang dianggap modern itu.

Sementara untuk kehidupan sehari-hari saja kadang cukup kadang tidak, tapi sekarang ini lebih sering tidak, sejak pihak perusahaan pabrik melakukan reformasi pekerjanya, beberapa pekerja diberhentikan karena pertimbangan usia. 

"Tuuuuuuttt…Tuuuttt," suara Bus yang meminggir  berhenti "Ujung Pandang Pak," teriak seorang kernek Bus sambil melambaikan tangannya. Rahim tersentak, waktunya sudah tiba. 

Cita-citanya menjadi sarjana akan segera terwujud tinggal beberapa langkah lagi. Tapi…terdapat sesuatu yang mengganjal dihatinya, perasaan bersalah, tidak tega, kasihan, juga rindu terakumulasi ke dalam ledakan air mata saat-saat itu.

Ia menjatuhkan tubuhnya ke dekapan bapak, ia peluk kuat-kuat, wajahnya banjir oleh air mata.

"Salama Nak, belajar sungguh-sungguh" Akang mengusap kepala anaknya.

*

Tinggal di kota bukan soalan mudah bagi Rahim sebagai orang yang berasal dari kampung. Sebab hidup di perantauan sangat berbeda dengan di kampung sendiri.

Pertama-tama soal biaya hidup yang sangat mahal, kemudian biaya makan, ongkos ojek pulang pergi untuk mengurus pendaftaran ke kampus, ditambah biaya tempat tinggal setiap bulan yang harus dibayar, listrik, air, sewa kamar dan seterusnya. 

Beruntung setelah dua minggu di Makassar ada kawan yang menawarinya tinggal bersama di Masjid, menjadi marbot masjid.

Malam itu sudah minggu ketiga ia tinggal di Makassar, semua hambatan perlahan-lahan dapat diatasi.

Hidup di kota memang bukan sesuatu yang mudah baginya, tetapi juga bukan sesuatu yang sangat sulit, setiap masalah yang dihadapi selalu ia temukan jalan keluarnya.

Sampai pada malam itu, malam Jum'at sekitar pukul setengah sembilan ia mendapat telepon dari kampung halamannya.

Boleh Baca: Cerpen "Pamali"

"Tadi sore ada gempa besar sekali, rumah-rumah di sini mulai retak. Sampai-sampai adami yang sudah runtuh, tapi Alhamdulillah kami semua dalam keadaan baik" terang Rana, adiknya di telepon.

"Jadi bapak sama mama sekarang di mana, Mi?" tanyanya khawatir.

"Kami semua ada di lapangan, Pak, dusun menyuruh orang-orang membuat tenda pengungsian di sini, oh iya bapak tadi bilang hati-hati di situ waspada juga katanya." jelas Rana.

"Tiitt…. Tiittt" telepon terputus tiba-tiba, berkali-kali Rahim menghubungi nomor Rana tidak bisa, bahkan nomor-nomor yang lain teman-temannya juga tidak tembus. Sepertinya sinyal rusak akibat gempa.

"Tuhan…. " lirihnya pasrah. Rahim diam setelah mengucapkan itu. Tubuhnya bergetar, ia berkeringat kendati udara sangat dingin malam itu. 

Tanpa sadar butiran-butiran bening yang telah lama mengambang dari balik kelopak matanya itu pecah. Rahim akhirnya tidak dapat menahan air matanya.

Cukup lama Rahim dengan diamnya, ia lalu membuka hp-nya mencari tahu informasi tentang gempa yang terjadi di kampungnya. 

Didapatinya media yang memberitakan, gempa di Majene di kampungnya itu berkekuatan lima koma sembilan magnitudo dengan kedalaman sepuluh kilometer di darat. 

Menurut keterangan BMKG gempa itu tidak berpotensi tsunami, tetapi diprediksi akan terjadi gempa susulan.

Dan benar pukul tiga lewat empat puluh menit dini hari kembali terjadi gempa susulan yang kekuatannya lebih hebat dari gempa sebelumnya, enam koma dua magnitudo. 

Rahim diserang panik bukan main, Ia menghubungi semua kontak orang-orang di kampungnya tapi tetap tidak bisa. 

Kepalanya tertumpuk tanya, "Bagaimana kondisi orang tua saya? Bagaimana kondisi adik saya? Bagaimana kondisi kampung saya? Bagaimana?" 

Cukup lama Rahim berputar-putar dengan pertanyaan-pertanyaannya sendiri tanpa sadar ia tertidur di tempat duduknya. 

Dua hari Rahim tidak dapat menghubungi keluarga di kampung, selalu tidak bisa terhubung. 

Dia mencari tahu informasi lewat media-media yang memberitakan kondisi di kampungnya, diketahuinya orang-orang di kampung tinggal di tenda pengungsian, makan minum dengan bantuan pemerintah dan uluran tangan relawan. 

Semua rumah rusak parah bahkan ada yang sudah rata dengan tanah akibat goncangan gempa. Pabrik-pabrik juga rusak parah tidak bisa digunakan beroperasi. Masjid, musholla, semua rusak tidak bisa lagi digunakan untuk beribadah. 

“TUHAN....” Rahim melirih, perlahan-lahan kemarahannya mereda, dia pasrah, dia menyerah, dia berserah.

"Tuhan… jika Kau Maha Kuasa, tunjukkan ke mana kami harus menyelamatkan diri" Rahim memohon. [*]

***

Demikianlah tadi cerpen islami tentang perjuangan seorang hamba. Sebagai seorang hamba, kita dilarang untuk berpatah arang terhadap segala ujian yang menimpa.

Karena sering kali kita lupa, bahwa musibah, kesulitan, hingga kesukaran hidup yang datang kepada kita ialah bagian dari pesan cinta-Nya.

Salam.

Guru Penyemangat
Guru Penyemangat Guru Profesional, Guru Penggerak, Blogger, Public Speaker, Motivator & Juragan Emas.

1 komentar untuk "Cerpen: Menjadi Hamba"

Comment Author Avatar
sefakat, jangan patah semangat

Berkomentarlah sesuai dengan postingan artikel. Mohon maaf, link aktif di kolom komentar tidak akan disetujui.

Diperbolehkan mengutip tulisan di blog Guru Penyemangat tidak lebih dari 30% dari keseluruhan isi (1) artikel dengan syarat menyertakan sumber. Mari bersama-sama kita belajar menghargai karya orang lain :-)